Memaknai Kentut di Jakarta

Dibaca normal 2 menit

Kentut mungkin melanggar kesopanan, tapi dia juga sesungguhnya tidak dianjurkan untuk ditahan-tahan jika kita ingin tetap sehat. Jadi biarkan saja kentut berbunyi jika ingin tetap sehat. Menahan kentut hakikatnya melawan hukum alam. Lucu juga jika konflik kesopanan dan kesehatan akhirnya harus diatasi dengan kebohongan ala dagang sapi.

Maka tak heran, tokoh sekaliber Semar Badranaya menjadikan kentut sebagai senjata andalan untuk melawan musuhnya. Ia akan menggunakan senjatanya melawan para raja, resi, maupun ksatria bukan untuk mematikan, namun lebih untuk menyadarkan. Kentutnya bisa dikatakan sebagai senjata pamungkas, jika dengan cara biasa, ia gagal mengatasi masalah. Percis senjata nuklir yang diluncurkan tentara militer di saat-saat genting.

Sekalinya Semar kentut, jangkauannya bisa sampai ratusan kilometer, dan hebatnya baunya bisa mengetahui sinyal siapa lebih dahulu yang harus diberi bau paling tak sedap yang berarti musuh ataukah hanya semilir saja yang berarti seorang kawan.

Dilahap selang-seling, buku ini bikin senyum-senyum simpul. Maklum, 65 esai di buku ini seperti mewakili diri sendiri sebagai kaum urban di Jakarta. Ibukota yang tak lebih sebagai kampung raksasa nan sontoloyo ini berisi jutaan kentut. Kentut gagasan, kentut harapan, sampai kentut keputusasaan.

5013208Kentut Kosmopolitan sendiri adalah salah satu esai yang akhirnya dijadikan judul buku ini. SGA memaparkan bahwa kentut adalah kebebasan berekspresi, selama tidak dilakukan dalam ritus yang bersifat sakral, kentut sewajarnya bukanlah sebuah aib.Biarkan saja pejabat yang lagi pidato kentut, penyanyi yang sedang ikutan kontes biarkan saja kentut, atau tamu-tamu Istana Negara juga dipersilahkan untuk kentut.

Konon, kentut adalah simbolisasi kejujuran dan kepolosan. Bukankah kita lahir pun dalam keadaan polos dan tak tahu apa-apa?

Selain Kentut Kosmopolitan, salah satu esai yang lumayan menohok adalah ‘Menjadi Tua di Jakarta’. Disini SGA mengajukan pertanyaan yang bikin saya sedikit bengong, “Siapkah Anda menjadi tua di kota seperti Jakarta?

Selamat kentut. Kentut itu sehat.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan