Bayangkan di siang hari yang panas, misal jam 11 siang, kita berada di dalam angkutan Metromini atau Kopaja dengan kondisi jalan yang macet. Tempat tujuan yang biasanya butuh waktu empat puluh menit, malah sudah hampir satu jam ketika kita berada di setengah perjalanannya. Mungkin satu jam berikutnya baru kita akan tiba di tempat tujuan. Jika mendapat tempat duduk, bisa jadi gadget akan menjadi pelampiasan untuk mengurangi kekesalan akan situasi di angkutan kota tersebut. Lalu tersebarlah pelampiasan itu ke jejaring sosial, apalagi jika ada senggolan angkutan yang kita tumpangi dengan kendaraan pribadi. Dalam kondisi seperti itu, serempak kita akan mengamini bahwa kendaraan pribadilah yang bersalah. Mereka tidak pernah mau mengalah.
Sebaliknya, ketika kita mengendarai kendaraan pribadi dan dalam kondisi macet dengan cuaca yang panas, apa yang bisa dilakukan untuk membunuh bosan? Lalu bagaimana jika ada kejadian di tengah perjalanan? Taruhlah gesekan dengan angkutan kota yang menyebabkan kita beradu mulut dengan mereka. Dalam kondisi seperti itu, serempak kita akan mengamini bahwa angkutan kotalah yang bersalah. Mereka sok jadi penguasa jalanan ibukota.
Panas dan macet dalam perjalanan tentu menjadi momok yang sangat menakutkan. Panas mungkin bisa disiasati dengan kendaraan ber-AC, apalagi cuaca Jakarta belakangan malah seperti musim kemarau. Ketika menulis ini, suhu udara di Jakarta Barat sampai 33° Celcius. Takaran suhu ini bisa membuat mobil ber-AC pun menjadi sangat ‘hangat’. Malahan kita mengira kalau AC mobil sudah rusak, padahal panasnya disebabkan oleh pantulan aspal dan endapan dalam knalpot akibat cuaca yang kelewat menyengat. Tempat service ujung-ujungnya menjadi pelampiasan karena menganggap layanannya tidak memuaskan,” AC sudah diservice kok masih panas.” Keluh seorang supir pribadi saat menunggu jemputan di Blok M Square.
Tentu saja ceritanya akan lain untuk mobil-mobil yang masuk ke dalam grade A. Bagi mereka, cuaca Jakarta biasa saja, tidak ada yang berubah kecuali berita penyadapan negara lain yang membuat mereka ikut marah akan sikap Presiden kita yang terlampau memble.
Di sisi lain, seperti halnya kota-kota besar, ibukota juga sedang ramai mengangkat isu pemanasan global, perbanyak ruang hijau, dan gerakan lain yang mengacu pada kedekatan manusia dengan alamnya. Keduanya harus sangat akrab. Kita bisa lihat beberapa taman hijau mulai menyemarakan sudut-sudut ruang publik. Di setiap mall, seakan sebuah kewajiban bagi pengelolanya untuk memelihara tanaman, meski dalam pot yang berjejer di pelataran parkir. Bahkan di setiap minggu, Car Free Day diberlakukan di jalan-jalan utama untuk memberikan ‘nafas’ bagi udara Jakarta. Lalu mengapa Jakarta masih panas di musim yang seharusnya penghujan ini? Sampai kapan mengandalkan AC dan kipas angin untuk menyejukkan udara?
Saya jadi teringat apa kata Seno Gumira Ajidarma. Menurutnya hubungan alam dan manusia tentu saja harus merupakan hubungan cinta. Jika kita membenci panas dan memaksa udara dingin dengan teknologi, maka itu sangatlah analog dengan pemerkosaan dan bukannya percintaan.
Bagaimana dengan macet? Persoalan menahun karena sampai sekarang belum ada solusi paling manjur untuk mengatasinya. Berbeda dengan panas, di sini teknologi bisa lebih berperan penting. Sejak beroperasi tanggal 25 Januari 2004, Trans Jakarta diharapkan jadi transportasi publik idaman warga ibukota. Sayangnya dalam kurun waktu satu dekade itu, macet belum juga teratasi. Kadang saya menggumam, jangan-jangan macet Jakarta ini adalah fenomena alam seperti halnya banjir atau tsunami yang diakibatkan perilaku kita sendiri. Sering terjadi, alih-alih kita memilih jalur alternatif untuk menghindarinya, macet malah terjadi beberapa ratus meter sebelum kita sampai ke tempat tujuan. Hal yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya.
“Cuaca dan macet di Jakarta ini selalu tak terduga, munculnya kadang-kadang dari lini kedua seperti seorang playmaker dalam permainan sepak bola.” Terang teman menulis saya suatu sore. “Istilahnya coming from second behind. Besok panas, lusa hujan. Satu kilo lancar, dua ratus meter akhir tujuan macet parah. Itulah Jakarta.”
Ya, ya, saya hanya menggut-manggut dan mengulangi ucapan teman saya itu. Cuaca dan macet Jakarta selalu muncul dari lini kedua, selalu tak terduga. Semoga tidak untuk rezeki penghuninya.