Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata, air mata (Iwan Fals – 1910)
Senin, 19 Oktober 1987, salah satu tragedi perkeretaapian Indonesia terjadi. Di mana KA 225 Patas Merak bertabrakan dengan KA 220 jurusan Rangkasbitung – Jakarta Kota. Korban tewas setidaknya 150 jiwa. Mungkin tak banyak orang yang tau peristiwa ini, termasuk saya yang baru tau beberapa tahun lalu.
Sampai akhirnya 32 tahun kemudian, saya bersama-sama teman-teman dari Ngopi Jakarta, menilisik Tragedi Bintaro I dan Bintaro II.
*
Titik kumpul pertama di Stasiun Kebayoran Lama sekitar pukul 2 siang. Setelah semua peserta berkumpul, seperti biasa saling memperkenalkan diri satu per satu. Kemudian kami naik angkot (hayo sudah berapa kalian tidak naik angkot?) ke tujuan pertama kami yaitu TPU Tanah Kusir, di mana salah satu Bapak Proklamator, Bung Hatta dimakamkan di sana, sekaligus menjadi makam keluarga beliau.
Saya sempat bertanya ke Mas Reyhan, kenapa Bung Hatta memilih dimakamkan di Tanah Kusir, karena biasanya kan di Karet ataupun Taman Makam Pahlawan. Kemudian dijawab Mas Reyhan tidak ada alasan khusus kenapa dimakamkan di sini. Bisa jadi karena kawasan Tanah Kusir yang masih sepi (bahkan sampai sekarang).
Di depan makam Bung Hatta, Mas Rayhan menjelaskan asal nama Tanah Kusir yang cukup menarik. Jadi dulu sekali, ada pejabat yang sedang bertemu pejabat lainnya. Lalu ia tidak sengaja kentut sampai mengeluarkan bunyi dan cukup bau. Karena ia tidak mau mencoreng nama baiknya, ia kemudian menyalahkan sang kusir yang duduk di lantai (yang kentut). Tapi setelah di rumahnya, pejabat itu meminta maaf dan mengucapkan terima kasih kepada sang kusir. Akhirnya, ia memberikan sebidang tanah kepada kusir tersebut sehingga akhirnya tercetus nama Tanah Kusir, ya, tanahnya si kusir.
Panasnya Jakarta kala itu, tidak menghalangi kami untuk berjalan kaki ke tempat selanjutnya. Langkah kami berhenti di seberang pool taksi yang diduga dulu pernah berdiri sebuah bangunan termegah (landhuis) di kawasan Bintaro. Sayangnya, kami enggak masuk ke dalam, mungkin karena keterbatasan waktu karena ada 3 tempat lagi yang belum dikunjungi.
Tujuan selanjutnya melihat lokasi Tragedi Bintaro II terjadi, di mana KRL Commuterline Tanah Abang-Serpong menabrak truk tangki Pertamina yang menerobos perlintasan hingga mengakibatkan 7 orang tewas. Setelah kejadian tersebut, akhirnya dibangun jembatan dan fly over kemudian pintu perlintasan tersebut ditutup secara permanen.
Kemudian, perjalanan kami hampir sampai akhir. Kami berdiri di bekas stasiun Tanjung Betung, yang pernah menjadi “saksi kunci” dari Tragedi Bintaro I. Namun, saat ini stasiun tersebut sudah tidak aktif.
Kami lalu melangkah lagi ke pemukiman di kawasan Bintaro, Jakarta, di mana ada salah satu narasumber yang akan menceritakan langsung Tragedi Bintaro I. Karena hari sudah semakin sore, banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang lagi bersantai di luar ataupun teras rumah mereka. Sepertinya kehadiran kami nampak mencolok perhatian, soalnya mereka banyak bertanya, untuk apa tujuan kami ke sini. Saat kami bilang sedang napak tilas tragedi Bintaro I, banyak mereka yang berkata sangat antusias,
“Oh, dulu suami saya sempet bantuin korban, Neng.”
“Saya juga ikut bantuin korban. Ada yang tangannya putus, ada yang kepalanya ilang.”
“Anak saya pernah ada yang dipanggil polisi buat jadi saksi, Mbak…”
dan berbagai macam perkataan yang mungkin menjadi memori yang enggak akan terlupa.
Lalu kami sampai di rumah Babeh Musli, yang sudah siap menceritakan kejadian yang cukup mengubah hidupnya. Umurnya waktu itu kira-kira 27 tahun, ia sedang bekerja di kebun dekat rel kereta. Lalu enggak lama setelah itu, tabrakan pun terjadi. Ia segera membantu korban untuk evakuasi sambil meminta bantuan tetangganya. Waktu itu, rumah-rumah belum sepadat sekarang, jadi jarak antara rumah yang satu dengan yang lain cukup jauh sehingga cukup menghambat. Bantuan alat berat baru datang setelah 2-3 hari peristiwa terjadi, sehingga makin banyak korban yang terhimpit di badan rel tidak berhasil diselamatkan.
Dari penuturan beliau, ternyata ada seorang yang terjepit di antara dua rangkaian rel, di bagian atas. Ia berteriak-teriak minta tolong tapi tidak ada yang bisa membantu memberikan pertolongan, hingga akhirnya “dibiarkan” meninggal dunia.
Dari sorot matanya, Babeh terlihat sedih sekali. Dari beberapa ceritanya, ia agak terbata-bata mengingat peristiwa yang lalu. Mungkin masih ada rasa bersalah karena ia tidak berhasil menolong banyak orang, atau ketakutan yang tidak pernah terselesaikan. Sampai sekarang, ia bahkan tidak berani naik kereta. Sehabis mengobrol panjang, kami berjalan ke tempat peristiwa Bintaro I terjadi. Sudah ada spanduk dan bendera setengah tiang yang berkibar. Saat melihat itu, saya membayangkan apa yang terjadi. Senin pagi, orang-orang memulai aktivitasnya sehari-hari dan tidak menyangka peristiwa itu akan mengubah hidup dan keluarga mereka selamanya.
Memang tidak ada yang bisa menyalahkan takdir Tuhan. Hanya saja, bila sebuah jabatan tidak sesuai dengan ahlinya, memang bisa menyebabkan sebuah kekacauan yang berakibat fatal. Mari kita berdoa untuk para korban dan berharap semoga peristiwa seperti ini tidak akan terulang selamanya.
Oiya, bila kamu ingin melihat sudut pandang lain dari Tragedi Bintaro I, kamu bisa menonton video Kisah Tanah Jawa yang mewawancarai Pak Slamet, salah satu masinis.
*tulisan ini telah dipublikasikan terlebih dulu di blog pribadi penulis.