Perjalanan dan perjumpaan setiap manusia pasti berbeda, Ada banyak kisah dan cerita. Tetapi yang pasti perjumpaan itu memperkaya. Perjumpaan yang sungguh-sungguh memperkaya itu bila setiap perjalanan dinikmati apapun kondisinya, dan NgoJak mengajarinya dalam tour NgoJak ke-24 “Bungur, Menolak Luntur” Minggu, 17/11/2019.
Perjalanan dimulai dari Tugu Perjuangan Rakyat tak jauh dari Pasar Senen menyusuri Pasar Poncol, Bungur, Kali Baru, Jiung dan diakhiri ke Rumah Tokoh Betawi Bang Ben. Di titik awal perjumpaan dengan Komunitas NgoJak, di depan tugu Perjuangan Rakyat, Mas Sofyan menyapa dan mengawali kisah tentang Pasar Senen. Bergantian dengan Mbak Novita dan Pak Chandrian bertiga mengisahkan bahwa di era pra-kemerdekaan (1930-an), kawasan sekitar pasar Senen merupakan kawasan berkumpulnya para intelektual muda serta para pejuang bawah tanah dari Stovia. Beberapa pemimpin pergerakan seperti Chairul Saleh, Adam Malik, juga Soekarno dan Mohammad Hatta, acap menggelar pertemuan di kawasan ini. Maklum, mereka kost di kawasan Kramat yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda dan sekolahnya di Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Di zaman penjajahan Jepang hingga tahun 1950-an, kawasan sekitar Pasar Senen menjadi tempat favorit berkumpulnya para seniman dari era pujangga baru. Mereka dijuluki Seniman Senen. Nama-nama seperti Ajip Rosidi, Sukarno M. Noor, Wim Umboh, dan H.B. Jassin muncul dari Senen.
https://twitter.com/ngopijakarta/status/1195881359106953216
Memasuki era 1970-90-an, nama kawasan Pasar Senen semakin membesar dan tumbuh sebagai pusat ekonomi dan hiburan. Bahkan saat pertunjukan film bioskop mulai dikenalkan di Jakarta, Senen tak ketinggalan. Dua gedung Bioskop “Rex” dan “Grand” dibangun guna memenuhi keinginan masyarakat akan hiburan. Rivoli, di Kramat menjadi rangkaian bioskop kawasan Pasar Senen karena jaraknya hanya sepelemparan Batu.
Pasar Senen sendiri termasuk pasar tertua di Jakarta karena dibangun pada 1733 dan di buka setiap hari Senin, namanya pun mengikuti hari tersebut.
Perjalanan dilanjutkan melintasi Stasiun Senen dengan memotong jalur rel kereta, tak lupa wefie dan selfie secukupnya. Setelah beberapa langkah, sampailah di Pasar Poncol.
Pasar Poncol adalah singkatan dari Pondok Colongan. Dinamakan demikian karena awal berdirinya pasar ini mengkhususkan diri pada barang barang hasil copetan, rampasan dan jambretan dari para ahli kriminal di hampir seluruh kawasan Jakarta dan khususnya kawasan Pasar Senen. Di sini juga kami menengok sejenak salah satu karya Van den Bosch tepat dibelakang Pasar Poncol. Eks defensielijn Van den Bosch atau garis pertahanan Van den Bosh berupa kali untuk pertahanan. Menurut mbak Novi dan Mas Reyhan lebar sungai sekitar 3 meter dan tanah galian kali ditumpuk disisi bagian dalam wilayah Weltevreden sebagai benteng pertahanan. Sebelah barat kali adalah bagian dari Weltevreden atau Batavia era baru sedangkan sebelah timur adalah kawasan luar Weltevreden.
