Uang Koin, untuk Siapa?

Dibaca normal 4 menit
5

Belum lama ini Bank Indonesia menerbitkan sebelas pecahan desain rupiah baru yang terdiri dari nominal Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Sedangkan uang rupiah logam terdiri atas pecahan Rp 1.000, Rp 500, Rp 200, dan Rp 100. Menurut beberapa media yang meliput, peluncuran rupiah desain baru tersebut diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo didampingi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Gubernur Bank Indonesia sendiri, Agus Martowardoyo.

Bukannya saya mau ikutan membanding-bandingkan apakah rupiah condong mirip yuan, euro, atau bahkan ngotot kalau desain emisi lebih menyerupai real. Sontak berhasil bikin saya geli sambil menahan kewarasan saat melihat komentar-komentar berseliweran di beranda linimasa. Duh Gusti. Memang sih kalau diperhatikan, warna uang sekarang terkesan pucat, fade, apalagi untuk pecahan Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Saya hanya membayangkan, betapa teramat suramnya warna isi dompet di akhir bulan. Hahahaha. Lah ini sih ikut membandingkan juga judulnya.

Jadi saya mau cerita, saat transaksi sama Ibu-ibu pedagang kaki lima pagi tadi. Empat gelas jus yang saya beli mesti dibayar seharga 52 ribu rupiah, maka saya kasih si Ibu penjual dengan selembar Β uang Rp 100.000, uang koin Rp 1.000, dan 5 buah koin Rp 200, agar tak repot mengembalikan pikir saya. Β β€œBu, ini 102 ribu, jadi kembalinya 50 ribu yah”, kata saya ke Ibu penjual. Si Ibu buka laci uangnya, lantas mengembalikan uang saya dengan selembar 50 ribu, eh tapi 5 buah uang koin Rp 200 saya juga dikembalikan. β€œMbak, saya balikin ya, gapapa bayarnya segitu aja, gak laku uangnya, gak ada yang mau nerima juga Mbak buat kembalian”. Loh?

β€œBuk, ini masih diakui negara kan?” entah mengapa terdengar nada putus asa dalam pertanyaan retorik bodoh yang saya ucapkan, dan seakan Ibu penjual hanya membalas tatapan dengan ekspresi β€œYhaa ora urus, Mbak”. Lah iya, lah bener juga. Lantas ini urusan siapa?

Maria Asti, kawan saya yang aktif di Sahabat Komunitas (Sakom), merupakan komunitas pendamping rumah belajar anak-anak termarjinalkan di sekitar Jakarta, sering memberitahukan saya kalau-kalau ada koin di rumah atau kantor yang tersisih, dia dengan senang hati menampungnya. Buat apa? Kak Maria akan menggunakan koin-koin ini untuk widyawisata adik-adik Sakom seperti nonton film anak di bioskop, jalan-jalan ke museum, taman bermain, dan kegiatan belajar asik lainnya. Alhasil saya sering jadi pengumpul dan pemungut koin tercecer. Pernah satu waktu, saya letakkan kaleng Khong Guan besar di atas meja, yang diberi post it ‘untuk beli alat tulis baru adik-adik Sakom’, dan dalam waktu tiga hari saja kaleng tersebut hampir penuh dengan koin bernominal Rp 100, Rp 200, Rp 500 dari teman-teman kantor. Sepertinya, ini jauh lebih bijak untuk memperlakukan uang koin yang sering tak dianggap besarannya, padahal pewaralaba mini hingga raksasa sekali pun jarang memberikan nilai genap untuk harga barang yang mereka jual.

Saya mikir, banyak-banyak mikir, apa nasib uang koin dengan desain baru yang konon katanya menampilkan sosok pahlawan I Gusti Ketut Pudja, Letjend Β TNIΒ T.B Simatupang Tjiptomangunkusumo, dan Herman Johannes pada gambar utama Β pecahan Rp 100 – Rp 1.000. Apa kita akan menemukan wajah-wajah mereka, yang padahal diniatkan oleh pemerintah agar masyarakat mengenal dekat para tokoh pejuang bangsa ini, alih-alih ditemukan terinjak-injak kaki polisi cepek atau menggelinding bebas di antara ban-ban kendaraan motor di jalanan kota.

Akhirnya, uang koin yang dikeluarkan negara tak lebih hanya menjadi pelengkap bukannya nilai tukar. Sebagai alat bantu kernet metromini untuk memberikan instruksi kepada sopir, kerokan, pengganjal meja goyang, atau kampanye sosial-politik misalnya, ingat cerita koin keadilan yang pernah digemparkan pada tahun 2008 pada saat terjadi perseteruan antaraΒ Prita MulyasariΒ denganΒ Rumah Sakit Omni Internasional? Atau koin untuk KPK? Bah.

Toh kita bisa membayar apa dengan uang-uang koin ini kan. Bencong habis nyanyi aja ogah dibayar gopek.

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

5 Comments

  1. Betul banget nih, keresahan yang sama yang kurasakan. Terus dibikin tapi masyarakat malah enggan pakai. Solusinya, pemerintah lebih gencar sosialisasi soal manfaat uang kain sebagai alat tukar yang sah dan harus diterima siapa saja. Aku juga suka nukerin uang recehan kak.

Tinggalkan Balasan