Senyum Pun Aneh

Dibaca normal 2 menit

Hari ini karena ada suatu urusan saya harus ke Jakarta. Pagi tadi saya menumpang di rumahnya Arif (kawan dari Ruang Berbagi Ilmu) di sekitaran Universitas Indonesia. Menggunakan 2 moda transportasi yakni KRL dan Trans Jakarta.

Sebagai orang yang pernah hidup di desa selama satu tahun dimana setiap hari senyum diumbar kepada setiap orang yang ditemui baik kenal maupun tidak, kebiasaan ini saya bawa hingga ke Jakarta. Jika di desa senyuman itu membuahkan, minimal, sebuah senyuman juga atau kalau beruntung bisa menjadi sebuah panggilan makan dan ngopi.

Tetapi di Jakarta tidak. Setidaknya dua pengalaman pagi ini yang saya temui.

Ketika menunggu KRL saya sempat tersenyum kepada seorang ibu di depan saya. Dia melihat dengan datar kepada saya dan membuang pandangannya ke arah lain. Alhasil saya menjadi kikuk sendiri. Kemudian saat meminta izin duduk di sebelah seorang lelaki paruh baya saat di halte busway, ia malah melihat saya dengan tatapan seperti menyelidik, kemudian mengalihkan pandangan.

Saya menjadi aneh. Saya melihat ke cermin dan mencoba mencari apa kesalahan di wajah saya.

Menjadi pertanyaan besar bagi orang desa seperti saya ke belantara kota Jakarta. Sebuah pakem yang biasa dikatakan orang – orang sebagai hidup sesungguhnya. Pertanyaan itu adalah apakah kearifan lokal yang kita bawa dari desa akan tergerus di kota? Apakah kebiasaan senyum kita lambat laun akan memudar seiring waktu di kota?

Teman saya, Mateus Situmorang (lelaki tampan berkumis klimis dari tanah Batak) pernah berkata. “Justru karena kita pernah diberikan karunia untuk merasakan kearifan lokal di desa, sudah menjadi tugas kita untuk membawanya ke kota dan menyebarkannya. Karena mereka sesungguhnya juga rindu akan senyuman. Hanya saja mungkin mereka jarang menemukannya.”

Saya tetap percaya, meski dua pagi ini senyuman saya dibalas dengan tatapan aneh, hari – hari berikutnya senyuman saya akan melahirkan sebuah senyuman balasan pula. Apalagi jika balasan tersebut berasal dari seorang gadis cantik berambut hitam sepunggung yang masih basah sebagian sehabis mandi.

Itu surga betul, Bung!

Ngopi Jakarta

Membaca Jakarta, Memaknai Peradaban

Tinggalkan Balasan