Saya selalu tertarik dengan kiasan-kiasan bahasa Indonesia. Karakteristik yang terpengaruh gaya berbahasa Melayu ini buat saya adalah sebuah seni tersendiri. Membuat dan memakai kiasan untuk mereinterpretasi kenyataan tentunya membutuhkan kepekaan, dan olah rasa yang kuat. Salah satu kiasan yang menarik adalah “goyang lidah”, yang seperti kita tahu, dipakai untuk menggambarkan rasa enak dari sebuah panganan yang dimakan seseorang. Bagi saya, membayangkan sepotong steak dengan kematangan medium, masuk dengan mulus ke dalam mulut, lalu saripatinya mencair ketika dikunyah. Memang mirip saat melihat warga kompleks khidmat bergoyang dengan iringan lagu dangdut di panggung tujuhbelasan.
Lalu apa hubungannya dengan Agus Salim? Apakah Agus Salim adalah penghobi kuliner? Tentu tidak. Agus Salim yang selalu hidup dalam aksi kesederhanaan mungkin bukan orang yang menganggap kuliner adalah seni yang menggugah. Pola pikir seperti itu tentunya bukan pola pikir umum warga bumiputera negara jajahan.
Agus Salim yang jago menggoyang lidah adalah ruas selatan Jalan Haji Agus Salim, atau dikenal dengan nama lamanya, Jalan Sabang. Ruas jalan ini bisa dikatakan merupakan salah satu sentra kuliner di Jakarta yang paling lengkap. Saya beruntung, sudah tiga tahun intens menjelajahi warung demi warung, jongko demi jongko, dan kedai demi kedai. Untuk intensitas yang lebih sedikit, restoran juga.
Dari utara, kita bisa menemukan Kedai Kopi Oey! dan Kedai Rumate milik jurnalis terkemuka, Bondan “Maknyus” Winarno. Lalu ada pula rumah makan masakan Makassar dengan anadalan Mie Titi yang mempesona, Kedai Pelangi. Sebelahnya, kita bisa menemukan rumah makan “murah” D’Cost, dimana nasi, sambal, dan teh digratiskan.
Maju lagi, kita bisa menjelajahi puluhan jongko makanan di gang Sentra Kuliner Bank Syariah Mandiri (“BSM”). Mulai dari Jamur Crispy, Donat Kentang, Ketoprak, Ayam Taliwang, Bakso Solo, Mie Bangka, Ayam Penyet, aneka masakan Manado, sampai ke Sate Ayam dan Kambing Madura. Andai rela sedikit berkeringat untuk makan di gang ini, lebih besar potensi lidah anda tergoyang. Di gang ini juga terdapat beberapa kios yang menjual aneka barang dengan harga miring.
Jika datang pada siang hari, saat melaju ke selatan kita bisa menemui restoran Pempek Cawan Putih, Bakso Malang Arema, Toko Roti Sakura Anpan, dan Es Doger depan tempat penukaran uang. Kita melewati juga gang Warung Makan Bu Gendut, yang terkenal tapi overpriced. Satu yang istimewa adalah warung Nasi Gandul khas Pati. Nasi Gandul adalah nasi putih yang disajikan dengan kuah sayur yanh manis, dengan pelengkap berupa sambal, tempe dan tahu bacem, serta sate telur puyuh, sate usus, dan ati ampela.
Jika datang di malam hari, anda akan disambut oleh puluhan warung tenda. Tinggal pilih, apakah minat dengan Chinese Food, Sate, Nasi Goreng, Makanan Laut, atau Pecel Lele. Namun efeknya adalah akan sulit sekali berjalan melintasi jalan di waktu-waktu ini.
Menggoyang lidah tentunya bisa jadi opsi penyegaran bagi kepala-kepala yang penat dan jiwa-jiwa yang gelisah. Tentunya akan lebih sokratik daripada pergi ke klub malam, menenggak alkohol, dan terkapar keesokan harinya. Anggaplah sedang menikmati musik dangdut yang adiluhung. Ketika gendang ditabuh, suling dilantunkan, gitar dipetik, dan biduan berbaju terang mulai bernyanyi, goyanglah. Jangan dilawan, lemesin aja.