/

Arief Budiman : Setia Melawan “Bebas Nilai”

Dibaca normal 18 menit

Ilmu sosial di Indonesia bersifat ahistoris, karena ia mengabaikan konteks kesejarahan di mana masyarakat Indonesia hidup. Para ilmuwan sosial kita cenderung mengimpor begitu saja teori-teori sosial yang mereka dapat dari Barat tanpa mempertanyakan keabsahannya ketika diterapkan dalam konteks lokal. Padahal, “ilmu-ilmu sosial tidak bebas nilai” dan “ilmu sosial itu sebelumnya merupakan satu ideologi imperialisme ekonomi.

Pernyataan tersebut sampai sekarang masih terdengar kurang nyaman bagi para akademisi ilmu sosial. Bukankah jauh lebih mudah membaca kebijakan Jokowi melalui kacamata Simon Kuznet, atau mengimajinasikan negara persis seperti apa yang dipaparkan Taqiyuddin Al-Nabhani?. Mengapa harus mempersulit diri dengan menambahkan pengetahuan struktur sejarah, politik, budaya, dan ekonomi lokal Indonesia yang minim sumber dan data yang rawan terdistorsi?.  Namun bagi seorang Arief Budiman, salah besar jika seorang akademisi, atau praktisi ilmu sosial, menutup mata akan banyaknya faktor subjektif. Konsep Bebas Nilai, yang pada dasarnya justru menjadi nilai tunggal, tentu tidaklah tepat. Ketika hanya ada satu jenis “nilai” yang dipergunakan di seluruh dunia, seperti yang dipromosikan modernis-modernis Barat, tentunya akan terbentuk hierarki nilai. Padahal manusia dan pola interaksinya sebagai bahasan utama dalam ilmu-ilmu sosial, tentunya memiliki nilai-nilai yang unik dan struktur-struktur yang membentuk karakteristik suatu sampel.

Arief Budiman
Arief Budiman

Arief, yang hari ini genap berusia tujuh puluh tujuh tahun, mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk menentang hierarki. Masa demi masa ia aktif membaca situasi, melakukan dialektika, dan mengkritisi serta menentang apapun yang ia anggap mempromosikan pemikiran dan tindakan monodimensional. Soekarno, Soeharto, hingga rezim-rezim singkat pasca Reformasi tak luput dari kritik Arief.

Arief lahir sebagai anak ke-tiga dari pasangan Soe Li Pit (Salam Sutrawan) dan Nio Hoe An. Salam Sutrawan adalah seorang novelis yang memiliki beberapa karya yang bergenre Sastra Peranakan. Hoe An, yang jauh lebih dekat dengan anak-anaknya, adalah sosok yang pertama kali mengenalkan dunia literasi pada Arief. Sejak menginjak bangku sekolah dasar, Arief dan saudara-saudaranya sudah menjadi langganan tetap di beberapa perpustakaan besar di Jakarta Pusat. Arief muda, menurut Goenawan Mohammad, adalah salah satu pembaca yang sangat tekun, terutama untuk buku-buku filsafat.

Lulus dari sekolah Jesuit paling top di Jakarta saat itu, Kolese Kanisius, Arief masuk ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Nama Arief mulai dikenal karena tulisan-tulisannya yang naik ke beberapa media cetak, baik dalam kajian pergerakan mahasiswa, budaya, maupun sastra. Di saat itu pula, dunia sastra, seni dan budaya Indonesia mulai terbelah akibat agitasi-agitasi yang dilakukan segelintir tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Pramudya Ananta Toer, rajin melakukan serangan keras di media terhadap seniman, sastrawan, dan siapapun yang tidak berhaluan Realisme Sosial ala Stalin. Tahun-tahun pertama dekade 60-an, riuh dengan argumen “Politik adalah Panglima” dengan mereka yang berhaluan lain (yang tidak tepat pula digeneralisir sebagai “humanis universal”). Tak hanya di media, beberapa sastrawan dan seniman juga mendapatkan represi di lapangan. Agustus 1963, Arief bersama Goenawan, rekannya di Fakultas Psikologi, mencoba mengorganisir rekan-rekan senior yang menjadi “sasaran dan korban” Pramudya dan kawan-kawan, untuk membuat sebuah pernyataan sikap bersama. Upaya itu akhirnya berbuah Manifesto kebudayaan, yang disusun Wiratmo Soekito, serta Arief dan Goenawan sebagai editor. Manifesto tersebut didukung oleh nama-nama seperti H.B Jassin, Trisno Sumarjo, Gerson Poyk, Taufiq Ismail, hingga maestro lukis Nashar. Manifesto menyatakan keengganan mereka untuk menumpang berkarya pada satu sektor kebudayaan saja (baca : politik ala Stalin).

