Beberapa waktu ke belakang, cukup ramai polemik mengenai Landhuis Cimanggis. Rumah peristirahatan abad 18 milik pembesar VOC yang mungkin tinggal tersisa 30-an persen itu ditengarai hendak digusur untuk perluasan kampus sebuah universitas. Perdebatan terjadi tentang signifikansi sejarah bangunan tersebut dan urgensi-urgensi lainnya. Yang ikut urun argumen beragam. Mulai dari komunitas pemerhati sejarah, sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pendapat Kalla berkisar pada pandangan bahwa secara histori dan kultural, tidak ada signifikansi dari bangunan tersebut. Terlebih isu yang beredar, bangunan itu adalah milik salah satu istri Gubernur Jenderal paling korup di jaman VOC, Albertus van der Parra. Para pembela bangunan, di sisi lain, berpendapat bahwa bangunan ini penting secara sejarah dan arsitektur untuk diselamatkan karena masuk dalam kategorisasi-kategorisasi benda cagar budaya.
Perdebatan itu singkatnya berlangsung dengan pandangan yang berbeda tentang terminologi “sejarah kita”. Saya sendiri berpandangan bahwa penceritaan kita tentang sejarah haruslah ada dalam kerangka poskolonial. “Kita” harus bisa mengkritisi dan melepaskan diri seutuhnya dari konteks-konteks kolonialisme dalam menulis dan menceritakan ulang sejarah. Menempatkan secara egaliter subjek-subjek sejarah dengan memperhitungkan struktur kemasyarakatan yang berlaku di setiap masa.
Pemikiran itu pula yang mendasari saya dan teman-teman Ngopi Jakarta berusaha untuk membuat penceritaan yang lebih “lokal” dalam sisi sejarah yang kami pelajari bersama. Juga memperhitungkan struktur sosial yang ada sebagai sesuatu yang tidak boleh lepas dari penceritaan masa lalu dan masa kini, juga dalam pemikiran masa depan.
Demikian pula dengan NgoJak Cikini. Kami mencoba memperkenalkan Cikini kepada teman-teman NgoJak sebagai sebuah arena kontestasi politik dan budaya bangsa Indonesia.
Kami berkumpul di Stasiun Cikini dan berjalan bersama ke tujuan pertama, yaitu Gedung Yayasan Perguruan Cikini. Namun di tengah perjalanan kami sempat berhenti di depan rumah Achmad Subarjo. Di rumah bergaya indies inilah, Subarjo, seorang tokoh aliran nasionalis yang sangat supel, pernah berkantor sebagai menteri luar negeri. Perjuangan Subarjo sendiri sudah dimulai sejak usia mahasiswa, saat bersama Hatta mengelola Perhimpunan Indonesia, bahkan sempat mengikuti pula kongres Liga Anti Imperialisme yang bersejarah di Brussels. Pada masa Jepang, Subarjo memutuskan untuk kooperatif dengan Kaigun (Angkatan Laut) Jepang. Subarjo pula banyak berperan dalam program kaderisasi aktivis pergerakan di beberapa asrama mahasiswa. Sampai akhirnya peran terpenting Subarjo hadir pada 15-16 Agustus 1945, dimana ia mampu menengahi konflik ide antara kelompok pemuda dengan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, dan juga mempersiapkan penerimaan Kaigun Jepang terhadap rencana pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Setelag bercerita tentang Subarjo, kami berjalan dan tiba di Gedung Yayasan Perguruan Cikini. Di sekolah elit jaman dulu ini, kami membahas peristiwa penggranatan terhadap Sukarno pada 30 November 1957. Sukarno yang datang untuk menghadiri acara ulang tahun Perguruan Cikini, mendapat serangan lima buah granat tangan dari empat orang pelaku. Sukarno selamat, namun puluhan orang luka-luka dan beberapa korban tewas. Para pelaku sendiri akhirnya diketahui terlibat dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) besutan karib Sukarno, Kartosuwiryo. Para pelaku, empat orang pemuda asal Bima, dan Kartosuwiryo sendiri, dijatuhi hukuman mati. Sedangkan satu pemuda lagi dikenai hukuman kurung. Peristiwa itu pula yang mengawali upaya serius pemerintah menghabisi gerakan Kartosuwiryo, sampai ia tertangkap di Gunung Rakutak pada 1962 dan dieksekusi di Pulau Ubi, utara Jakarta.
Tujuan kami berikutnya adalah sebuah gedung di Jalan Cidurian 19. Gedung tersebut dulunya merupakan rumah dari kader Partai Komunis Indonesia (PKI) Oey Hay Djoen sebelum direnovasi seperti bentuknya sekarang. Rumah Hay Djoen merupakan basis dari para aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) saat pusat pergerakan PKI berpindah ke Jakarta dari Yogyakarta. Penceritaan ini diawali dengan cerita besar peta persaingan politik di akhir 50-an sampai 1965. Peta tersebut mengerucut pada bidang seni, sastra, dan kebudayaan, di mana Lekra menjadi entitas dominan. Juga sampai saat Lekra dan eksponen-eksponennya dihabisi sekaligus dengan kader, simpatisan, dan para tertuduh PKI.
Perjalanan kami sempat mampir di sebuah bangunan kosong bergaya kolonial. Bangunan ini sampai beberapa tahun lalu difungsikan sebagai restoran yang menyajikan gaya makan Rijstaffel. Gaya makan Eropa dengan beberapa pelayan pribumi membawa berpiring-piring makanan berturut-turut. Sebuah budaya yang hadir dari relasi kuasa yang timpang antara para penjajah dan kaum feodal terhadap mereka yang terjajah. Budaya yang entah kenapa dari masa ke masa, bahkan sampai puluhan tahun setelah kemerdekaan, masih dilanggengkan sebagai suatu budaya yang unik dan jadul. Memuakkan.