Pernah merasa marah pada tukang cukur yang kerap mengendalikan kepala saat rambut kita dipotong? Tentu tidak beralasan. Kalau tak mau salah potong, ya tukang cukur harus dituruti. Padahal kepala adalah sumber segala kewibawaan.
Presiden akan terlihat lucu kalau fotonya bersama wakil presiden dipajang tanpa kepala di ruangan kelas dan gedung pemerintahan. Tentu tidak lucu juga jika fotonya diganti dengan gambar kedua kaki mereka. Foto dengan gambar kepala kita menjadi simbol ikonik di kartu pengenal, paspor, KTP, ijazah, piagam penghargaan, dan ragam kartu lainnya sebagai sebuah kebanggaan.
“Miringkan ke kiri sedikit, Kang!” kata Pak Ronny.
Lalu mesin potong rambut sederhana itu mulai menggerayangi rambut saya. Sebagai makhluk sosial tak ada alasan saya untuk diam. Agar waktu berjalan lebih cepat, obrolan bersama tukang cukur harus dijadikan sebuah tradisi, tentunya selain obrolan bersama dengan tukang ojek dan supir taksi.
Sebetulnya bisa saja Pak Ronny yang akan membuka pertanyaan tentang latar belakang saya, atau sebaliknya saya yang menanyakan profesi Pak Ronny.
“Sudah berapa lama menjadi tukang cukur, Pak?”
“Tumben hari Minggu sepi ya?”
“Anak masih ada yang sekolah?”
Dan cerita akan mengalir begitu saja dari mulut Pak Ronny. Di sebuah jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil, pangkas rambutnya sudah berdiri selama sepuluh tahun. Dari profesinya ia sudah menyekolahkan tiga anak.
Anak perempuannya paling besar kini menjadi PNS di kota kelahirannya, Tasikmalaya. Kegembiraannya saat bercerita ia tunjukkan ketika menyebut ada beberapa pelanggan setianya yang bertahan selama lima tahun.
Tentu bukan tanpa hambatan, usahanya nyaris bangkrut karena tarif sewa tempat usahanya terus mengalami kenaikan.
“Kita kan pengennya langsung jadi, instan, praktis, dan tidak merasa perlu berjuang untuk mendapatkan segala sesuatu. Yang penting cepat, itu sudah cukup,” ujarnya sambil membuka kain yang menutupi badan saya.
Sedikit termenung dengan ucapannya. Namun tugasnya hampir selesai, sesekali tatapannya ditujukan kepada saya lewat cermin. Saya pura-pura melihat rambut yang menyisakan ukuran satu inci.
Sebilah pisau kemudian ia bersihkan sebelum akhirnya menyayat sisa-sisa bulu rambut di kepala.
Di keluarganya, saya yakin Pak Ronny adalah kepala keluarga yang hebat. Kepala yang selalu berurusan dengan ribuan kepala. Ia tak pernah malu, tidak juga merasa kehilangan wibawa.
Dan ada jutaan Ronny-Ronny lain yang menyebar di sudut-sudut kota dan pelosok desa. Meski jasanya tak pernah terpikirkan lagi oleh mereka yang baru selesai diwisuda, dilantik jadi menteri, diterima di kantor baru, atau momen kencan pertama bareng si pacar.
Jadi, seberapa sering kita mengingat jasa tukang cukur untuk hari-hari penting dalam hidup?