Goenawan dalam sesi “Sastra, Politik, dan Manikebu” di Teater Utan Kayu tanggal 16 Juni 2016, mengenang Arief sebagai seorang yang cocok dengan pemikiran Asbsurdisme Albert Camus. Politik seni ala Uni Soviet mendahulukan seni sebagai bagian dari kampanye mewujudkan kehidupan satu kelas sebagai idealisme, dianggap tidaklah mungkin terjadi, setidaknya pada saat itu. Kondisi ideal, menurut Camus, adalah mustahil secara manusiawi (Humanly Impossible). Manusia hanya bisa seperti Sisyphus, yang tidak akan pernah mencapai idealisme atau objective miliknya, dan hanya bisa menyiasati hidup semaksimal mungkin dengan kondisi tersebut. Hingga kehidupan satu kelas terwujud, apakah seniman dan sastrawan dilarang untuk berkarya dengan kemanusiaannya?. Pertanyaan itu yang melatari keterlibatan Arief di Manifesto Kebudayaan, meskipun nama Arief, sebagaimana eksponen Manifesto Kebudayaan lain, masuk dalam daftar orang-orang yang dicekal dari aktivitas berkaryanya di ruang publik.

Arief pun akhirnya memilih untuk kembali belajar. Ia sempat memperoleh kesempatan mengikuti course bidang pendidikan di Brugge, Belgia, tahun 1964. Arief kembali ke tanah air dan mendapati peta politik Indonesia makin panas. Krisis ekonomi, pertentangan kubu Komunis, Agamis, Militer, dan Nasionalis makin meruncing. Kasus pembunuhan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat pada 30 September dan 1 Oktober 1965 bagaikan bom waktu pertama yang meledak bagi Soekarno. Arief turut dalam gerakan mahasiswa 1966. Ia aktif mengorganisir mahasiswa Fakultas Psikologi untuk turut aktif dalam gerakan menggulingkan rezim Soekarno. Sejarah mencatat, Mahasiswa Psikologi dan Fakultas Sastra (yang salah satu motornya adalah Soe Hok Gie, adik Arief), merupakan salah satu yang diperhitungkan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).  Gerakan ini akhirnya mempermulus Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.

Namun bulan madu Arief dengan Soeharto tak berlangsung lama. Genosida atas mereka yang dituduh terlibat dengan Komunisme maupun Soekarno segera menjadi episode baru yang mengerikan. Rekan-rekan Angkatan 66 seperti Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, Cosmas Batubara, hingga Akbar Tanjung, hanya duduk manis menikmati rezim baru yang memanjakan posisi mereka. Berbagai kritik dilancarkan Arief, terutama lewat Majalah Horison, dimana ia menjadi redaktur sejak 1968. Arief kembali ke posisinya sebagai seorang oposan. Namun di masa ini pula, Arief melakukan kompromi langka dengan hierarki dengan mengganti namanya dari Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman. Sesuai dengan “arahan” asimilasi dari rezim untuk warga keturunan Cina. Kompromi tersebut hanya dilakukan Arief setelah desakan keras dari istrinya, Leila Chairani, yang tak ingin terus dipersulit untuk urusan tetek-bengek  administrasi.

