/

Jacatra

Dibaca normal 7 menit

Jakarta adalah kota yang merebut kemutakhirannya dengan mengintervensi bekas-bekas keusangannya.

Pada dini hari itu, saat para bhikku sedang berkemas menyiapkan Waisyak, saya nyangkruk di salah satu sudut Bundaran Hotel Indonesia (BHI). Angin tak begitu kencang, jalanan –seperti biasanya jika sudah dini hari—terlihat lebih sunyi. Sementara bulan tampil dalam sosoknya yang “penuh-seluruh”.

Situasi macam ini yang mungkin membuat Rendra bisa menulis sajak “Bulan Kota Jakarta”:

“Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya
….
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
Bocah pucat tanpa mainan
….
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!”

Dalam sajak yang ditulis pada 1955 itu, Jakarta hadir seperti sebuah slide yang lambat dan berat. Saya menduga, suasana itu agaknya lahir dari rasa sunyi yang minta dikisahkah, ketercekaman yang ingin dirayakan, serta melankoli kerinduan –entah pada apa atau siapa– yang mendesak untuk diproklamirkan.

Dua tahun sebelumnya, pada 1953, Sobron Aidit sudah lebih dulu mengeluhkan bulan di Jakarta yang mengenaskan. Dalam sajak “Jauh Malam di Pasar Matraman”, Sobron mengakhirinya dengan baris pendek yang terasa pedih: “…dan bulan kehabisan sinar”.

Berbeda dengan sajak Rendra yang sepenuhnya mengisahkan pendalaman batin yang personal sifatnya, sajak Sobron tadi justru melukiskan keadaan sosial: tukang bandrek di Matraman, becak, Minah yang kelaparan. Di situ, Jakarta hadir seperti sketsa-sektsa yang dihasilkan Henk Ngantunk pada periode-periode 1940an-1950an.

Pada 1953 dan 1955 Jakarta tentu belum sepadat sekarang. Belum ada kemacetan yang menjengkelkan dan polusi udara yang menyesakkan.

Tapi pada dua sajak itu, juga pada hampir semua sajak-sajak tentang Jakarta yang dikumpulkan dan disunting Ajip Rosidi pada 1972, Jakarta sudah banyak “dikeluhkan” dengan nada yang hampir sama dengan keluhan banyak orang hari ini: sebagai tempat di mana kampung dan kota saling menyelinap, kemegahan dan kemiskinan saling berpapasan, perencanaan dan perubahan saling menikam, keruwetan dan kerumitan mengelucak, ketidakpastian dan ketidakselesaian melela, rutinitas siang hari dan pelbagai kejutan di malam hari datang silih berganti, terus… dan terus begitu.

Saya berpikir: lantas apa yang berubah di Jakarta jika gambaran para penyair tentang Jakarta pada 1950-an hampir sama dengan keluhan banyak orang di hari-hari belakangan ini? Inikah pertanda Jakarta sudah selesai atau justru inikah isyarat ketidakselesaian Jakarta?

Pada dini hari itu, setelah beberapa teman undur diri dari BHI, saya menyimak pertanyaan-pertanyaan di atas seraya mencoba memahami isyarat-isyarat yang diberikan Tugu Selamat Datang, lima buah air mancur dan kepungan gedung-gedung tinggi, terutama bangunan Hotel Indonesia.

Lalu saya menemukan sepotong paradoks:

BHI, dengan poros tugu selamat datang yang dikelilingi kolam dan air mancur serta “diawasi” oleh Hotel Indonesia, direncanakan sebagai simbol kehebatan sebuah negara. Lima formasi air mancur melambangkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sementara Hotel Indonesia, yang dibangun untuk memuaskan ambisi Soekarno menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah jauh lebih maju dan modern, awalnya bahkan mempunyai slogan: “A Dramatic Symbol of Free Nations Working Together”.

