Jumat pekan yang lalu, saya pulang cepat dari kantor. Memang pekerjaan di hari itu sudah habis, bahkan hampir separuh waktu saya di kantor malah dihabiskan untuk menulis makalah yang hendak saya lombakan, kuliah daring, hingga numpang tidur siang. Saya menemani teman saya yang harus mewawancarai seorang narasumbernya di mall seberang kantor. Pokoknya, di hari itu, saya benar-benar kosong melompong.
Namun, hari yang kosong itu tidak membuat pikiran saya kosong. Sewaktu meninggalkan kantor, tak jauh dari lokasi saya terjebak macet akibat kereta yang lewat, saya mendengar suara yang mengejutkan sekali.
Criiiiiitttt…. Braaaaaaaak…
Ah, tentu Anda tahu suara apa itu. Saya langsung menolehkan kepala ke sebelah kanan. Di seberang jalan, orang-orang mengeremuni motor yang tampaknya terlempar cukup jauh dari pemiliknya. Seketika pemiliknya pun tak bergerak. Saya yang memang kebetulan akan berputar arah pun harus menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Mungkin tak ada yang menyangka kalau sehari setelah Hari Raya Idul Adha, bapak yang tidak menggunakan helm itu harus ditabrak truk.
Sang bapak sudah lewat. Tampak orang-orang yang menutupi tubuhnya dengan kertas koran. Koran itu pun berubah menjadi merah. Kemacetan langsung mengerubuti jalan itu. Beberapa pengendara motor menepikan kendaraannya. Sementara wajah sang sopir truk terlihat membeku. Pastinya sulit untuk menjelaskan kematian sang bapak kepada keluarganya.
Tiba-tiba, saya teringat dengan ucapan seorang teman saya, ketika saya akan berangkat ke luar negeri. Waktu itu, Taiwan, negara yang akan saya kunjungi sedang dilanda badai. Apalagi beberapa jam sebelum saya berangkat, saya membaca berita pesawat yang jatuh akibat badai di Taipei melalui salah satu portal berita internasional. Namun, saya harus berangkat di hari itu juga. Tiket sudah di tangan, koper sudah penuh dengan pakaian. Tante saya yang kini menjadi warga negara di sana sudah menunggu.
Ada perasaan gentar di hati untuk berangkat.
Goodbye! Have a pleasant flight. I want you go home…
Dia mengatakan itu dalam pesan singkatnya di WhatsApp. Saya hanya bertanya “kenapa?”
Gue gak tahu lo bakal pulang lagi atau nggak, tapi setidaknya kita sudah berpamitan.
***
Saya melanjutkan perjalanan pulang. Matahari telah beranjak ke barat. Jalanan lengang. Saya berhasil melewati kemacetan akibat kecelakaan itu. Namun, perasaan saya belum berhasil melewati apa yang baru saja saya saksikan. Sang sopir yang menabrak bapak itu langsung ditarik oleh sekerumunan orang. Entah apa yang akan dihadapinya. Saya berharap tidak ada penghakiman massal di sana.
Pula dengan jasad bapak itu.
Bapak yang pergi tanpa pamit dengan keluarganya. Tanpa sempat mengucap selamat tinggal.
“Ketika keluar rumah, apalagi di Jakarta, kau langsung berhadapan dengan maut,” kata seorang kerabat. “Kau tak akan pernah tahu apakah dia bisa kembali pulang atau tidak. Bisa saja dia mati di jalan, diculik, atau hal-hal yang tidak akan pernah dalam bayanganmu.”
Saya tersadar, mengapa kita perlu mengucapkan selamat tinggal atau sekadar pesan agar “hati-hati di jalan”. Toh, tak ada yang tahu nasib dan jalan hidup seseorang, termasuk dirinya sendiri. Bisa saja dia pergi suatu hari, tanpa sempat terucap pamit.
Jakarta, 28 September 2015
A