Photo by Alifia Harina
//

Batavia Dulu, Jakarta Esok

Dibaca normal 3 menit

Jutaan asa bersandar kepada Jakarta. Dengan status satu-satunya kota di Indonesia setingkat provinsi, Jakarta semakin menarik populasi setiap tahunnya. Apa menariknya Ibukota ini? Benarkah masih ada sisa-sisa kejayaan Batavia Queen of The East pada awal abad ke-17 silam? Yang ternyata pernah membuat para penulis Jerman, Perancis, dan Inggris berdecak kagum hingga menganggapnya sebagai kota paling nikmat di seluruh Hindia karena kanal-kanal sungai dan rapinya pembangunan begitu cantik terpadu kala itu.

Bapak Candrian Attahiyyat, arkeolog lulusan Universitas Indonesia adalah pelaksana teknis dalam penataan dan pengembangan Kawasan Kotatua, juga seorang interpreter ahli yang sejak puluhan tahun silam sudah mengaduk-ngaduk dataran Ibukota Jakarta. Beliau menjadi pemandu kegiatan Hidden Treasure Kotatua pada tanggal 17 Juli 2016 kemarin, salah satu agenda kegiatan pada rangkaian acara publik pameran ‘Kotatua : Ruang Kita’ yang diselenggarakan mulai tanggal 23 Juni 2016 hingga 31 Juli 2016 mendatang.

Menyaksikan berbagai macam cerita, salah satunya ialah pintu gerbang parkiran Museum Bank Mandiri yang berada pada sisi kanan jalan masuk menuju Taman Fatahillah, berupa bangunan hasil ketidaksengajaan karena pada tahun 1925 pernah terjadi kecelakaan kereta. Tepatnya tanggal 25 Juli tahun 1925, ada kejadian kereta api nyelonong keluar rel hingga menabrak tembok pembatas Stasiun North, dan untuk menutupi hasil tubrukan itu dibangunlah sebuah pagar hitam tinggi, dan masih kokoh berdiri sampai saat ini. Ada lagi kisah tembok yang memanjang di sebelah timur Batavia, sebuah jalan beraspal rapi baru saja dibangun di atasnya, berada dekat Kampung Balokan yang bersisian persis dengan Sungai Ciliwung. Konon tembok ini begitu nyata memisahkan cerita kehidupan kaum inlander dan proletar kala Batavia masih menyimpan keindahan yang tak terbantahkan. “Inilah batas temboknya, tempat saya berdiri ini masuk wilayah kolonial, nah kalian berdiri di situ deh, cocok mukanya kayak pribumi dulu, melas”, cekikik Pak Can ketika kami para peserta melewati bagian tengah jalan yang dulunya tembok pemisah itu.

Kegiatan jelajah harta karun ini diikuti tak sampai sepuluh orang peserta dari umum, didampingi para pengurus LWG DMO Kotatua lengkap dengan dua orang perwakilan dari Komunitas Onthel di Kotatua. Menjadi perjalanan yang begitu menarik karena kerap memunculkan rasa takjub dan melahirkan pertanyaan-pertanyaan [ajaib] ketika melewati satu per satu tempat yang katanya tersembunyi, hingga kami mengakhiri rute di Jalan Tongkol.

Berbagai fenomena lingkungan seperti isu pemanasan global, degradasi kualitas air juga udara kian memaksa Jakarta untuk kembali berbenah. Di tengah desakan pertumbuhan populasi, ternyata tak hanya permasalahan lingkungan yang menjadi persoalan bersama sebagai akibat dari kebijakan tata kota yang tidak menghargai kesinambungan sumber daya alam, situs dan berbagai peninggalan sejarah yang berada di dalam sayangnya juga terkena dampak.

Meski memakan waktu dan memerlukan kesabaran tinggi, upaya revitalisasi pemukiman ke kawasan yang lebih baik dan komprehensif harus terus disosialisasikan. Hal ini merupakan usaha untuk mendorong warga agar pindah secara sukarela ke tempat-tempat layak huni. Lambat laun warga akan peduli demi kembalinya kejayaan Jakarta, kembalinya ‘Sang Mutiara dari Timur’. Mereka dengan kesadarannya sendiri akan bergeser, bukannya tergusur.

~Ciliwung [lagi], 19 Juli 2016

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan