//

Si Tidak Besar Paling Berbinar

Dibaca normal 3 menit

IMG_3345-0Terakhir kali saya berjumpa pahlawan, beberapa waktu lalu. Wajahnya keras dan sedikit angkuh, namun rapih ditutupi kesan berwibawa dari pembawaannya. Tubuhnya tegap sedikit gempal. Tangannya mengepal keras, di beberapa titik pembuluh darahnya seperti hendak mencuat keluar.

Siapa tak kenal beliau, pahlawan besar bangsa ini di masa kerajaan dahulu. Gajah Mada. Mahapatih majapahit yang punya segudang prestasi heroik. Ya, saya bertemunya beberapa waktu lalu. Sosok heroiknya diabadikan pada sebuah patung penghormatan di pelataran sebuah museum.

Dari gambaran diatas layak sekali bukan sosok tersebut diasosiasikan dengan pahlawan besar? Bukan mengada-ada, sejatinya memang beliau adalah pahlawan besar. Di kemudian hari, di masa yang kerap dilabeli dengan satu kata ‘kekinian’, sosok pahlawan tak lagi sulit dicari. Bukan lagi sekadar perkara sosok besar yang jumawa, bukan pula sekadar perangai yang suci. Saat ini pahlawan-pahlawan modern banyak lahir dari sekitar. Senangnya hati, saat sadar begitu banyak pahlawan-pahlawan baru di sekitar kita.

Adik laki-laki saya ber-pahlawan terhadap ayah saya. Baginya ayah adalah sosok istimewa, dewa pelindung kalau boleh dikata. Dan sekaligus sahabat. Lain lagi dengan kakak perempuan saya. Baginya almarhum ibu adalah pahlawannya. Kedekatan mereka menggugah rasa menghargai, saling mengagumi. Terdengar klise dan mainstream? Iya. Tapi itu memang realita. Saya juga beranggapan orang tualah yang layak dinobatkan sebagai pahlawan kita, sebagai orang-orang besar yang berjasa dalam hidup. Tidak beda juga dengan Ahmad Syarifudin. Bocah 6 tahun yang mengidolakan ayahnya sebagai pahlawan hidupnya. Tidak pernah bosan dia bertutur bahwa ayahnya adalah Hero. Bukan perkara karna dia mahir dan senantiasa berbahasa Inggris, akan tetapi karena memang ayahnya bernama Hero Wibisono. #KemudianGaring

Kalau saya punya versi cerita sendiri tentang pahlawan besar saya. Anak saya. Ya, dialah pahlawan saya. Dia adalah juru selamat dari banyak sekali cerita hidup yang sebelumnya terlalu berkelok-kelok. Dia adalah pahlawan yang senantiasa memberi saya arahan meski tak kasat mata, tentang apa yang seharusnya dan apa yang terlarang. Lewat hadirnya saya terbebaskan dari belenggu egosentris dan mulai merangkak merambah mulianya rasa mengemban tanggung jawab. Lewat hadirnya saya belajar tentang keikhlasan. Belajar tentang jumawanya rasa melepaskan yang ternyata merupakan kenikmatan tertinggi dari memiliki. Lewat hadirnya kemudian saya lebih hafal lagu bersyukur dan mulai lupa akan apa yang mereka sebut lagu meratapi.

Pahlawanku tidak berbadan besar dan kekar, tidak pula perawakannya sangar dan penuh wibawa. Cuma aura yang dia punya sebagai senjata. Tapi pahlawanku punya binar besar. Jauh lebih besar dari yang dimiliki si berbadan besar nan sangar.

Tinggalkan Balasan