Saya udah nabung kacang tanah 15 kilo. Ame gula pasir 5 kilo. Masih banyak lagi dah kagak inget saya mah.
Ialah Mba Ijah. Perempuan usia awal 30 bertubuh tambun yang senang berjilbab kaos. Sudah hampir sebulan ia membantu saya membereskan urusan kerjaan rumah. Seorang yang lahir di tanah Bekasi sejak dari nenek moyangnya. Saat ia menyetrika, saya senang memintanya bercerita tentang dirinya atau apa saja yang terjadi di lingkungan rumahnya. Kampung Pengasinan, puluhan rumah yang sebagian besar kontrakan yang diisi warga Bekasi asli dan pendatang. Mulai dari korban tsunami Aceh sampai Madura.
Pernyataan tadi sebenarnya menyoal mengenai rencana Mba Ijah menyunat anak laki-lakinya 2 tahun lagi. Pernyataan yang bikin saya bingung karena apa tu kacang tanah gak jadi tengik kalo disimpen selama itu? Kebingungan saya jadi bahan tertawaan Mba Ijah.
Bukan, Bu. Jadi kalo ada orang hajatan, die minta saya ngasi 5 kilo gula. Ntar kalo saya nyunatin, tu gula die balikkin ke saya. Sama yang laennya juga gitu. Lumayan, nyicil biaya hajat. Saya jadi gak berat-berat amat ntar.
Owh, begitu rupanya.
Kegiatan “menabung” keperluan hajat dengan cara menawarkan diri membantu yang sedang hajatan ini jadi adat yang dijunjung tinggi di situ. Lain sekali dengan perumahan saya yang sebenarnya hanya berjarak kurang dari 2 km dari tempatnya tinggal. Semua sudah serba sendiri. Gak ada hal-hal guyub begitu.
Di lain hari, Mba Ijah bercerita bahwa kue dan cemilan yang saya beri tempo hari sudah ludes kurang dari 3 jam setelah ditaruh di rumahnya. Saya bilang, “Wah, emang banyak apa Mba orang di rumah ampe bisa ludes secepet itu?”
Di kampung saya, kebanyakan perempuan kerja di perumahan. Abis bantu-bantu, pulang siang hari setelah kerjaan beres. Biasanya banyak yang suka dikasi makanan atau baju bekas dari majikannya. Kita semua naro “pemberian” itu di rumah masing-masing dan saling tukeran kabar biar warga bisa ambil juga bagiannya. Semua dibagi rata.
Masyarakat yang sosialis.
Saya jadi teringat kisah di sebuah postingan di Facebook. Ada seorang antropologi yang sedang meneliti di Afrika. Ia menaruh sekeranjang buah di dekat pohon. Kemudian, peneliti ini mengabari anak-anak yang sedang bermain di dekat pohon itu. Ia berkata, “Ayo silahkan ambil buah itu.” Ternyata apa yang anak-anak itu lakukan membuat peneliti terheran-heran. Mereka berjajar sambil bergenggaman tangan dan menuju buah itu bersama-sama, lalu membagi buahnya dengan adil serta menikmati buah itu sambil duduk melingkar.
Peneliti itu bertanya, “Mengapa kalian lari bersama dan tidak lari sendiri-sendiri? Bukankah kalo kalian berlari dan berlomba maka salah satu dari kalian bisa menikmati buah lebih banyak dari yang lainnya?” Salah seorang anak itu menjawab:
UBUNTU. I am because we are. Bagaimana kita bisa senang jika ada salah satu dari kami yang tidak senang?
Kisah Mba Ijah dan anak Afrika ini seakan sejalan. Merekalah yang sebenarnya manusia. Manusia yang katanya makhluk sosial. Bahwa ini bukan perkara berbagi adalah kebaikan dan pahala. Melainkan hal biasa yang wajar dilakukan.
Belakangan hal ini jadi hal yang bikin saya norak sendiri. Di tengah manusia ingin diperlakukan seperti manusia, banyak yang tidak menyadari bahwa kepedulian pada sesama bukan sistem bagi hasil. Bukan sebuah usaha lebih dari manusia.
Jadi, apakah kita benar-benar sudah jadi manusia berkeprimanusiaan?