https://twitter.com/ngopijakarta/status/1195889324576796672
Dari Pasar Poncol perjalanan mengarah ke Bungur ke rumah salah satu menteri di jaman Presiden Suakrno, Imam Syafei atau Bang Pe’i. Sayangnya, yang kami jumpai adalah bekas rumahnya yang sekarang pun sudah jauh berbeda dari rumah Imam Syafei aslinya. Rumah beliau sudah di jual dan dibagi bagi ke beberapa anaknya. Rumah itu kemudian di jual lagi ke pihak lain. Kami hanya menemui pasangan Pak Haji Imam dan Ibu Alani, mereka adalah orang dekat Bang Pe’i karena mereka berdua yang mengasuh putra putri bang Pe’i. Dari mereka berdua cerita Bang Pe’I dan sepak terjangnya saya dengar.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri Kali Baru. Menurut Mas Reyhan, Kali Baru yang berada di sisi Pasar Nangka Kemayoran ini adalah kali dari sumber yang sama. Satu induk dengan Kali Ciliwung. Mereka berpisah di Bendungan Katulampa. Jika dilihat dari arah Jakarta, kali Ciliwung mengarah ke kanan sedangkan Kali Baru mengarah ke kiri. Tujuan awalnya untuk pengairan sawah, perkembangan selanjutnya hanya menjadi jalur pembuangan air agar tidak banjir saat hujan dengan cara di normalisasi dengan dinding beton.
https://twitter.com/ngopijakarta/status/1195920021182173184
Perjalanan di akhiri di sebuah rumah dimana Bang Ben, Benyamin Suaeb, seorang seniman, aktor dan tokoh dari Kemayoran lahir dan dibesarkan. Di rumah itu kami ngobrol dengan Bang Andi, keponakan Bang Ben dan Bang Davi aktifis pemerhati budaya Betawi asli Kemayoran. Tiga pigura dengan foto hitam putih Bang Ben menjadi saksi, kami ngobrol tentang Bang Ben dan Kemayoran.
Walking tour NgoJak membuat saya bertemu dan mengenal pribadi-pribadi baru. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol dan berdiskusi, saling menjaga atau sekedar mengingatkan agar tidak terserempet kendaraan saat berjalan atau menyeberang jalan. Kemudian menunggu bila ada yang tertinggal. Di Bungur dan di Kemayoran, saya diajak bersilaturahmi, menghormati para pendahulu dan karya mereka. Mengenang sejarah dan belajar dari sejarah. Kawasan Senen, Poncol, Jiung dan para Tokoh yang terlibat dibalik cerita dalam sejarah itu, masing-masing mengajarkan tentang perjuangan hidup, kerelaan untuk menolong, ketakutan yang muncul dari pikiran dan masih banyak lagi.
Ditemani saudara Matahari dan teman-teman baru, saya menyapa saudara air yang termarginalkan di kali dan got-got dari Poncol sampai Jiung. Air itu sumber hidup dan mereka mengalir untuk memberi hidup. Sekarang mereka difitnah menjadi penyebab bencana banjir. Saudara air kini dijauhi dan dipisah pagar beton. Hilang sudah senyum tawa anak-anak atau ternak yang gembira memeluk saudara air.
https://twitter.com/ngopijakarta/status/1195930285163941888
Melihat langsung Rumah Bang Ben yang ditutupi tembok oleh tetangga depan rumahnya menjadi bukti bahwa masyarakat Jakarta sekarang sangat egois. Sedih sekali melihatnya. Tempat bersejarah itu dikurung oleh masyarakat modern mengatas namakan ekonomi. Tak ada lagi akses ke halaman depan rumahnya. Setelah saya cek tembok yang menutupi rumah Bang Ben adalah sebuah tanah kosong yang cukup luas dan terdapat beberapa kendaraan roda empat terparkir disana. Ada logo sebuah perusahaan jasa pengantaran logistic terpasang dibeberapa mobil itu dan di dinding tembok . Saya tidak mau mendekat dan bertanya apakah benar tanah bertembok tinggi yang menutupi rumah Bang Ben milik perusahaan jasa pengantaran itu atau pemilik tanah yang bekerja di perusahaan itu.
Saudara Matahari bersinar semakin terik. Saya pamit mendahului kawan-kawan. Bukan mundur dari tantangan tetapi karena memang sudah waktunya untuk pulang. Pulang ke rumah membawa oleh-oleh untuk dibagikan dan dinikmati keluarga dan warga RT. Saya ceritakan pengalaman ikut NgoJak sambil melahap sayur asem, ikan asin plus lalapan dan sambel yang nikmat buatan ibu-ibu tetangga. Kami kumpul bersama , bapak-bapak dan ibu-ibu duduk bersama. Ngopi sambil maen catur, bergosip sambil kipas-kipas, tertawa bebas.
Saya tidak tahu apakah saya harus membangun tembok agar lebih fokus mencari kekayaan atau menikmati sayur asem bikinan tetangga sambil cerita tentang NgoJak ? Mana yang lebih kaya menurut anda?