Mereka yang Memburu Waktu

Dibaca normal 6 menit

Suara adzan subuh sedikit demi sedikit mulai tersamar. Suara deru mesin dari dalam rumah terdengar lirih dan makin keras saat saya benar-benar keluar rumah. Kendaraan saling beradu kecepatan; seakan para pengendara tak ingin kalah antara pengendara satu dengan pengendara lainnya.

Kali ini saya ada tugas kantor cabang yang berada Kota Bogor. Saya mengawali perjalanan dari BSD menuju stasiun Rawa Buntu, Serpong, Tangerang. Dari BSD, saya memilih ojek online. Bukan karena saya ikut memboikot perilaku sopir angkot yang menabrak ojek online itu. Atau lantaran saya penggila ojek online. Bukan! Saya di sini sebagai pengguna segala fasilitas transportasi pada umumnya. Saya memilih ojek online—sebut saja Grab—ini karena efisien. Jika dari BSD menuju stasiun Rawa Buntu, bila naik angkot harus oper 2 kali. Karena alasan itulah saya naik ojek online. Nah, baru saat pulang, saya baru naik angkot.

Kita lupakan sejenak soal itu. Jam 6 pagi saya sampai di stasiun Rawa Buntu. Dari sinilah saya melihat ‘pertunjukan’ saling beradu kecepatan dan kekuatan dalam mencari tempat saat naik kereta. Meski suara dalam speaker tak henti-hentinya mengingatkan bahwa mengutamakan Ibu menyusui atau ibu bersama anaknya, penumpang disabilitas dan penumpang lanjut usia, namun saat sampai di stasiun Tanah Abang dan pindah di jalur jurusan Bogor, saat menaiki anak tangga untuk pindah jalur, desak-desakan pun tak bisa dihindari. Drama di sini sering terjadi. Dan hukum rimba pun tidak terhindarkan. Yang besar dan yang muda pasti yang menguasai jalan, serta memenangkan persaingan.

Bersamaan dengan perjalanan saya ke Bogor, jelas banyak pula orang-orang yang meniti jalan dan membelah aspal menuju tempat-tempat tujuan. Baik pada jam pagi, sore, dan malam, jalan(an) selalu ramai, jika tak mau dibilang macet. Di Jakarta, kata macet adalah makanan sehari-hari. Jakarta terkenal karena macet dan semrawutnya orang-orang di sekitarnya. Kendaraan makin hari kian memenuhi ‘wajah’ Jakarta. Motor telah menyita lahan pejalan, mobil melintas di rute yang bukan jalurnya, dan bus berpacu ingin saling mendahului. Intinya siapa saja ingin yang terdepan. Hingga ingin cepat-cepat sampai tujuan.

Kompetisi berkendara mencerminkan kompetisi hidup yang sesungguhnya. Mereka (hampir) semuanya berlomba dan berjuang menuju tempat masing-masing demi sebuah asa yang menggantung. Bagi seorang siswa, mereka ingin cepat sampai di sekolah dan belajar. Bagi yang berkeluarga, mereka sudah tidak sabar ingin berkumpul bersama sanak famili. Bagi yang bekerja, mereka juga demikian, ingin pergi dan pulang dengan selamat.

Semuanya ingin segera menuju tempat yang dituju, baik tempat kerja atau sekolah. Kendati begitu, tentu dengan ritme yang berbeda-beda. Ritme yang dijalani oleh penunggang “kuda besi” atau penumpang layanan publik ini berbeda-beda. Ada yang memanfaatkan waktu berkendara dengan menikmati suasana dan panorama alam. Ada juga yang ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuannya. Ada juga yang “ugal-ugalan” dengan mensabotase wilayah teritorial bagi pejalan lain.

Kompetisi yang ada di jalan ini menandakan bahwa kita sudah masuk dalam kehidupan dengan kecepatan super kilat. Semua ingin dimiliki dengan cepat dan mampu digenggam dalam kepalan tangan. Seperti apa yang dikatakan oleh novelis kelahiran Amerika Serikat, Ernest Hemingway dalam bukunya The Old Man and The Sea, “Manusia tidak dilahirkan untuk kalah.”

Mereka menganggap orang yang ada di sekitarnya adalah kompetitor. Menggungguli karena alasan waktu. Waktu adalah boomerang. Dan, karena waktu manusia bisa tercekik dan kena potong gaji. Oleh karena itu pula, mereka memburu waktu. Mereka yang berburu waktu hanya ingin menyelamatkan haknya; bagi sopir angkot mendapat setoran banyak, bagi yang bekerja di hotel berbintang tidak kena potong gaji maupun kena marah.

Sastrawan Seno Gumira Ajidarma merekamnya dalam buku Tiada Ojek di Paris. Ia dengan tegas “menertawakan” para pemburu waktu. Bagaimana tidak? Hanya di Jakarta-lah kita bisa menemui eksekutif muda berdasi naik ojek karena takut telat meeting di gedung perkantoran tinggi menjulang. Tingkah polah masyarakat urban dan kota metropolitan ini merepresentasikan bahwa di Jakarta atau pun di kota-kota besar lain di Indonesia tak ada ruang dan waktu untuk berhenti sejenak.

Saya yang baru hampir setengah tahun tinggal di kota metropolitan, seperti Tangerang ini mau tak mau juga ikut tergilas oleh perputaran waktu dan berburu waktu. Tidak ada yang menyuruh untuk hidup dan bertahan? Jakarta adalah jantung. Bila hidup di jakarta namun tidak bergerak dan memburu waktu, maka ia bersiaplah untuk mati dan terlindas.

Dan, pemandangan mereka yang berburu waktu itu tidak akan berhenti sampai di tujuan saya berakhir di Stasiun Bogor. Pemandangan orang-orang yang memburu waktu bakal tersaji kala waktu pulang kerja dan kesempatan-kesempatan di waktu-waktu yang lain. Dan kondisi ini merepresentasikan bahwa berputar lebih cepat dan instan. Siapa yang tidak cepat atau telat, maka akan terlindas. Sebenarnya, secara psikologis-sosialis tipe orang seperti ini bakal tidak sabaran dan hidup serba tergesa-gesa. Lantas apakah saya mampu bertahan hidup dan terus memburu waktu di tengah deru mesin dalam persaingan di kota ini?

Marilah, di sini, sejenak Ngopi di Jakarta sembari mencari udara segar dengan ruangnya yang lengang sebagaimana Jakarta ditinggal mudik oleh penghuninya.

Tinggalkan Balasan