Deretan indeks tentang BHI dan sekelilingnya sebagai simbol sebuah negara seperti yang direncanakan pada awalnya justru “dirongrong” dengan cara yang tak pernah dibayangkan Soekarno: kawasan ini justru menjadi target utama para demonstran mengugat negara, entah tentang harga susu, kenaikan BBM, hingga kampanye penegakan syariat Islam. Di sekelilingnya, berdiri dengan megah sejumlah hotel, plaza dan mall yang tak ada urusannya dengan nasionalisme. Perlukah lagi dijelaskan makna telanjang yang tersimpan dari nangkringnya nama “Kempinski” pada nama Hotel Indonesia?

Paradoks ini menghadirkan Jakarta sebagai sebuah teks yang disusun oleh belasan manumen sebagai aksaranya. Hanya saja, sebagai teks, Jakarta lebih mirip seperti kalimat yang bukan hanya belum selesai, tapi juga tak jelas sintaksisnya. Di sini perencanaan negara mesti berhadapan dengan libido kapital yang menjompak minta dipuaskan dan desakan tafsir publik yang subversif. BHI dan belasan monumen lainnya tampil seperti aksara yang acak dan satu sama lain tak harus saling menopang dan bahu membahu menyusun sebuah kalimat.

Cara baca seperti itu mungkin dekat dengan konsepsi gestaltic-nya Roland Barhez.

Dalam pemahaman gestaltic, kita dapat melihat berbagai kontradiksi antara fungsi bagian-bagian kota dan isi semantisnya. Bundaran HI di Jakarta berfungsi sebagai oase optis untuk menetralisasi potensi ancaman dari arah jalan yang saling bertumbuk. Dalam ruang terbuka itu, lingkaran kolam dan unsur air dapat mengimbuhkan kelegaan emosional bagi pemakai jalan. Tapi, sejak karnaval demo ”ditradisikan” oleh berbagai kelompok, Bundaran HI secara semantik menjadi wilayah penggawatan. Tidak ada lagi oase optis di sana; air mancurnya tidak lagi menjadi puisi; hanya sebuah panggung darurat untuk mengusung berbagai manifesto mikrofon.

Jika kota ditulis dengan monumen-monumen, monumen itu dapat memiliki modus dialogis atau modus yang intervensif. Yogya adalah kota yang wajib berdialog antara legenda masa lalu dan prospek kemutakhirannya. Jakarta adalah kota yang merebut kemutakhirannya dengan mengintervensi bekas-bekas keusangannya.

Jika kota dibangun oleh hasrat dan rasa takut, sebagaimana dikatakan Italo Calvino, hasrat (si)apa dan ketakutan pada apa?

Jakarta, saya kira, tidak dibangun dengan rencana. VOC pernah merancang kota yang di awal-awalnya begitu indah dan rapi, sampai-sampai dipuji sebagai Sang Ratu dari Timur. Tapi, demikian sejarah mencatat, kota yang menjadi cikal bakal Jakarta itu pun rontok oleh keganasan wabah dan pasang air yang tak terkendali.

Lalu, siapa yang sebenarnya membangun sebuah kota (Jakarta)? Ada ujaran yang mengatakan, “Tuhan menciptakan desa-desa, manusia membangun kota-kota.”

Ujaran itu tak sepenuhnya tepat. Dalam soal Jakarta, kota dan manusia saling menciptakan dan meninnggalkan pengaruh. Orang-orang merancang Jakarta, tapi Jakarta juga meletakkan cetak-biru pada cara berpikir penduduknya. Orang-orang menghuni Jakarta, tapi Jakarta juga menghantui pikiran-pikiran para penghuninya.

Dari posisi inilah, kita bisa melihat kota sebagai wacana. Kota berbicara kepada penduduknya, penduduk berbicara kepada kotanya. Kadang, atau mungkin sering, percakapan itu tak pernah bertemu, hanya saling papas, lantas masing-masing berlalu dengan isi pikirannya sendiri.

***

Oleh Zen.RS, Pendiri dan Editor Pandit Football.

Ngopi Jakarta

Membaca Jakarta, Memaknai Peradaban

Tinggalkan Balasan