Di bulan-bulan pertama menjadi wartawan di sebuah koran terbitan sore pada pertengahan 1990-an, redaktur perkotaan menugasi saya meliput perubahan kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Kawasan kumuh ini sebelumnya langganan banjir. Tapi kemudian berubah berkat sentuhan inspiratif lurah baru. Sukarta, asal Cirebon.
Setiap akhir pekan si Lurah biasa turun membersihkan got-got di kawasan itu secara bergilir. Lama-lama warga sungkan dan ikut membantu. Tak cuma got, sungai yang membelah kawasan itu pun ikut dibersihkan bersama-sama.
Hasilnya, setiap kali hujan air menggelontor di saluran tanpa meruah ke pemukiman. “Kalau hujan sangat deras dan lama, paling air cuma sampai bibir sungai. Enggak sampai meluap ke rumah-rumah,” ujar seorang warga.
Saya menulis laporan dengan judul, “Sukarta, dari Cirebon Menata Jatinegara”.
Asisten redaktur (Asred) yang menerima laporan menyebut judul itu kurang seksi. Saya bergeming. Tak siap dengan alternatif judul lain. Keesokan harinya, ketika membuka halaman metropolitan koran yang baru dicetak, saya terperangah. Judul tulisan saya digantinya. Jauh dari esensi, gak nyambung dengan isi, “Paling Cuma Sampai Bibir…”
Saya merutuk dalam hati, “Kebanyakan baca Monitor nih asred.”
Tabloid Monitor adalah salah satu mahakarya Arswendo Atmowiloto. Pada 1987 – 1990, tabloid hiburan ini merupakan yang terbesar. Salah satu kiat sukses Arswendo mengelola Monitor adalah menerapkan ‘Jurnalisme Lher’. Secara kasaran ada yang menyebutnya sebagai paduan jurnalisme sensasi dan pornografi.
Secara umum materi Monitor seputar dunia hiburan. Membahas program televisi, film, musik, dan gosip artis. Juga melengkapinya dengan grafik, tabel, dan berbagai data yang menarik. Arswendo ingin menjadikan Monitor sebagai TV Guide. Cuma untuk halaman sampul, Monitor biasa menampilkan foto-foto seronok. Judul yang menggoda, cenderung berasosiasi ke urusan ranjang dan selangkangan.
Dalam salah satu edisi di tahun 1987, Monitor menampilkan Enny Beatrice. Model dan bintang film seksi itu berpose duduk ngedeprok. Tubuh sintalnya cuma berbalut handuk sedada. Rambutnya basah seolah habis keramas.
Psikolog dan pemain teater Niniek L Karim tak tampil seronok seperti Enny. Tapi judul wawancara dibuat begitu asosiatif. “Kalau ukurannya nggak pas ya nggak bahagia”. Begitu juga dengan aktris senior Widyawati. Keanggunannya dibuat close-up menatap Piala Citra. Artikelnya diberi judul, “Saya Masih Ingin…”. Artis Vivi Sumanti tampil berbaring dengan tank top. “Saya pakai sistem kalender,” begitu judul artikelnya.
Tentu tak semua edisi Monitor tampil dengan pakem menonjolkan Sekwilda (Sekitar wilayah dada) dan Bupati (Buka paha tinggi-tinggi). Tabloid ini pernah menampilkan petinju si ‘Leher Beton’, Mike Tyson. Juga pernah memajang gadis berjilbab. Namanya Dilla Umar, juara MTQ ke-15.
Banyak yang memuji Monitor dan Arswendo. Mereka yang mencibir, menyebut Monitor dan para pengelolanya berselera rendahan. Arswendo yang urakan tak peduli. Apalagi banyak orang yang menggemari. Tirasnya pernah melejit hingga 800 ribu eksemplar. Padahal saat masih berbentuk majalah dan dikelola TVRI, 1972 – 1973, tirasnya tak sampai 10 ribu.
Titik balik terjadi pada 15 Oktober 1990. Edisi itu Monitor memuat hasil jajak pendapat atau kuis bertajuk “Kagum Rp 5 Juta” yang dirilis di edisi 2 September 1990. Melalui kuis ini, pembaca dipersilakan memilih berbagai tokoh favoritnya. Hasilnya, peringkat pertama diduduki oleh Soeharto yang dipilih oleh 5.003 pembaca. Berikutnya ada BJ Habibie, Sukarno, Iwan Fals, dan Arswendo di peringkat 10, serta Nabi Muhammad saw di peringkat 11.
Amarah kaum muslim pun meledak. Unjuk rasa terjadi di sejumlah daerah. Mereka menuntut Monitor dibreidel, dan Arswendo diadili. Sejumlah tokoh seperti Amien Rais, Deliar Noer, Jalaludin Rakhmat, ikut mengecam Monitor. Tak terkecuali cendekiawan Nurcholish Madjid. Arswendo dianggap gegabah. Kurang sensitif dan empati sehingga merusak berbagai upaya membangun toleransi beragama.
Cak Nur bukan saja menyarankan Monitor dibredel, tapi juga meminta pemerintah untuk tidak menutup-nutupi jika ada mekanisme di belakang kasus tersebut. “Sikap yang ditunjukkan Monitor itu sombong. Dia tidak mau tahu kepekaan orang lain. Masalah ini hanya dapat diselesaikan melalui jalur hukum,” kata Cak Nur kepada pers kala itu.
Meski secara substansi ikut menyalahkan keteledoran Arswendo, KH Abdurrahman Wahid tetap membelanya. Ketua Umum PBNU KH itu malah balik menuding mereka yang bersikap keras terhadap angket Monitor sebagai ekspresi rendah diri. Gus Dur juga menolak pembreidelan.
“Hebat benar anak muda (Arswendo) itu sampai harus dihadapi tokoh-tokoh seperti Moerdiono, Ketua Umum MUI, dan Cak Nur. Rasulullah tidak akan turun derajatnya karena angket Monitor,” begitu kata Gus Dur. Di akhir tahun 1990, majalah Editor edisi No 15/THN IV/22 Desember, menobatkannya sebagai penggerak Islam Indonesia.
Beberapa tahun setelah keluar dari LP Cipinang, Arswendo berusaha menemui Gus Dur. Di sebuah seminar, dia sengaja ikut menyambut untuk mencium tangannya. Selain sebagai rasa terima kasih juga penghormatan terhadap sahabatnya itu. Dia berharap dengan cara itu Gus Dur akan balas menyapa.
Ternyata tidak. Gus Dur tetap melangkah menuju ruangan di Bentara Budaya, Palmerah. Arswendo masygul. Tapi begitu di ujung ruangan, tiba-tiba Gus Dur berseru kepada Arswendo. “As, dari baunya aku tahu itu kamu. Kalau kamu menggerutu, aku yo ngerti lo,” ungkap Arswendo menirukan perkataan Gus Dur kala itu.
“Saya masih percaya Gus Dur itu dewa, cuma jadi kiai,” imbuh Arswendo dalam acara haul ke-5 Gus Dur di Kantor DPP PKB, 23 Desember 2014.
***
Sumber foto: DetikHot