Kopi Gunung Puntang; Menanam Untuk Merawat

Dibaca normal 4 menit

Biji kopi ditanam untuk kelestarian alam serta merawat gunung sebagai sumber kehidupan.  -Murbeng Puntang

Hampir Maghrib ketika saya dan teman-teman dibawa oleh Kang Fauzan ke lapak pengeringan kopi miliknya, setelah sebelumnya menyempatkan mampir ke Haben Nagen usaha gerai kopi yang juga dimiliki oleh Kang Fauzan sendiri. Dasar pengolahan kopi hingga menjadi green bean yaitu metode naturalhoney, dan full-washed dikenalkan oleh Pak Rudi, salah seorang pekerja di sana. Nah, pengetahuan dari Pak Rudi ini menjadi bekal selanjutnya untuk bertamu ke tempat Ayi Sutedja, seorang pembudidaya tanaman kopi Gunung Puntang yang namanya sempat menjadi pembicaraan para Q-grader di ranah internasional pada tahun 2016 lalu.

Abah Ayi, begitulah saya memanggil beliau saat bertemu pekan lalu, bersama teman-temannya mulai melestarikan jenis tanaman kopi arabika pada bidang tanah milik Perhutani yang tadinya sempat ingin ditanami teh. Mendapatkan skor sebesar 86.25 dari para pencicip bersertifikat dalam lelang kopi dunia yang tergabung dalam asosiasi Specialty Coffee Association of America (SCAA) bulan April tahun lalu, menjadikan green bean kopi Gunung Puntang memiliki nilai jual yang cukup tinggi yaitu 55 dollar per kilogram. Pernyataan Abah Ayi cukup mencengangkan ketika saya tanya sejak kapan dia mulai menanam, karena latar belakangnya sendiri ternyata bukan di bidang pertanian melainkan elektrik. Pada tahun 2011 Abah Ayi khatam menjadi teknisi listrik, banting setir untuk mulai menekuni tanaman kopi. Dengan keuletan, didukung oleh kualitas bibit, kondisi tanah pada lahan ketinggian, dan cuaca di Gunung Puntang, Abah Ayi berhasil mengembangkan bibitnya hingga 10.000 bibit. Selain ditanam sendiri, bibit ini juga dibagikan ke petani lainnya hingga terbentuklah guyub bersama mereka yang dinamai Murbeng Puntang.

Sungguhlah memang, Tuhan menciptakan bumi parahyangan dengan keindahan yang berlebihan. Pertama menjejak di wilayah selatan Bandung ini, mata sudah dimanjakan oleh hamparan hijau sawah berpunden berundak yang dikerjakan oleh para petani dengan tekun. Gunung Puntang tidak berdiri sendiri, ditemani Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Patuha, Gunung Wayang-Windu, dan gunung-gunung lainnya, meskinya semakin menuntut Jawa Barat untuk mempertegas posisi dan identitas diri sebagai provinsi ramah sektor pertanian, demi meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Dari 200 Ha lahan aktif di Gunung Puntang saja, kurang lebih baru sekitar sepertiga lahan yang mampu ditanami akibat SDM yang kurang memadai untuk mengubahnya menjadi lahan produksi. Selain itu biaya perawatan yang tinggi dan ketersediaan pupuk juga belum cukup terpenuhi, sehingga hasil pun menjadi belum maksimal. Pak Rudi (40), seorang pekerja di lapak pengeringan milik Kang Fauzan sudah bekerja sebagai petani kopi sejak 20 tahun silam, hijrah dari Garut ke Bandung, dan hapal betul dengan tanaman kopi, cara-cara memproses red cherry (buah kopi) hingga green bean dengan berbagai teknik. Namun tertangkap betul, bahwa penghasilan dari bertani kopi di kaki Gunung Puntang masih jauh dari yang diharapkannya.

Para petani kopi di Puntang hanya berkesempatan satu kali panen raya di bulan April. Sejak Februari buah-buah kopi sudah mulai dipanen, dan terus dilakukan setiap dua minggu sekali hingga habis. Setelah itu baru menanam kembali. Namun ada hal yang disayangkan, karena para petani hanya menjual berupa red cherry yang dihargai sekitar Rp 7.000 – Rp 11.000 per kilogram ke pihak ketiga bahkan tengkulak, dengan alasan lebih cepat mendapatkan uang hasil panen, ya lagi-lagi mereka dibenturkan oleh masalah finansial untuk urusan perut.

Di sinilah peran berbagai pihak harus lebih ditingkatkan. Para petani lewat guyub terus-menerus diberikan pemahaman terhadap pengolahan kopi agar memiliki skema bisnis yang rapi demi perbaikan penghasilan ke arah yang lebih baik, dengan begitu setiap petani akan langsung menikmati penjualan kopi Gunung Puntang sendiri yang mulai meledak harga komoditasnya di pasaran. Bukan berbentuk buah panen yang nilai tertingginya hanya dihargai belasan ribu rupiah saja, sedang dunia mampu membayar hingga puluhan kali lipat untuk hasil keringat mereka.

 

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan