Sepak Bola dan Ingatan Masa Kecil

Dibaca normal 5 menit

main bolaSetiap melintas jalur menuju jalan Montong di daerah Jagakarsa, saya selalu menoleh anak-anak yang sedang bermain bola yang ada di jalan Sadar Raya. Lapangan bersemen ini seukuran lapangan futsal, lumayan terawat rapi. Sesekali pernah berhenti mengamati mereka yang tengah menikmati permainan. Seorang anak bernama Bayu dari jauh disebut-sebut oleh anak berusia; kurang lebih 12 tahun. Mereka sebaya. Anak itu selalu berteriak meminta umpan setiap Bayu mengendalikan bola. Melihat mereka bermain (di manapun), saya selalu bermimpi anak-anak ini suatu hari akan menjadi pemain yang hebat.

Dan saya teringat masa kecil…

Satu sore, sambil menemani bapak ke kebun, bersama adik paling kecil, saya asyik menyusuri pematang pesawahan milik Haji Sirod. Sosok ini sering kali muncul di bilik pepohonan ketika anak-anak menyerobot kebunnya untuk berebut layangan putus. Apa yang ditakutkan kami kala itu adalah kumis tebal dengan matanya yang nyaris keluar. Begitu ia muncul dengan teriakannya, kami langsung ambil langkah seribu. Lari tunggang langgang lantas saling berpencar. Sesekali bersembunyi di bawah pematang sawah lainnya atau berpura-pura menjadi rubah di semak-semak.

“Awas ya kalau besok ke sini lagi, saya laporin bapak kalian!” ancamnya. Kami biasanya cekikikan melihat ekspresinya. Mana tahan melihat bapak-bapak mengumpat dengan bambu di tangan kanan, mata melotot, sementara kain sarungnya terus melilit ke atas hingga celana pendeknya kelihatan.

Bukan hanya Haji Sirod, banyak pemilik kebun dan sawah lainnya marah jika ada layangan yang jatuh ke ladang mereka. Pesawahan itu kini terasa sempit ketika hari beranjak maghrib.

Esok paginya saya menyisir halaman sebuah puskesmas yang luasnya sekitar 100 meter persegi. Puskesmas ini tidak begitu ramai terutama di pagi hari. Sebagian penduduk di kampung saya adalah petani dan pedagang. Pagi itu nampak seorang ibu sedang menuntun anaknya masuk ke sebuah ruang periksa usai menunggu antrean di ruang tunggu. Jika sakit, keluarga saya sering memanfaatkan puskesmas ini untuk berobat.

Ingatan saya tentang tempat ini adalah sebuah mimpi buruk. Dulunya adalah tanah lapang tempat kami bermain bola. Di kampung kami, ini adalah satu-satunya lapangan terbaik yang pernah ada. Lapangan Cikiray namanya. Karena memang ada sumber mata air di sekitar lapangan ini. Kiray sendiri merupakan nama pohon atau buah yang dulunya sering jadi tempat budidaya rumbia yang biasanya menghasilkan tepung sagu.

Begitu usai atau di masa jeda bermain, kami akan berlari menuju 4 mata air yang ada untuk menghilangkan rasa haus.  Memang ada banyak lapangan lain ketika musim panen tiba. Sawah-sawah seperti milik Haji Sirod misalnya, acapkali jadi lapangan dadakan. Tetapi berbeda dengan lapangan Cikiray yang permanen dan bisa digunakan kapan saja. Saya dan kawan-kawan sebaya bisa intim dengan si kulit bundar dari lapangan ini. Tak kenal waktu dan cuaca, kami bisa bermain sehari hingga 3 kali terutama di hari Minggu atau di hari libur sekolah. Kami juga sering menjamu tim-tim dari kampung tetangga untuk adu kekuatan.

“Seringkali ingatan dan kenangan—utamanya yang pedih dan menyakitkan—muncul pada titimangsa yang tak pernah kita inginkan dan harapkan. Seringkali pula, ingatan dan kenangan—yang demikian itu—berhasil membuat kita melupakan ke-kini-an dan ke-di sini-an.” – Jalan Lain ke Tulehu, Zenrs.

Kini lapangan ini hanya sebuah kisah, tertimbun oleh gedung kesehatan. Walau akhirnya berguna bagi masyakarakat, saya bersedih untuk satu hal karena tidak adanya lapangan pengganti. Ingat betul bagaimana saya lari terbirit-birit usai mengelabui Mang Maman yang mukanya kena bola sepakan saya. Usia saya 10 tahun saat berhadapan dengannya yang berusia 30-an.

“Hayo, mau lari ke mana lu?” ujarnya. Kakinya yang kekar lantas menggunting kaki saya. Dengan gerakan spontan saya meloncat ke udara. Akibatnya Mang Maman sendiri yang akhirnya terpelanting jatuh. Lantas saya lari terkencing-kencing. Hampir seminggu saya bolos ke masjid dan main kucing-kucingan ketika berangkat sekolah untuk menghindari sosok bernama Maman.

Ketika Cikiray mulai digusur, kami menangis di pinggir lapangan saat buldozer meratakan tanah dengan congkaknya. Raib sudah jejak-jejak si Agus kala mencetak gol dengan tendangan kaki kirinya. Pijakan dimana Awang berdiri di bawah mistar pun ikut hilang dikoyak mesin. Kami menangisi tanah tempat dimana Farid berdiri di kotak penalti lawan sembari berteriak meminta umpan kepada Munawar di sayap kiri. Entah dimana saya menemukan sudut saat Sulaiman mengumpan bola dari sayap kanan.

Memori masa kecil hadir. Ia tak pernah mengenal ruang dan waktu. Dari panca indera kita, bebauan, jalanan sempit, tanah becek, pohon rindang, suara, nyanyian-nyanyian. Atau dari sebuah pabrik dan gedung pencakar langit yang dulunya adalah tanah lapang tempat kita bermain, menghabiskan sore sambil menunggu adzan maghrib tiba.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan