Sebagai manusia yang meniti karir di kota metropolitan, saya terkadang merasa hidup ini begitu rumit. Serumit itu, bahkan untuk menikmati akhir minggu dengan tenang pun saya merasa ragu karena harus menyiapkan pekerjaan di hari Senin. Segala pikiran mengenai apa yang harus saya lakukan di hari Senin selalu menyapa ketika saya terbangun di hari Minggu. Padahal, hal-hal tersebut pada akhirnya baru akan dikerjakan di hari Senin dan pada dasarnya apa yang saya lakukan di setiap hari Senin adalah pengulangan dari Senin-Senin sebelumnya. Jadi, untuk apa saya pusing di hari Minggu?
Kebanyakan dari kita sibuk memusingkan hal yang belum terjadi, kebanyakan dari kita mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. “Bagaimana jika di meeting hari Senin nanti saya dibantai oleh atasan?”, “Bagaimana jika data yang saya sajikan salah?”, “Bagaimana jika target saya bulan ini tidak terpenuhi?”, dan puluhan kekhawatiran lain selalu menyelimuti kita hampir di setiap hari, jam, menit, bahkan detik. Tidak bisakah kita duduk sebentar di teras depan rumah sambil ditemani secangkir teh atau kopi untuk menikmati akhir minggu tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi di hari Senin?
Tidak jarang juga kita dipusingkan dengan pemikiran orang lain. Kita sibuk mencitrakan diri supaya tidak dinilai buruk oleh orang-orang yang mungkin sebenarnya tidak sepeduli itu, kita sibuk menunjukkan kesibukan kita di media sosial, sibuk pula menunjukkan kebahagiaan yang kebanyakan hanya pencitraan supaya dinilai kita menikmati hidup kita. Untuk apa segala pencitraan itu jika pada akhirnya kita sendiri tidak menikmati?
Hari Sabtu kemarin saya mengeluh habis-habisan karena saya diharapkan datang ke acara kantor. Saya paling tidak suka jika ada kegiatan di hari Sabtu karena itu adalah satu-satunya hari di mana saya bisa sama sekali tidak memikirkan tentang pekerjaan, sementara di hari Minggu saya sudah harus menyiapkan hal-hal yang baru akan saya lakukan di hari Senin. Hari Sabtu seharusnya jadi hari bebas saya, jauh dari telepon genggam, tidak harus bangkit dari tempat tidur, tidak harus keluar kamar, bahkan tidak wajib mandi, tetapi karena harus menghadiri acara kantor, saya tidak bisa melakukan itu semua. Saya mau-tidak mau harus memeriksa telepon genggam saya untuk berkomunikasi dengan klien (dan atasan saya tentunya), saya harus bangkit dari tempat tidur, saya harus keluar kamar, dan pastinya saya harus mandi.
Belum cukup dengan hari Sabtu saya yang kurang indah karena saya harus menghadiri acara kantor, ketika saya memeriksa telepon genggam saya ada pesan singkat dari mentor sekaligus presiden direktur saya (yang di hari Senin lalu berhasil membuat saya “babak belur” di meeting bulanan dengan pertanyaan dan pernyataan yang tidak kalah tajam dari silet) menanyakan kelanjutan kerjasama dengan salah satu klien terbesar yang saya pegang, dilanjut dengan telepon dari beliau mengenai hal yang sama, yang membuat Sabtu saya semakin kelabu, ditambah lagi beliau mengirimkan pesan lain, “Kamu nanti malam datang kan ke acara kita?”. Ketika saya jawab saya akan datang, beliau membalas, “OK. Nanti saya mau ngobrol sama kamu di sana.”
Ingin rasanya saya membuang jauh-jauh telepon genggam saya saking kesalnya. Masuk kerja di hari Sabtu sudah cukup buruk, ditambah lagi saya harus ngobrol dengan ibu presiden direktur tercinta saya di acara tersebut. Perut saya langsung mulas selagi otak saya terus-terusan memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh beliau nanti. Bagaimana jika saya “dibantai” lagi? Bagaimana jika saya ditanyakan persoalan rumit di area saya? Dan pertanyaan “Bagaimana jika” yang lain langsung menyergap pikiran saya. Saya pun langsung membuka laptop, memeriksa data, menghapal beberapa angka yang kiranya ditanyakan oleh beliau, sambil menahan sakit perut mulas karena tegang.
