Blusuk merupakan suku kata dalam bahasa Jawa, yang berarti masuk ke sebuah tempat asing. Imbuhan ‘an’ pada kata blusuk, menjadi ‘blusukan’ adalah sebuah aktivitas untuk mengetahui atau mencari sesuatu ke tempat yang jarang dikunjungi atau dilihat oleh publik sebagai tempat tujuan.
Apa yang menarik dari blusukan? Tentu sebuah kepuasan batin, sekaligus mencari hal baru dalam upaya penjelajahan mencari sesuatu. Blusukan atau mBlusukan adalah sebuah aktivitas lama, yang kemudian dipopulerkan kembali oleh Ir. Joko Widodo saat menjabat sebagai Walikota Surakarta. Aktivitas tersebut diteruskan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan kemudian Presiden Republik Indonesia.
Aktivitas blusukan biasanya dilakukan oleh pejabat yang agak “rock n roll’, santai, tidak mau berjarak dengan rakyat atau berupaya menyerap aspirasi rakyat secara face to face, tanpa jarak dan briokrasi, sejak masa lalu hingga kini. Saya membaca berbagai tulisan sejarah, biasanya pemimpin yang gemar blusukan. Dia akan lebih dikenal oleh rakyat dan tercatat sebagai pemimpin yang baik dalam catatan sejarah. Ini bukan berarti saya mengagungkan Joko Widodo, ya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan unsur dukung-mendukung.
Aktivitas tersebut kemudian menjadi tren yang memuakkan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para politisi sebelum PILKADA(L). Padahal makna yang sesungguhnya dari kata blusukan jauh dari makna yang sempit itu.
Kata blusukan kemudian tidak lagi dimonopoli oleh para politisi. Kata blusukan kemudian digaungkan oleh para penggiat dalam komunitas sejarah dan budaya. Para penggiat sejarah dan budaya di luar Jakarta yang saya kenal dan saya ikuti perkembangannya, biasanya melakukan kegiatan blusukan untuk mencari serpihan-serpihan sisa-sisa peradaban masa lalu. Mereka masuk ke alas (hutan), puncak-puncak gunung, pinggir sungai, tegalan (kebun atau ladang), pekarangan rumah orang, pemakaman hingga tempat-tempat yang tidak dijamah dan dipikirkan oleh orang banyak.
Padahal ya, mereka hanya dapat batu yang berlumut, fragmen arca yang sudah rusak, pecahan bata, ataupun sesuatu yang dianggap sudah kuno dan sangat tidak berharga. Nah, bagi mereka, itu sangat berharga dan merupakan jejak peradaban nenek-kakek moyangnya. Mereka bahkan banyak yang tidak berlatar akademik sejarah atau arkeolog. Hanya bermodal tanya dan semangat, mereka mau dan dapat melakukannya. Padahal juga tidak mendapat penghargaan atau penghormatan tertentu. Paling banter cuma dikasih tanda emot “like”, “wow”, “sad” atau “super”, jika mengunggahnya di media sosial. Kadangkala malah mereka mendapati situs dan artefak yang mereka unggah, hilang dicuri orang yang mengetahui nilai dari benda tersebut.
Bagaimana dengan di Jakarta? Mengko sik…tak ngguyu sek, ya. Hahahahaha…
Saya sering berkelakar bersama teman-teman yang, ya, boleh dibilang sejenis, “Ngapain juga ya kita ini, susah-susah mengajak orang untuk melihat kota Jakarta dan sejarahnya? Jangan-jangan kita ini sakit jiwa, ngajak orang untuk seperti berpikir seperti kita”.
Saya kira gak begitu juga cara berpikirnya, saya saja yang ter..la…lu PeDe berpikir begitu.
Blusukan di Jakarta menurut saya sangat spesial. Sebab banyak hal penting dan mungkin juga gak penting, didapatkan ketika saya dan kawan-kawan blusukan. Kami mencari sesuatu yang tidak diduga dan tidak diindahkan oleh orang-orang. Mereka baru peduli ketika kami masuk, berinteraksi dan mengulang ingatan mereka tentang tempat yang mereka tinggali. Mereka memberi banyak sekali apresiasi, seakan kami saudara dekat yang sudah lama tidak bertemu.
Mereka seakan tersadar bahwa mereka merupakan bagian dari Jakarta dan sejarahnya. Bagi saya blusukan di Jakarta lebih seru. Banyak bertemu orang, banyak keterangan yang didapat, ketimbang blusukan di daerah lainnya. Tentu dengan plus-minusnya masing-masing. Saya yang berkepentingan mencari lokasi eks-landhuis atau rumah tuan tanah yang pernah berdiri di Batavia (Jakarta), melalui peta lama tahun 1910, merasa blusukan di Jakarta lebih menarik.
Perbandingan peta modern Google Map dengan peta terbitan Bureau Topograpische Batavia misalnya, seringkali membuat pusing ketika sudah sesuai perbandingannya, baik secara skala maupun keletakan, ternyata saat sampai di lokasi, topografinya sudah berubah.
Seringkali juga saya musti kucing-kucingan dan berlagak nyasar, kemudian bertanya pada penduduk lokal, apakah penduduk mengetahui bahwa di sekitar tempat tinggalnya pernah berdiri bangunan dari zaman Belanda. Ada yang menaruh curiga karena gerak-gerik saya yang aneh…hehehehe…ada juga malah yang tertawa, menertawakan pertanyaan saya. Tetapi banyak juga yang bingung ketika saya menyodorkan data bahwa dahulu di sekitar tempat tinggalnya terdapat sesuatu yang penting. Kadang-kadang, istri saya juga mengomel, jika saya sudah jatuh sakit karena aktivitas blusukan. Saya diberitahukannya bahwa saya akan jatuh sakit jika saya sudah kena sawan akibat terlalu banyak blusukan ke tempat-tempat yang wingit seperti makam-makam kuno atau lahan kosong.
Walhasil, aktivitas blusukan tetap menjadi sangat menarik dan penuh kepuasan batin, sekalipun saya juga menertawai diri sendiri, “Mengapa saya melakukan aktivitas blusukan?”.
Saya bukan aktor seperti film Indiana Jones atau bertindak seperti mbak Angelina Jolie dalam film Tomb Rider. Padahal saya tidak dibayar (walaupun ngarepdotcom) oleh pemerintah DKI Jakarta dasar dodol, cuma pikiran lu doang itu sih, ya paling banter dapat banyak like aja di medsos, itu sudah rasa syukur yang tiada tara.
Niat saya yang terutama adalah untuk saling berbagi bahwa dengan pegangan peta lama ada ini dan itu, lho. Berbekal informasi yang secuil, ada ini dan itu lho di suatu tempat. Semoga aktivitas ini ke depan bukan hanya dimonopoli oleh para politisi busuk saja, tetapi juga oleh semua warga yang sadar akan kota dan sejarahnya sendiri.
Jakarta adalah sebuah belantara blusukan dengan obyek di tiap gang, pemukiman padat, pinggir kali, gedung-gedung tinggi, mal, pasar, dan tempat-tempat lainnya. Semoga kesempatan dan lebih penting, kemauan, dapat diberikan pada kita semua, oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi.
Salam Blusukers