Travelogue

Dibaca normal 6 menit
1

KalibiruSuatu Tanggal, Suatu Hari, Suatu Tempat Dalam hidup yang singkat ini, sebaiknya berapa kali kita patah hati?

Cinta, barangkali, memang bukan yang terpenting dalam sejarah manusia di muka bumi. Kuselusuri huruf L dalam indeks buku Leon Trotsky yang sedang kubaca sambil minum kopi, The History of Russian Revolution, dan tidak kutemukan kata ”love”. Bukankah cinta memang bukan bagian dari sejarah?

Aku datang ke kota ini tidak untuk minum kopi—tetapi dalam suatu musim, ketika angin bertiup dingin, kutemukan diriku di bawah atap sebuah kafe, menyeruput kopi sambil memperhatikan matahari menyepuh rerumputan menjadi kuning. Orang-orang tampak melangkah berseliweran.

Kuingat lagu lama, dari sebuah film lama.

there is a long goodbye

and it happens everyday …

Namun itu tidak perlu kualami hari ini. Sudah lama aku tidak bertemu siapapun. Tidak berpisah dengan siapapun. Hanya hari demi hari yang berkelebat, tanpa jejak dalam ingatan maupun mimpi, meski segalanya tercatat dengan rinci. Huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat yang dibentuknya, bagaimanakah caranya akan bisa nyata?

Tanggal Sebelumnya, Hari Sebelumnya, Tempat Sebelumnya

Pantai sungguh kelabu dan hanya kelabu.

Apakah yang harus kita catat? Apakah kita harus mencatat yang terpenting, mengabaikan yang kurang penting, dan melupakan sama sekali yang tidak penting?

Namun apakah jaminannya bahwa yang tidak penting dan boleh dilupakan saja, memang lebih tidak penting daripada yang kurang penting dan cukup diabaikan saja, dan apa pula jaminannya bahwa yang kurang penting dan boleh diabaikan, memang kurang penting daripada yang penting—yang tidak bisa tidak mesti dicatat, meskipun menjadi penting hanya karena dibuat agar tampak seperti penting?

Bunga mawar yang terindah tidak selalu lebih indah daripada bunga rumput berembun yang cemerlang dalam denyar matahari pagi.

Ini seperti pingsut. Jempol lebih unggul dari telunjuk, telunjuk lebih unggul dari kelingking, dan kelingking lebih unggul dari jempol. Hidup adalah perjudian. Ketika dilahirkan tidak seorang pun mungkin untuk mengetahui, apakah ia akan bahagia sepanjang hidupnya ataukah akan menderita selama-lamanya, ataukah kadang-kadang bahagia dan kadang-kadang menderita tanpa tahu persis apakah yang menjadi penyebabnya.

Pada pantai itu lidah ombak mendesis terserap pasir yang meskipun sempat basah akan segera mengering dan segera pula basah kembali.

Tanggal Lain, Hari Lain, Entah Sebelum atau Sesudah yang Sebelumnya

”Aku tidak bisa lagi,” katanya, tanpa bahasa apapun yang dikenal manusia, karena tidak segalanya memang memerlukan kata-kata.

Pada pantai yang kelabu, buih ombak memang selalu putih, tetapi hari itu laut adalah kelabu, seperti juga langit dan cakrawala itu. Pasir yang basah bahkan menghitam karena tidak membiaskan apapun dari langit yang muram.

Perahu tergolek dengan dayung tergeletak di dalamnya. Seekor burung bertengger pada tiang layarnya.

Batu-batu, kerang dan ketam. Jejak telapak kaki seseorang. Tidak adakah sebuah cerita dari sini?

Makna datang seperti titik-titik yang muncul perlahan membentuk gambar, seperti kata yang muncul satu persatu dalam waktu sebelum menjadi kalimat yang selesai.

Seperti pemandangan pantai itu, mula-mula kabut, lantas perahu. Baru kemudian orang-orang datang bagai bayang-bayang hitam di kejauhan yang tidak akan pernah mendekat. Membawa jala, membawa bekal, dan segala peralatannya.

Mereka terdengar berkata-kata, mendorong perahunya, dan segera menjadi noktah yang lenyap ditelan pemandangan itu.

Apakah para nelayan hanya bagian dari gambar, ataukah manusia yang akan memahami segala sesuatunya tanpa memerlukan kata-kata dalam dunia yang telah sangat dikenalnya?

Seperti nada sebuah lagu, makna tersusun dari detik ke detik, memastikan riwayat hidupku, riwayat hidupmu, dan bagaimana riwayat itu berpapasan hanya untuk berlalu.

Apakah perlu ku-klik Roland Barthes, A Lover’s Discourse? Tapi aku tidak ingin memikirkannya. Tidak ingin merasakannya.

Tanggal yang Sama, Hari yang Sama, Tempat yang Sama

Bagaimana mungkin aku tidak membayangkan sepasang mata terindah yang bermata tajam yang menatap dengan penuh cinta yang berkata hatiku milikmu tubuhku milikmu hidupku milikmu setiap kali aku berada di pantai itu di mana pun asal pantai itu berangin dan berpasir asal pasirnya basah dan berkilau asal kilaunya mengertap dan berkeredap ketika senja dan ombaknya menghempas dengan lidah-lidah ombak yang dengan halusnya mendesis seperti membisikkan segala kisah meskipun hanya pada bagian yang sendu dan tiada lain selain sendu bagaikan tiada lagi yang bisa lebih sendu dari perpisahan terindah yang begitu pedih yang semakin indah semakin pedih begitu pedih bagaikan tiada lagi yang bisa lebih pedih seperti hati yang tercabik tapi tak pernah terpisahkan sehingga darah pada luka itu masih selalu menitik pada pasir pada gelombang yang masih saja menghempas dengan rintihan menyayat sebelum terserap dan menguap seperti masa yang meskipun hilang tetap saja menjelma dalam hampa udara ketika senja dan hanya senja membuat langit dan bumi di pantai seluruhnya menjadi jingga.

Betapa aku tidak akan terbayang akan rambutnya yang melambai memenuhi semesta seperti hujan airmata tanpa jeda yang menjelma jarum-jarum tertajam ketika tiba seperti luka yang menggurat saling menyilang seperti alur riwayat setiap orang pada peta nasib yang begitu asing dan begitu menggetarkan seperti kesedihan tanpa suara tanpa kata-kata tanpa …

Hmm.

Apakah tidak terlalu pagi untuk melankoli?

Kuhabiskan kopiku, kutinggalkan pagi, dan jalanan menelanku, menjadi seseorang yang tidak pernah ada.

***

Oleh: Seno Gumira Ajidarma, Cerpen Kompas edisi Minggu, 16 November 2014

Ngopi Jakarta

Membaca Jakarta, Memaknai Peradaban

1 Comment

Tinggalkan Balasan