///

Udara Jakarta dan Derik Jangkrik

Dibaca normal 7 menit

Sepak bola sebagai olahraga terkait erat dengan faktor-faktor lain yang seolah-olah tak ada kaitannya dengan sepak bola ~ Cak Nun

Beberapa jam jelang keberangkatan ke stadion, saya memerhatikan suara jangkrik dari tumpukan lemari dan kayu bekas yang ada di sudut parkiran kos. Teringat pernah membaca sebuah tulisan tentang bagaimana makhluk omnivora ini menderik. Selain untuk memancing lawan jenis, ternyataΒ bisa dijadikan patokan untuk mengetahui temperatur udara. Caranya adalah dengan menghitung jumlah deriknya selama 15 detik, lantas tambahkan dengan angka 40. Dari situ kemudian diketahui suhu udara dalam ukuran Fahrenheit.

Kalau takarannya Celcius, maka rumusnya adalah menghitung derik jangkrik selama 8 detik lalu ditambahkan angka 5. Dari situ kemudian saya mendapatkan suhu udara 22Β°C.Β Sayangnya rumus di atas tidak bisa dijadikan acuan untuk mengukur suhu sebuah kota. Suhu tersebut hanya bisa dijadikan acuan untuk lokasi jangkrik sedang berderik.

**

Jam hampir menunjuk angka 5 sore ketika Dimas menunggu rekan-rekannya dari Bekasi. “Saya dari Kranji, Bekasi Barat. Saya khawatir kalau teman saya mengenakan atribut Persib menuju sini,” ujarnya sambil duduk di kursi plastik warung lontong sayur.

Tangan kanannya menentang minuman energi yang baru dibeli di warung gerobak yang melintas. Para pengais rejeki nampak berseri-seri diΒ perhelatan final sepak bola hari itu, berbanding terbalik dengan rasa was-was dari raut muka Dimas. Beberapa kali ia menatap ponsel, menanti kabar rekan-rekannya.

Wajar saja, berita di televisi berhari-hari ini memang meresahkan tentang kondisi Jakarta yang katanya berstatus siaga 1. Tak salah memang, sehari sebelumnya saya sempat keluyuran ke stasiun Gambir menjemput seorang kawan. Tak jauh dari stasiun ada tulisan di depan pos polisi, “Bobotoh Harap Kumpul Di Sini”.

Dimas khawatir bukan saja soal keselamatan rekan-rekannya. Lebih dari itu, nasib tiketnya sendiri adaΒ di tanganΒ rekan-rekannya. “Ya kalau sampai magrib belum ada kabar, saya mau beli di sini aja. Paling apes beli di calo deh.”

Tak lama ia pamitan berkeliling. Mungkin dikira saya orang anehΒ nanya-nanya enggak jelas. Tak jauh dari situ, tepatnya di depan ticket boxΒ Plaza Tenggara, sopir Gojek yang mengantar saya sedang bertransaksi dengan calo tiket yang berkeliaran bebas di sekitar stadion.

Di tengah perjalanan saat mengantar ia berubah pikiran untuk menonton Persib. “Saya asli Jakarta, Bang. Tapi saya suka Persib. Tadinya malah ragu mau nonton karena kaca mata saya hilang di musala, barusan. Kebetulan tadi abang booking ke GBK, jadinya saya enggak ragu buat nonton juga,” kata sopir Gojek bernama Muhamad Dhika ini.

Seperti biasa, selain dengan sopir taksi, membual dengan sopir ojek adalah cara paling sederhana menikmati hidup agar menjauh dari golongan manusia kurang piknik.

Magrib hampir tiba saat Dhika mendapat tiket yang berbeda tribun dengan saya. Saya pun mencoba mengontak teman-teman dari Bandung yang lebih dulu tiba. Sayangnya sinyal sudah hilang begitu kaki melangkahΒ diΒ Gate I.Β Setengah jam jelangΒ kick off, surat Al-Fatihah menggema di Gelora Bung Karno yang sudah berubah jadi lautan biru.

Kalau tak salah mencatat, ini pertama kali dalam dua puluh tahun bobotoh kembali menguasai stadion kebanggaan Indonesia tersebut. Atmosfer lebih mirip Si Jalak Harupat, apalagi ketika di kiri kanan bertebaran dialog berbahasa ibu, hal yang langka ketika saya kerap menyaksikan tim nasional bertanding di stadion ini.

Persib tampil sebagai pemenang. Rupanya tak perlu menunggu 19 tahun untuk mengecap sebagai juara nasional. Hal ini disambut ribuan bobotoh yang tumpah ruah merayakan kegembiraan di dalam stadion.

**

“Saya dari Palembang, mau pulang tapi ngontak teman, hape saya mati,” terang Dedi yang bersama kawannya, Yusuf, menggunakan transportasi umum menuju Jakarta.

Mereka berangkat dari Stasiun Kertapati di Palembang menuju Stasiun Tanjung Karang, Lampung. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Bakaheuni sebelumnya akhirnya menyeberang lewat laut menuju Merak. Dari situ mereka kemudian merapat ke Kampung Rambutan menggunakan angkutanΒ bus.

Tanpa pikir lebih jauh saya menawarkan untuk meminjamkanΒ power bankΒ sambil menunggu jemputan di depan halte Trans Jakarta Gelora Bung Karno. Dedi dan Yusuf baru saja tamat SMA ketika obrolan saya buka soal kemungkinan aktivitas besok di hari Senin. “Kami masih nganggur, Bang,” kata Yusuf yang sedikit malu ketika saya menawarkan sebatang kretek.

Kami pun mulaiΒ membicarakan pertandingan yang baru saja usai. Saya sendiri tidak puas dengan permainan Persib yang cenderung bertahan di 25 menit terakhir.Β Sementara tim Sriwijaya bermain sangat bagus. “Iya, Persib hanya mengandalkan serang balik. TapiΒ perlu dicatat, Bang, lini depanΒ kami mandul,” ucap Dedi mengakui kelemahan timnya.

Sungguh saya menikmati Jakarta malam itu. Bukan hanya karena kemenangan Persib. Bersua dengan orang-orang asing dengan berbagai latar dan identitas hanya untuk mencintai sepak bola. Jauh dari rumah dan kota kelahiran, lantas membayangkan keluarga mereka yang mungkin memiliki kekhawatiran yang amat sangat. Juga terlintas bagaimana lelahnya aparat keamanan yang harus mengantar dan menjemput suporter di beberapa titik. Lagi-lagi saya membayangkan keluarga mereka di rumah.

Sesuatu yang melibatkan massa besar tentu akan menimbulkan gesekan-gesekan, yang barangkali bisa jadi lahan empuk bagi kolom media masa. Maka wajar jika ada pengamanan dan liputan yang kesannya memang berlebihan itu. “Di seberang sana saudara kita ada yang jadi korban, kalian kok malah bersenang-senang,” cuit beberapa tulisan diΒ microbloging.

Ya begitulah, segala makhluk hidup memang gerak-geriknya senantiasa melahirkan reaksi-reaksi kimia,- kalau boleh menggunakan istilah kimiawi- yang berjalan lebih cepat pada temperatur lebih tinggi.

Sebagai makhluk yang berhawa panas, manusia sudah selayaknya mempertahankan ‘suhu’ secara stabil , sehingga irama hidupnya pun juga stabil. Kecuali jika tetangga sebelah memiliki kendaraan baru. Atau jika tetangga sebelah mendapat prestasi sebagai juara baru.

Nah, sudahkah Anda mendengar derik jangkrikΒ malam ini?

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan