Baur Politik Seni Cikini

Dibaca normal 6 menit

Bagi sebagian kalangan, boleh menganggap Cikini sebagai kantung kesenian, dengan kehadiran komplek Taman Ismail Marzuki. Atau boleh juga mereka lekatkan sebagai medan politik, menilik beberapa kantor partai politik bermukim di sini. Tidak ada yang salah dengan identifikasi Cikini tersebut, tergantung dari irisan mana kita menikmati Cikini. Beruntung bagi saya sebab bisa sedikit menikmati sebagian irisan tadi.

Suatu Sabtu pagi sekitar pukul 06:00 WIB, saya mengayuh sepeda, melewati jalan menuju stasiun Cikini dari arah Jalan Cikini Raya. Pagi yang masih lengang, kafe-kafe yang berderet belum pulih beristirahat dari malamnya, dan aspal yang masih menyisakan basah hujan.

Bersama komunitas Ngopi Jakarta (Ngojak), saya turut serta dalam jelajah yang niatnya mengambil rute memutar. Komunitas yang berangkat dari premis peradaban manusia bermula dari sungai ini, tentu memasukkan rute jalur Kali Ciliwung dalam daftar Cikini.

Darah seni di Cikini tidak muncul begitu saja. Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang menelurkan banyak sineas seperti Riri Riza, atau sineas muda yang belakangan muncul namanya, Wregas Bhanutedja, atau band White Shoes and The Couples Company (WSATCC), juga Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kegiatan kesenian seperti pentas teater, boleh menjadi penanda hinga kini bahwa kawasan ini identik dengan seni.

Kenampakan depan Perguruan Cikini. Dulunya, Percik hanyalah berawal dari sekotak garasi.
Kenampakan depan Perguruan Cikini. Dulunya, Percik hanyalah berawal dari sekotak garasi.

Namun, selain dua tempat tadi yang berada dalam satu komplek, boleh bergeser sedikit tidak jauh dari TIM. Adalah Perguruan Cikini, yang juga menjadi laboratorium lahirnya para musisi kenamaan nasional. Sekolah yang awalnya dari sekotak garasi ini, menjadi sekolah elit, dengan masuknya anak para orang terpandang, termasuk anak-anak Presiden RI pertama Sukarno, Guruh dan Guntur Sukarno. Termasuk Ketua Partai yang kantornya berdekatan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak jauh dari stasiun Cikini, Megawati Sukarno Putri.

Sam Bimbo, Eet Sjahranie, juga pentolan grup band Slank, Bimbim adalah jebolan Perguruan Cikini (Percik). Di sekolah yang diinisiasi istri Bupati Ciamis, Pandoe Soeradhiningrat ini, tak luput dari peristiwa teror berbau politik.

Guntur dan Megawati yang saat 1957 menjadi murid –dulunya Sekolah Rakyat (SR) Percik, pada 30 November sang ayah yang juga Presiden, mendatangi acara Malam Amal Ulang Tahun ke 15 sekolah anaknya.

Saat itulah Sukarno menjadi sasaran granat yang pelakunya adalah anggota kelompok yang berafiliasi dengan Daarul Islam (DI/TII). Gerakan yang dianggap sebagai kelompok sparatis dan mengancam perpecahan negara. Lima pelaku yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Jusuf Ismail, Sa’adon bin Mohamad, Tasrif bin Hoesain, dan Mohamad Tasim bin Abubakar. Dari peristiwa ini pula akhirnya Kartosuwirjo sebagai pimpinan DI/TII yang juga teman Sukarno saat ngekos di Gang Peneleh kediaman Tjokro Aminoto, beserta pelaku pelempar granat dijatuhi hukuman mati. Kecuali Tasim dengan hukuman 20 tahun penjara.

Markas Palu Arit dan Kelompok Seninya

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap sebagai underbouw PKI, pernah berkantor di gedung yang kini menjadi kantor advokat.

Meninggalkan Percik, melipir menuju gang yang lengang. Dari bawah pohon Belimbing Wuluh dengan sedikit berbisik, kami membincangkan kehadiran gedung yang dulunya menjadi primadona juga kontroversi. Gedung bernuansa putih dan bertulis Gedung Tri DharmaWidya ini, dulunya adalah milik Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lembaga yang akhirnya menaikkan pamor kesenian rakyat, tetapi juga akhirnya dibabat. Sebab dianggap afiliasi dari partai palu arit (red: Partai Komunis Indonesia).

Lekra yang berhaluan realisme sosial sebagai visi seninya, menjadi mesin politik PKI yang mampu menyedot massa dan akhirnya menggurita dengan cabang-cabangnya di berbagai daerah. Sukarno pun mendekati partai yang dekat dengan buruh juga petani ini sebagai upaya meraih massa.

Lagi-lagi, irisan seni di Cikini tak luput dari campur dinamika politik. Cidurian 19 kini lengang dan mungkin tak seramai dulu, para seniman yang berafiliasi dengan Lekra, pasca Gestapu, banyak yang diasingkan ke Pulau Buru, termasuk penulis tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer. Salah satu organisasi massa yang juga turut memusnahkan PKI beserta organisasi underbouwnya adalah Pemuda Pancasila. Tak jauh dari Cidurian 19 saat melanjutkan perjalanan, terdapat papan nama yang memberitahukan akan segera dibangun kantor sekretariat Pemuda Pancasila.

Peninggalan di sekitaran Cikini oleh partai yang sempat menduduki peringkat empat pada pemilu 1955 ini, bukan hanya di Cidurian 19. Mereka juga sempat memiliki gedung yang kini ada di seberang gedung mantan seteru mereka di politik, Nahdhatul Ulama (NU). Kenampakannya yang kini pudar dan sepi, seperti popularitas partainya yang bukan jadi perbincangan utama di pentas politik saat ini, selain sebagai isu hantu yang dimunculkan.

Cikini, menyimpan begitu banyak peristiwa manusia dan dinamikanya. Saya izin tak merampungkan narasi saya, seperti jelajah bersama Ngojak yang juga tak merampungkan jalurnya.

Cikini, boleh Anda nikmati sebagai irisan yang memiliki ‘cita rasa’ seni, politik, atau bahkan religi, dengan kehadiran makam Habib Cikini, yang juga memiliki keterikatan famili dengan perupa Raden Saleh. Anda boleh menikmati irisan salah satunya, atau membaurkan ketiganya.

Fathurrozak Jek

Menyukai seni peran dan film. Katanya berminat di dunia jurnalisme. Lebih menyukai karya fiksi ketimbang buku kiat-kiat sukses atau 1001 Cara Handal Berdagang.

Tinggalkan Balasan