Dibalut kain kerudung berwarna cokelat, tak terlihat sehelai pun rambut di kepalanya.
Mimi Kartika, demikian namanya, datang ke Museum Santa Maria bersama sekitar 25 orang dalam rombogan Ngojak 18 pada Sabtu siang (10/11/2018).
Museum Santa Maria di Indonesia? Di mana? Museum Santa Maria berdiri di Jalan Ir.H.Juanda Nomor 29, Jakarta Pusat. Persisnya, berada dalam sekolah sekaligus terdapat kompleks biara Santa Ursula di Jalan Juanda, tak jauh dari Stasiun Juanda.
Ekspresi serius terlihat mulai mengisi wajah wanita berusia 23 tahun asal Tangerang ini saat mulai memasuki ruangan pertama Museum Santa Maria. Ruang Angela yang berisi sejumlah gambar dan barang terkait kedatangan tujuh (7) orang Suster Ursulin pertama ke Indonesia atau Hindia Belanda pada 7 Februari 1856. Salah satunya, miniatur Kapal Herman yang membawa ketujuh Suster Ursulin dari Komunitas Sittard Belanda melalui Pelabuhan Rotterdam pada 20 September 1855.
Penjelasan dari Angel, guide atau pemandu wisata yang kemudian diketahui merupakan salah satu tour guide volunteering Museum Santa Maria, nampaknya membuat Mimi tidak dapat menyembunyikan keterkejutan sekaligus kebaruan informasi yang diterimanya. Mimi nampak serius melihat isi koleksi museum dan saat bersamaan, mendengarkan penjelasan dari tour guide.
Disampaikan Angel, Suster Emmanuel Harris OSU, salah satu dari tujuh orang Suster Ursulin yang berangkat ke Batavia, meninggal ketika baru empat hari tiba di Batavia atau pada 11 Februari 1856 .
Ruangan selanjutnya dari Museum yang di-launching pada 6 Februari 2011, adalah ruangan liturgi. Ruangan liturgi berisi pelbagai benda dan peralatan doa antara lain Ampul, tempat air dan anggur saat perayaan ekaristi yang semula diserahkan para Suster Ursulin kepada Pastor Professor Jet de Rijk pada 15 Agustus 1887, kemudian diserahkan kembali oleh keluar Pastor Rijk keada Museum Santa Maria pada 2 Juni 2016.
Biara Ursulin yang menjadi lokasi Museum Santa Maria berdiri, merupakan biara pertama di Batavia yang dilengkapi kapel. Tak ayal, buku-buku doa dan ibadat sebelum Konsili Vatikan II, masih tersimpan baik di Museum Santa Maria.
Sementara itu di ruang misi, terdapat pelbagai macam benda yang dgunakan sebagai penunjang karya para suster pada masanya. Seperti, uang dari pelbagai negara, peralatan kesehatan dan perbagai cinderamata atau souvenir.
Di sisi lainnya terdapat ruang audio visual, salah satu koleksinya berupa menologium Suster Emmanuel Harris. Selain itu, terdapat juga baju seragam para suster pada masa awal kedatangan para Suster Ursulin ke Indonesia yang kemudian sekitar 1965 mulai mengalami perubahan karena penggunaan bahan untuk menyesuaikan iklim di Indonesia.
Masih di ruangan ruang audio visual, juga terdapat catatan berupa daftar para suster yang meninggal pada 1856 sampai 1964. Daftar dimaksud diawali oleh nama Suster Emmanuel Harris, dan 91 nama suster lainnya tertera di bawahnya. Tidka hanya itu, disajikan juga sejumlah foto makam para suster.
Angel kemudian mengajak kami ke ruangan kerja. Dipamerkan sejumlah buku harian para suster yang ditulis tangan dengan menggunakan Bahasa Belanda sejak 1856, meja dan lemari arsip kuno.
Tak jauh dari ruangan kerja terdapat ruangan kamar tidur. Disampaikan, hal tersebut sesuai dengan spiritual yang dianut yakni aktif kontemplatif. Mencerminkan salah satu kaul para suster yakni kemiskinan, pada ruang kamar tidur tersedia perabot sederhana. Terdapat tempat tidur, meja kursi, dan lemari baju berukuran kecil yang konon para suster kala itu hanya diizinkan membawa dua pasang baju dan dua pasang sepatu.
Di dalam ruang tidur ini juga terdapat sebuah koper yang menjadi saksi perjalanan jauh para suster menuju daerah misi baru yakni Hindia Belanda. Dengan memasuki ruang kamar tidur suster ini juga kita bisa mengetahui adanya kebiasaan yang dibawa dari Eropa pada abad 18, berupa membasuh muka dengan menggunakan kendi dan wadah dari keramik.
Ruangan lainnya yang terdapat dalam Museum Santa Maria adalah ruangan galeri. Di ruangan ini dipamerkan pelbagai lemari kuno berisi peralatan kebutuhan pribadi, perlengkapan masak dan tata hidang yang digunakan para suster. Pelbagai koleksi dimaksud antara lain sendok garpu dengan ukiran nama setiap suster. Kebiasaan mencantumkan inisial suster pada sendok garpu tersebut kemudian ditiadakan sejak 1990.
Koleksi menarik lainnya pada ruangan galeri atau juga disebut rekreasi, adalah terdapat kotak penghangat. Sebuah kotak yang di dalamnya dilapisi seng dan berisi dua buah bantal ini, digunakan sebagai alat penghangat makanan dan minuman para misionaris. Pada ruangan yang nyaris bersebelahan langsung dengan area susteran ini, juga terdapat pojok Santo Yohanes Paulus II.
Satu ruangan lainnya yang sepertinya menjadi kelebihan Museum Santa Maria dibandingkan museum terkait gereja Katolik di Indonesia adalah ruangan relikui. Disampaikan, di dalam ruang relikui terdapat lebih dari 50 relikui santo santa yang dibawa oleh para misionaris. Relikui dimaksud disertai sertifikat yang menjadi penanda bahwa relikui tersebut asli.
Soal banyaknya koleksi relikui di Museum Santa Maria menurut Rm. A. Heuken, SJ sebagai dikutip dari Buletin Serviam, mengatakan “mungkin itu (banyaknya relikui) yang membuat biara ini jadi sejuk dan tenang. Di biara-biara lain relikuinya tidak sebanyak yang ada di sini,î katanya.
Catatan tambahan soal ruang relikui, berbeda saat memasuki ruangan-ruangan lainnya, saat akan dan di dalam ruang relikui, pengunjung museum diingatkan untuk tidak mengambil foto maupun video.
“Awalnya sempat merasa canggung karena ternyata isi museum ini tentang agama (Katolik) tapi kemudian karena Suster Lucia dan Pak Adji dan petugas museum lainnya menyambut dengan ramah kepada semua pengunjung termasuk aku yang pakai hijab, rasa canggung hilang. Tapi saat ingin bertanya rasa canggung kembali datang karena takut dinilai salah bertanya tapi kemudian Suster Lucia menjawab dengan ramah,” kata Mimi. Ia menilai semua isi koleksi museum yang dilihatnya berikut penjelasan dari pemadu, sebagai tambahan informasi dan wawasan.
Lebih lanjut, Ia mengtatakan selain jadi tahu soal sejarah dan informasi semua isi koleksi museum, dirinya juga merasa mendapatkan pengalaman lainnya. “Dengan kita tahu misalkan tentang sesuatu hal yang berbeda seperti disajikan dalam Museum Santa Maria, kita akan lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia seperti perbedaan agama maupun lainnya, kita akan lebih menghargai dan lebih bisa toleransi lagi. Bahwa sejak tahun 1800an para suster jauh-jauh datang untuk membantu soal pendidikan dan juga kepada perempuan,” paparnya.
Mimi mengaku, pada sebuah kesempatan berbicang berdua dengan Suster Lucia, ia canggung saat ingin bertanya soal penggabaran seorang biarawati yang terdapat di dalam film The Nun. “Aku sempat takut apakah akan menyingung perasaan Suster atau tidak, tapi pada akhirnya ku bertanya. Lalu Suster menjawab pertanyaan, katanya, namanya film pasti ada hiperbola-nya untuk menarik minat penonton. Disampaikan juga oleh suster, bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif, sisi baik dan tidak baik seperti digambarkan dalam film The Nun,” katanya.
Sementara itu Suster Lucia yang menerima rombongan Ngojak 18 datang ke Museum Santa Maria mengatakan, pihak museum menyambut baik semua tamu museum termasuk mereka yang berasal dari pelbagai latar belakang. “Biasanya yang datang berkunjung ke sini sekolah atau rombongan gereja atau lingkungan, karenanya kami senang sekali kedatangan teman-teman Ngojak yang dari beragam profesi dan agama datang ke kami,” kata Suster Lucia.
Ia menyampaikan setidaknya ada empat tujuan didirikannya Museum Santa Maria yakni pertama untuk mengenang dan menghormati jasa para suster pendahulu; di mana mereka sebagai perintis pendidikan katolik pertama di Indonesia khususnya bagi kaum perempuan.
Kedua, sebagai bukti nyata kedatangan para Suster Ursulin (1856-2018); Ketiga, sebagai sarana untuk mengenal riwayat hidup dan meneladani semangat Suster Angela Merici yang menjiwai para Suster Ursulin di seluruh dunia; Keempat, sarana untuk menggali nilai dan makna dari peninggalan misionaris.
Kedatangan Ngojak ke Museum Santa Maria sendiri merupakan bagian dari rangkain tempat yang disisir pada Ngojak 18, dengan rute Harmonie, Frans Buurt (Jalan Majapahit), Museum Taman Prasasti, Pasar Petojo Enclek, dan Stadion VIJ Persija.
Penutup, seperti halnya perjalanan bersama Ngojak sebelumnya, saya kembali diingatkan untuk melihat tak sekadar lihat; ya melihat jejak-jejak yang kan selalu memiliki sejarahnya dengan beberapa di antaranya masih nampak terlihat, atau sekadar hanya menyisakan cerita yang mestinya tak bisa kita abaikan begitu saja; kekinian yang didasari oleh jejak-jejak masa lalu bukankah semestinya membuat kita damai dan bisa hidup berdampingan baik antar sesama manusia pun manusia dengan alam, bersama dan berkelanjutan.
Museum Santa Maria:
Buka: Senin-Jumat, jam 08.00 – 14.00; Sabtu 08-13.00; Minggu/libur nasional sesuai perjanjian.
Telp: 021(344-7273) HP/WA : 0896-5589-3880