Tahun 1968, duet Arief dan Goenawan kembali berulah. Mereka mengacak-acak tatanan dunia sastra dan seni, yang saat itu dilanggengkan oleh banyak rekan-rekan mereka di Manifesto Kebudayaan. Mereka mempromosikan Metode Ganzheit sebagai metode kritik sastra. Goenawan memperoleh inspirasi atas Metode Ganzheit dari teori psikologi Gestalt, yang menganggap bahwa persepsi manusia atas end product adalah lebih dari sekedar penambahan (dan susunan) dari bagian-bagian yang membentuknya. Meaning dari sebuah karya sastra secara keseluruhan, menurut pandangan ini, adalah lebih dari kesatuan hasil analisis atas pilihan kata, fonem, dan unsur-unsur lain. Ketika analis melakukan banyak faktor lain ekstrinsik, termasuk idiosinkratik sang analis (dan tentu, penulis) yang mempengaruhi, yang tidak bisa terdifinisikan secara indrawi dan teknis. Goenawan pertama kali memperkenalkan teori ini pada tulisan “Pengertian yang Salah terhadap Metode Analitik dalam Kritik Puisi” tahun 1965, disusul oleh Arief yang menegaskan dalam “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” yang dimuat majalah Horison No.4 Th.III, April 1968.

Teori pos-positivistik inilah yang membuat para akademisi sastra yang menganut teori sastra modern, dimana terdapat standar-standar nilai tertentu yang mengikat interaksi penikmat/analis/kritikus dengan karya yang dihadapi, merasa tersengat. Salah satu kritikus yang paling keras menyatakan ketidaksetujuannya adalah Mangasa Sotarduga Hutagalung. Polemik antara Arief plus Goenawan dan Mangasa serta Kelompok Rawamangun, berlanjut hingga pertengahan dekade 1970-an. Polemik tersebut dibukukan dalam “Kritik atas Kritik atas Kritik” yang terbit tahun 1975. Arief sendiri sebenarnya sudah mempraktikkan metode Ganzheit pada skripsinya yang berjudul Chairil Anwar : Sebuah Pertemuan. Ia mendekati karya Chairil tak melulu dengan metode teknis puisi. Namun justru menitikberatkan analisis tentang Chairil sebagai manusia pencipta; pandangan Chairil tentang agama, sosial, dan tentang dirinya sendiri,  disangkutkan dengan filsafat eksistensialisme, yang baru kemudian campuran tersebut dilimpahkan dalam memandang karya-karyanya.

Periode awal 70-an, Arief tercatat juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan Badan Sensor Film. Namun di dekade ini pula lahir dua “karya” Arief yang paling diingat publik. Pertama adalah saat pada 3 Juni 1971, Arief menjadi salah satu konseptor sebuah gerakan moral yang diberi nama Golongan Putih, atau disingkat menjadi Golput. Arief, Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjuntak, dan Asmara Nababan dan beberapa aktivis lain merasa Orde Baru tidak bisa membuat sebuah pesta demokrasi yang ideal pada Pemilu 1971. Karena mereka berkeyakinan, apapun hasil pemilihan, yang memegang kendali politik atas Indonesia adalah ABRI. Pada minggu tenang sebelum pemilihan umum, mereka menyebarkan memorandum yang menghimbau masyarakat memilih dengan keyakinan mereka, bukan atas dasar paksaan atau rasa takut. “Kalau ada jang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih,bertindaklah atas dasar kejakinan itu pula”, demikian satu kalimat dari memorandum tersebut. Nama Golongan Putih sendiri hadir dari prosedur teknis untuk mereka yang memilih untuk tidak memilih, yatu dengan mencoblos bagian putih dari surat suara. Tentu embel-embel “golongan” untuk menjadi ironi atas hegemoni Golongan Karya yang menjadi mesin politik utama Orde Baru. Arief sendiri berpendapat bahwa Golput tidaklah memiliki tujuan kemenangan politik apapun, melainkan hanya untuk “melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”. Para eksponen Golput membuat pamflet kampanye dengan logo segi lima berwarna putih polos sebagai simbol dan menempelkan pamflet tersebut di banyak tempat. Tak urung, aksi itu membuat gusar pemerintah. Kegiatan-kegiatan yang berbau Golput dilarang. Adam Malik bahkan sempat menyebut Golput sebagai “Golongan Setan”. Kampanye Golput 1971 menghasilkan angka 6.67% pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Sebuah persentasi yang “buruk” dibandingkan dengan angka “golput” pada Pemilihan Umum 1955 yang mencapai 12.34%. Namun merupakan prestasi sendiri di tengah iklim politik yang “terkonsolidasi” dan kekuatan oposisi yang lemah.

