Jangan meletakkan uang receh terlalu dekat dengan mata, karena Anda tak akan bisa melihat uang yang besar di belakangnya. ~ Mike Markkula
Sekitar tahun 2010, ketika Facebook sedang booming saya pernah naik mimbar di depan para mahasiswa Al-Maksoem di daerah Jatinangor membicarakan tentang fenomena Facebook sekaligus memberikan sedikit tutor tentang privasi online. Ketika sampai pada sesi tanya jawab, para mahasiswa yang sebagian besar santri ini lalu memberikan pertanyaan mengejutkan tentang sebuah permainan online di Facebook, Texas Holdem, yang menurutnya ada unsur layaknya bermain judi . Yang ditanyakan adalah apa hukumnya menggunakan permainan ini. Dari nadanya, si penanya seperti memberikan penekanan lebih, “Sekalian dalilinya, Kang.”
Tanpa panjang lebar, jawaban saya begini, “Kang, saya rasa itu kembali ke pendapat pribadi karena menurut saya Facebook dan internet secara umum itu adalah ibarat sebuah pisau, jika dimanfaatkan untuk mengiris bawang ataupun memasak, kan sah-sah saja. Lain cerita jika pisau itu digunakan untuk melukai orang lain.”
Saya merasakan betul, betapa menyenangkan bertemu kembali teman-teman sekolah di Facebook, lalu berbagi beberapa foto kenangan masa-masa badung. Atau sekedar mendapatkan teman baru, meski tidak dipungkiri Facebook juga ternyata bisa dijadikan ajang mencari teman hidup. Aziz, kawan saya yang tinggal di Jakarta mendapatkan jodohnya dari Surabaya melalui Facebook. Alma Aini Hakim, bocah 7 tahun yang sempat hilang empat hari, bahkan diselamatkan Facebook melalui penyebaran informasi oleh khalayak secara gencar.
Ketika teknologi terus berinovasi, Facebook perlahan merambah smartphone. Mulai masuk juga layanan lain untuk berjejaring. Saya sendiri sudah lupa kapan login dengan Yahoo Messenger di desktop. Bahkan yang tergolong anyar seperti WhatsApp mulai ditanggalkan dan beralih ke Line Messenger, selain karena emoticon yang tidak seru, sebagian malas memperpanjang masa layanannya karena hanya berbayar di satu tahun pertama. Selebihnya pelanggan harus merogoh kocek.
Maka lahirlah generasi nunduk yang bisa ditemui di hampir sudut-sudut jalan, gedung-gedung perkantoran, kafe, supermarket, pom bensin, angkutan umum, ruang kelas, bahkan pangkalan ojek. Mereka menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari gaya hidup modern.
Namun, generasi nunduk ini ternyata punya kelas-kelas tersendiri. Di kota-kota, kaum ini memperbincangkan status Path, grup Line Messenger, ataupun game online Arcane Legend. Sementara di kelas lainnya, di sebuah kereta ekonomi, saya mendapati seseorang yang sedang bertransaksi burung, ia menawarkan kepada orang di sebelahnya seraya menyodorkan ponsel lawas yang memutar suara kicauan Cendet, yang memiliki variasi suara sangat merdu, menarik perhatian penumpang lain. Setengah lirikan, saya memerhatikan daftar putar ponselnya yang sebagian besar berisi rekaman suara burung dalam format WAV. “Tangkapan hutan nih, Pak. Pasarannya 60 sampai 90 ribu,” kata orang itu.
Lain halnya dalam sebuah perbincangan di KRL jurusan Manggarai-Kota, seorang ibu pernah mengeluhkan keponakannya yang berumur 9 tahun karena sudah tidak mencium tangannya sejak memiliki tablet yang dibelikan ayahnya. Salah siapa? Anaknya yang terlampau manja ataukah kasih sayang ayahnya yang tidak pada tempatnya? Lalu bagaimana jika itu adalah ekspresi ayahnya karena menganggap sebagai hadiah ulangtahun, misalnya.
Mengerikan juga jika sebuah teknologi yang tadinya difungsikan untuk meringkas segalanya menjadi lebih dekat, namun justru memperlebar sebuah jarak. Generasi nunduk ternyata melahirkan zaman yang orang-orangnya penuh rasa tido-tido, alias serba ragu, penuh rasa was-was, dilematis, dan tak berani blak-blakan secara tegas. Bisa jadi, ini memang masanya dimana sebuah harapan harus diwanti-wanti. Tanpa disadari, berbagai rangkaian mimpi yang tengah disusun dengan rapi pada akhirnya kandas dalam kemasan teknologi yang sumpek, ribet, grasak-grusuk, dan serba dimanjakan. Harapan terciptanya rasa harmonis dengan yang lebih dekat harus jauh-jauh ditempatkan paling ujung, di area paling prioritas dalam ruang psikologi pribadi maupun sosial, dan tangisan kecewa tiba-tiba saja menyusul sesudahnya. Hidup seperti kehilangan maknanya sendiri.
Saya mungkin termasuk generasi nunduk, namun masih mencoba belajar menyiasatinya dengan cara sederhana. Setiap weekend menyempatkan diri untuk menjauh dari Jakarta, mencari aktivitas lain selain bersosial media, bersilaturahmi dalam makna sebenarnya; pulang dengan kereta, melihat anak kecil bermain bola, atau sekadar berkebun bersama Bapak.
Konon begitulah sarannya, hidup harus seimbang; hidup tak melulu soal gaya hidup.
harus balance 🙂