Besar Kecil

Dibaca normal 6 menit

Tidak ada yang salah dengan kategorisasi, selama indikatornya diletakkan pada ordinat dan subordinat yang obyektif. Yang keliru adalah perasaan dan pengakuan. Yang salah arah adalah manusia yang merasa besar sehingga merasa boleh dan perlu bertingkah sebagaimana orang besar dalam pemikirannya.

Anak-anak kelak akan menghadapi kebingungannya sendiri. Di rumah, mereka diajari untuk mengambil barang sendiri, membawa tas dan peralatannya tanpa bantuan orang lain, diminta tumbuh besar dan mandiri. Orang-orangtuanya berkata sungguh-sungguh, โ€œAyo, kamu sudah besar, Nak.โ€

Tapi, realitas di luar sana juga begitu sungguh-sungguh menyuguhkan paradoks. Mereka yang dibukakan pintu ketika masuk hotel, pintu mobilnya terbuka oleh tangan orang lain, tasnya dijinjingkan, makanannya dibawakan petugas berseragam jaket dan helm, dan menyeberang jalannya di depan pusat belanja perlu bantuan petugas berpentungan dan peluit. Hingga ketika mereka naik lift di mal-mal, mereka akan malu untuk protes lagi, โ€œPadahal, aku mau pencet lift-nya sendiri,โ€ karena ada petugas yang digaji untuk wara-wiri naik-turun hanya di dalam lift.

Apa makna besar dan apa makna kecil sesungguhnya? Ketika manusia tumbuh dari setetes sperma yang berjumpa ovum, lalu tumbuh dalam rahim, dilahirkan dan mendapati tinggi badannya selalu beranjak naik; itukah โ€˜besarโ€™? Atau, ketika manusia bersusah payah menambah bintang di pundaknya, menempelkan gelar di depan dan belakang namanya, berkeringat untuk naik dari golongan I ke IV, menyisihkan uang untuk berlibur di gedung berbintang dan wisata cemerlang, punya banyak pengikut di dunia maya atau nyata, bekerja keras siang malam untuk naik mobil dan tidur di rumah mewah; itukah โ€˜besarโ€™?

Atau, โ€˜besarโ€™ sekadar antitesis dari โ€˜kecilโ€™ yang berarti manusia tidak hidup kelaparan, tidak bertungkus lumus dalam kefakiran, tidak dijatahi beras oleh negara, tidak dibayarkan iuran asuransinya, tidak berdempet-dempetan di kendaraan umum setiap hari, tidak kepanasan ketika terik, dan tidak kebasahan ketika diguyur hujan? Atau, โ€˜besarโ€™ itu cukup diartikan sebagai bahwa manusia tidak lagi cengeng dan menangis, tidak lagi disusui dan disuapi, juga tidak lagi dipakaikan bajunya selepas mandi?

Memang harus ada titik di mana sekelompok manusia masuk ke dalam golongan โ€˜besarโ€™, sedangkan yang lain masuk ke golongan โ€˜kecilโ€™. Proses pembangunan juga menggunakan angka untuk mengukur keberhasilannya dengan selalu menempatkan segregasi dalam dua kubu atau beberapa kuintil. Banyak orang melumuri mulutnya dengan Kakwani Index, Gini Ratio, angka inflasi, pengangguran, dan kemiskinan yang mungkin mereka sendiri tergagap-gagap jika ditanya apa maknanya. Tapi, beruntunglah manusia akhir zaman ini karena informasi yang berseliweran di jejaring maya membuat lidah terasa jadi fasih untuk membincangkan berbagai macam hal.

Tidak ada yang salah dengan kategorisasi, selama indikatornya diletakkan pada ordinat dan subordinat yang obyektif. Yang keliru adalah perasaan dan pengakuan. Yang salah arah adalah manusia yang merasa besar sehingga merasa boleh dan perlu bertingkah sebagaimana orang besar dalam pemikirannya. Karena merasa pengikutnya banyak, maka ia merasa sah-sah saja menulis dan menasehati apapun tanpa peduli mana yang benar dan yang salah. Karena merasa semua orang sudah patuh pada ajakannya, maka ia merasa perlu merutinkan ajakan-ajakan lain tanpa merenungi perlu tidaknya ajakan-ajakan itu. Karena merasa kursinya telah berada di posisi paling tinggi, maka ia merasa penting untuk mengurusi semua urusan tanpa memahami urut-urutan prioritas yang mesti diurusnya. Karena merasa sudah berbuat baik, jujur, anti-korupsi, dan memperbaiki tata kelola layanan, maka ia merasa punya hak bersikap sewenang-wenang dan tak berkeadilan di balik kebaikan dan kejujurannya tanpa merasa perlu berkonsultasi pada nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban. Karena merasa sudah menjadi yang paling alim, kuat ibadahnya, hitam kening dan lututnya, maka ia merasa punya kewenangan untuk menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka tanpa memaโ€™rifati lagi wilayah ketuhanan yang sejati.

Tuhan saja tidak melarang siapapun untuk menjadi besar, tetapi Dia menyatakan kebenciannya kepada yang merasa besar sendirian. Tidak diperkenankan berasyik masuk di haribaan-Nya kelak di surga ketika ada sebiji sawi pun rasa kebesaran yang bersisa. Bahkan jauh sebelum itu, Tuhan sudah menyingkirkan Iblis jauh-jauh keluar surga hanya karena ia berkata, โ€œAku lebih baik daripadanya (Adam).โ€ Khalaqtanii min naar wakhalaqtahu min thiin. Naar-nya, apinya tidak salah. Thiin-nya, tanahnya tidak keliru. Tapi persepsinya tentang khairun minhu โ€“lebih baik darinya, itu yang membuat murka.

Merasa besar dan perasaan lebih besar itu yang mengerubungi manusia saat ini sehingga pertengkaran mulut, kelahi jari di dunia maya, hingga baku pukul di pinggir jalan menjadi lumrah. Pada titik ini, anak-anak mungkin akan menghadapi kebingungan lain yang lebih memusingkan kepalanya ketimbang matematika yang diajarkan begitu-begitu saja dari jaman dahulu. Mereka belajar kasih sayang di rumah dan sekolah, tetapi disodorkan realita yang memilukan ketika orangtuanya dan manusia dewasa di sekitarnya mengunggah kata-kata kasar, menampilkan gesture meremehkan, dan sibuk bertikai-silat-lidah-jari untuk sesuatu yang anak-anak tidak pahami.

Untuk kali ini, mungkin lebih baik membisikkan ke telinga anak-anak itu, โ€œJadilah kecil selalu.โ€ Tak usah risau โ€“jika menjadi besar hanya membuatmu merasa lebih besar dari sekelilingmu.

Rotterdam, Januari 2017

aafuady

Dosen dan Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tinggalkan Balasan