Ketika akhirnya sampai di acara kantor, saya terselamatkan karena presiden direktur saya duduk di deretan VIP sementara saya hilir mudik mengobrol dengan rekan-rekan kerja yang lain sambil sesekali menyapa dan melakukan diskusi singkat dengan klien-klien saya yang menjadi tamu VIP. Tetapi sepertinya keberuntungan saya tidak hinggap terlalu lama karena setelah penutupan acara, atasan saya alias ibu presiden direktur menyadari kehadiran saya di acara tersebut. Beliau menyapa sekilas kemudian mengantarkan tamu-tamu VIP yang lain pulang, berbicara dengan beberapa rekan-rekan kerja saya yang lain, dan akhirnya menghampiri saya.
“Hei, ngobrol sebentar yuk.” ujar atasan saya sambil duduk di sebelah saya. Saya hanya tersenyum kikuk sambil membayangkan tidak lama lagi saya akan “babak belur” lagi dihujani pertanyaan dan pernyataan mengenai area dan klien yang saya manage. Sementara saya sibuk mengatur nafas supaya tidak terlalu tegang, atasan saya merangkul pundak saya dan mulai bicara, “Lo takut banget ya sama gue?”.
Saya langsung lemas dan memberi senyum kikuk. Bagaimana bisa beliau tau saya takut?
“Jangan gitu dong. Jangan takut sama gue. Kalau ada satu hal yang boleh gue request dari lo, please banget jangan takut sama gue, ya.”
Saya bingung sekaligus kaget mendengar omongan beliau ditambah lagi beliau bicara sambil tersenyum ramah dan merangkul pundak saya dengan santai.
“Kalau ada apa-apa, ada masalah tentang kerjaan, ngomong sama gue. Jangan malah takut ngomong sama gue. Lo seperti baru kenal gue aja. Gue cuma request itu aja kok. Kalau ada apa-apa ngomong, dan jangan takut sama gue. OK?”
Saya hanya mengangguk kikuk sambil menunggu apalagi yang akan dia katakan setelah membujuk saya untuk tidak takut. Tetapi hal berikutnya benar-benar diluar ekspektasi saya. Atasan saya tersenyum hangat, menepuk pundak saya sambil bicara, “Itu aja kok yang mau gue omongin.” kemudian beliau bangkit dan pergi. Untuk beberapa saat saya terdiam saking bingungnya dilanjut dengan nafas lega karena hal-hal yang saya takutkan tidak terjadi.
Berkaca dari apa yang baru saja saya alami Sabtu kemarin, saya merasa kembali disadarkan bahwa terkadang kita terlalu banyak mengkhawatirkan hal-hal yang mungkin memang tidak akan pernah terjadi. Hal-hal tersebut hanya akan menjadi beban pikiran, dan bisa jadi malah menurunkan motivasi bekerja. Terkadang pikiran-pikiran tidak penting yang menjejali kepala kita hanya akan berakhir menjadi energi negatif yang dampaknya bisa jadi sangat buruk untuk kesehatan seperti naiknya asam lambung yang bisa menyebabkan maag saya kumat atau mungkin mulas-mulas tidak berkesudahan seperti yang sering saya alami akhir-akhir ini. Apa untungnya bagi kita? Daripada menghabiskan waktu memikirkan hal-hal yang tidak ada juntrungannya, bukankah lebih baik menghabiskan waktu untuk menjadi produktif?
Kalau boleh saya mengutip salah satu kalimat teman saya:
“Masalah itu nggak akan selesai kalau cuma dipikirin. Masalah baru bisa selesai kalau diselesaikan. Begitupun pekerjaan, dipikirin doang sih nggak akan kelar. Dikerjakanlah biar kelar.”
Hahaha… ceritanya itu loh. Bener banget. Daku jadi ingat pernah nulis di blog sendiri. Judulnya “I Hate Sunday”. Sorry, bukan promosi. Tapi isinya masih nyambung sama isi tulisan ini. Daku kutip dikit percakapanku dengan seorang teman,
Teman: “Aku benci hari Minggu.”
Daku: “Lho, kenapa?”
Teman: “Soalnya Minggu adalah hari yang paling dekat dengan Senin. Uh!”
Nah loh, padahal dia “sedang ada di hari Minggu”. Tapi pikirannya itu “melayang ke hari Senin”. Pikiran itu juga yang bikin mood-nya rusak parah. Hehe…
Jadi benar nih tulisan, hidup kadang enggak sesuai dengan pikiran kita yang di-njelimet-njelimet-kan. 😀
Thank you udah sharing, Miss!
Iya, kebiasaan kita kan emang gitu mengkhawatirkan hal-hal yang sebenernya memang nggak perlu dikhawatirkan. Thanks juga ya udah mampir dan ninggalin jejak 😀