Di awal penguasaan VOC di Batavia, orang-orang Bali didatangkan sebagai budak yang dijual oleh raja-raja mereka. Selain sebagai budak bagi para orang Belanda pada zaman itu, di mana jumlah budak yang dimiliki menunjukkan prestise dan menaikkan derajat pemilik budak. Ada juga yang dipekerjakan di kebun atau sawah yang dimiliki oleh tuan tanah kaya. Wanita Bali pun terkenal pandai mengurus rumah tangga dan cantik, sehingga disukai oleh orang Belanda dan Tionghoa yang menjadikan mereka sebagai gundik. Ada pula orang Bali yang berstatus bebas dan menjadi tentara VOC.1
Saking banyak orang Bali di Batavia, tercatat dari tahun 1687 sudah 4 kampung etnis Bali; di Jakarta Pusat, Jakarta Timur (Bali Mester, Jatinegara), Jakarta Barat (Bali Krukut dan Bali Angke). Kampung etnis Bali pun semakin bertambah ke daerah lain, diantaranya Kampung Gusti (1709) di Kampung Angke sampai Kampung Bali di Tanah Abang (1874).
Orang-orang Bali yang ada di Batavia ini membaur dengan penduduk asli yang lebih dulu ada, kebanyakan penduduk asli ini orang orang Jawa muslim dari Banten. Mereka pun juga bergaul dengan orang Tionghoa dan orang Arab yang tinggal di daerah tersebut. Ada sebagian orang-orang Bali ini menjadi muslim.
Dan pada tahun 1761 dibangun masjid kecil di tengah kampung yang dihuni oleh orang Bali muslim. Tepatnya di Kampung Gusti di daerah Angke, lokasi sekarang ada di Gang Mesjid I RT 01 RW 05 Kelurahan Angke, kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Masjid ini dinamakan Masjid Angke.2
Dikatakan, pembangunan mesjid ini dirancang dan dibangun oleh orang Tionghoa. Kedekatan Tionghoa dan muslim pada saat itu terjadi setelah peristiwa Geger Pecinan di tahun 1740 yang memakan korban 10.000 orang Tionghoa.
Mesjid kecil dan indah ini memiliki beberapa gaya arsitektur. Denah dasar dan atap tumpang bersusun dua berbentuk limasan merupakan pengaruh dari Jawa. Ujung atap yang melengkung menunjukkan pengaruh Tionghoa dan bentuk ukiran punggel yang ada di ujung atap merupakan ciri khas seni ukir Bali.
Susunan lima anak tangga di depan, daun pintu ganda, bentuk kusen serta lobang angin dengan ukiran bergaya gothic merupakan ciri khas rumah-rumah Belanda. Dan hampir semua ukiran di masjid ini bergaya Bali dan ragam hias Belanda.
Adanya makam Syech Liong Tan dan nisan bangsawan Banten dengan berbagai bentuk di sisi Barat, serta makam Syarif Hamid Alkadrie, keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak di sisi Timur menunjukkan betapa pada zamannya masjid ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dengan berbagai latar belakang.
Azan magrib berkumandang tepat pukul 17.48 di hari ke- 4 bulan Ramadan ini.
Suguhan berbuka sederhana yang terdiri dari teh manis hangat, bihun goreng, dan bermacam gorengan dengan sambal kacangnya serta takjil menjadi pelepas lapar dan dahaga bagi saya dan sekitar 15-an jemaah Masjid Angke atau Masjid An-Nawier yang sudah berumur 258 tahun yang sekarang sedang tahap restorasi oleh Yayasan Lingkar Warisan Kota Tua sejak tahun 2017.
Dan konon katanya, tradisi buka bersama ini sudah dilaksanakan sejak tahun-tahun awal mesjid ini didirikan. Waktu itu orang-orang Tionghoa yang menyumbang makanan berbuka.