Saya masih ingat bagaimana Gus Mus menggambarkan Danarto: lelaki berambut gondrong dengan celana jeans. Jangan lihat tampilannya, pesan Gus Mus. Melihat bagaimana Danarto shalat dan berdoa, ia lebih sufi dari orang-orang bersorban dan berpakaian alim. Ia pula yang mengajarkan saya betapa tak benarnya menilai orang hanya dari tampilan luarnya.
Sejak saat itu, saya mencari-cari Danarto –mungkin saya harus menyebutnya Eyang Danarto. Bersama Budi Darma, ia lekas menjadi penulis cerpen favorit saya. Surealis. Sufistik. Eksplorasinya tak berbatas, penuh perenungan.
Hingga saya menemukan bukunya yang melegenda: Adam Ma’rifat. Buku yang diganjar Hadiah Sastra 1982 dari Dewan Kesenian Jakarta itu teronggok begitu saja di tumpukan buku bekas, di pusat belanja Malioboro. Harganya Rp 10.000, jauh lebih murah daripada pecel ayam dara di emperan jalan Malioboro. Kadang kala, atau seringkali (?), cita rasa kita memang anomali. Penghargaan kita terbolak-balik.

Sejak mampu sedikit menabung, saya selalu mampir ke bengkel buku Jose Rizal Manua di TIM. Mengubrak-abrik tumpukan bukunya untuk mencari buku. Nama Danarto masuk dalam list buruan. Kalau tak ada uang, saya membacanya seharian di situ sambil berdiri; tak akan diusir Om Jose. Beda nasibnya jika berdiri seharian di Gramedia, yang saya akhirnya tempuh hanya bila stok majalah Horison di bengkel Om Jose sudah habis.
Dalam karya-karyanya, Danarto adalah master, begawan. Bukan karena ia tak tertandingi, tapi karena ia selalu memberikan ruang eksplorasi makna di setiap karyanya. Cerita bukan sekadar tumpahan ide yang ingin ditransfer, apalagi dielu-elukan, tapi ruang bersama yang diciptakan penulis untuk mengajak pembacanya bergerak. Danarto mengajak pembacanya kembali ke ruang jiwanya masing-masing. Menelisik lagi hakikat yang kerap terlupakan.
Apa yang kita baca dari Adam Ma’rifat; cerita tanpa jeda titik? Harakat tanpa waqaf.
Dan kini, Danarto berpulang. Ia kembali kepada yang mencintaiNya dan dicintainya. Semoga kasih sayang Allah terus tercurah kepadamu. Selamat kembali ke hangat kasih sayangNya.
Rotterdam, Rajab 1439
*kredit foto dariΒ Sindo Online