Dalam selang beberapa bulan, Arief kembali menyerang Orde Baru. Kali ini ia menyatakan penentangannya atas rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Berbagai demonstrasi digelar untuk menentang pembebasan lahan secara sewenang-wenang demi “proyek pembangunan mental-spiritual” yang digagas Siti Hartinah, istri Soeharto. Pada 21 Januari 1972, Arief ditangkap, bersama dengan aktivis lain, di antaranya Poncke Princen. Statusnya adalah tahanan polisi hingga 10 Februari, namun ia ternyata ditahan lebih lanjut untuk pemeriksaan di kejaksaan hingga dibebaskan tanggal 16 Februari 1972. Penangkapan Arief terjadi setelah pada 6 Januari 1972, Soeharto yang gusar berpidato di acara peresmian Rumah Sakit Pusat Pertamina. Soeharto berpendapat bahwa isu Taman Mini Indonesia Indah telah dipolitisir. Aksi itu disebut Soeharto memiliki tujuan jangka pendek mendeskreditkan pemerintah, dan tujuan jangka panjang menggulingkan ABRI dari posisi-posisi eksekutif. Soeharto mengancam siapapun yang mengganggu ketertiban umum, dengan menggunakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai legitimasi aksi “penertiban”. Selama beberapa minggu ditahan, Arief ditahan di Markas Polisi Air dan Udara Tanjung Priok, dimana ia mengenal petugas-petugas yang mengaku mengagumi dan bersimpati pada perjuangannya. Para petugas itu pula yang memperlakukan Arief dengan baik saat masa tahanan. Arief pun menduga bahwa Soeharto masih segan untuk menghukum berat para aktivis, karena sebagian besar mereka memiliki jasa dalam menaikkan Soeharto ke puncak kekuasaan.

Tahun 1973, mereka yang terlibat di baris atas hierarki negara ini boleh bernafas lega. Arief pergi belajar ke Universitas Harvard di Amerika Serikat. Ia mengambil program sosiologi, dengan bantuan sosiolog sosialis Seymour Martin Lipset. Meskipun dengan kondisi ekonomi yang konon cukup sulit dan beasiswa yang terhenti, Arief akhirnya bisa menggenggam gelar Doktor Sosiologi. Pulang ke Indonesia, Arief bergabung dengan universitas yang baru berdiri, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Di universitas muda yang masih idealis ini, Arief menemukan iklim belajar mengajar, dan aktivisme yang cocok dengan dirinya. Andreas Harsono, eks jurnalis Jakarta Post yang kini dikenal sebagai penulis jurnalisme sastrawi dan pegiat Hak Asasi Manusia, serta “Stanley” Adi Prasetyo, pendiri Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), aktivis Institut Studi Arus Informasi (ISAI), juga eks anggota Dewan Pers Indonesia, adalah dua nama yang sempat mengecap bimbingan dari Arief di Salatiga.

Namun bukan Arief namanya jika anteng-anteng dalam melihat ketidak adilan. Arief bersama beberapa mahasiswanya sempat menggelar aksi menentang kebijakan Pemerintah Kota Salatiga yang melarang dokar dan becak masuk dan mengambil penumpang di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman Salatiga. Juga saat Arief mengambil sebuah posisi di polemik perebutan posisi rektor di Satya Wacana. Arief merasa Liek Wiharjo, yang mendapat suara terbanyak, secara tradisi harusnya dipilih oleh Yayasan Satya Wacana. Namun ahli fisika yang juga peminat isu-isu agama dan sosial itu ternyata tidak dipilih oleh yayasan, yang lebih memilih John Ihalaw dari Fakultas Ekonomi. Pendapat Arief ini naik cetak di Tempo, Kompas, Sinar Harapan, dan beberapa media skala nasional lain. Arief yang dianggap provokator akhirnya dipecat oleh Ihalaw tahun 1994. Menganggur, Arief mencari pekerjaan lain, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tertarik dengan Arief, namun tak lama, Sanata Dharma yang sedang dalam proses menjadi universitas nasional merasa tidak bisa mengambil risiko dengan mengambil Arief yang oposan Orde Baru sebagai pegawai.

Arief akhirnya berangkat mengajar di Universitas Melbourne, Australia. Di sana Arief menjadi pengajar sekaligus langsung diangkat menjadi guru besar. Mulai 1997 hingga pensiunnya tahun 2008, Arief menjalani kehidupan bolak-balik Salatiga – Melbourne. Di Salatiga Arief tinggal di rumahnya yang didesain khusus oleh Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, arsitek cum-budayawan dan agamawan dari Yogyakarta. Berbagai tulisan dan ceramah Arief hingga awal dekade 2010-an masih menghiasi media massa dan seminar-seminar di Indonesia, Australia, dan beberapa negara lain. Tulisan-tulisan yang dianggapnya terbaik dan masih relevan ia kumpulkan dan bukukan. Terbit tahun 2006, kumpulan tulisan tersebut ia beri judul Kebebasan, Negara, Pembangunan : Kumpulan Tulisan 1965-2005. Buku tersebut memudahkan para pembaca untuk mengenal pemikiran-pemikiran Arief yang multidimensi, kukuh pada fleksibilitas dan subjektivitas, dan selalu anti hierarki.

Kini Arief sedang dalam kondisi sakit di Salatiga. Entah apakah masih banyak kini yang akan mengingat kiprah Arief membangkang selama lima dekade. Tapi saya rasa tulisan ini akan sangat baik dituliskan sebagai pengingat siapa Arief Budiman. Sebagai seorang yang tak pernah ingin bebas nilai.

Oleh : R.Indra Pratama

Sumber

Buku :

  1. Budiman, Arief. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan : Kumpulan Tulisan 1965-2005. Pustaka Alvabet. Halaman 22, 45, 68, 125, 146.
  2. Schultz, Duane. 2013. A History of Modern Psychology. Burlington: Elsevier Science. halaman. 291.
  3. Suryadinata, Leo.1995. Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (3rd Edition) Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Jurnal :

  1. Budiman, Arief. 1968. Metode Ganzheit dalam Kritik Seni. Horison, 4 (April, III).

Artikel :

  1. 19 Februari 1972. Pemrotes Taman Mini Dibebaskan.
  2. Mohamad Taufik. 25 Januari 2014. Ibu Tien Bikin Taman Mini, Pak Harto Menindak Para Penentangnya. Merdeka.com (online) (https://www.merdeka.com/peristiwa/ibu-tien-bikin-taman-mini-pak-harto-menindak-para-penentangnya.html . Diakses pada 29 Desember 2017, 19:36).
  3. Triyono, Bambang. 2009. Inspirator Tiga Zaman. Scientarium. (Online) (http://scientiarum.com/2009/02/06/inspirator-tiga-zaman/ diakses 29 Desember 2017, 16:30).

Statistik :

  1. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2008. Pemilu 1971. Jakarta : KPU Republik Indonesia.

Ensiklopedia :

  1. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tahun tidak diketahui. Kritik Ganzheit. Ensiklopedia Sastra Indonesia (online)(http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Kritik_Ganzheit . Diakses 29 Desember 2017, 14:30).

Gambar :

  1. Arief Budiman, diunggah oleh Republika
  2. Arief Budiman, diunggah oleh @tokohsastra

 

Tinggalkan Balasan