Sebuah ungkapan yang sepele. Pada dasarnya sah-sah saja orang memilih untuk dirinya sendiri kesenangan, baik itu musik, drama, pertunjukan kesenian, idola, bahkan ideologi. Tidak ada yang salah ketika dia menetapkan suatu standar hiburan bagi dirinya, entah itu yang mahal atau yang murah. Toh, orang lain tidak berhak menghakimi kesenangan dirinya. Sebab kebebasan manusia dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 bahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Nah, di zaman millennial ini sebagai manusia bebas di ibukota yang individualiitas warganya tercipta oleh kondisi lingkungannya, mereka dapat dengan sebebas-bebasnya memilih hiburan untuk menenangkan dan menyenangkan dirinya sendiri, salah satunya adalah Drama Korea dan K-Pop.
Sekat-sekat kebudayaan menjadi hilang, sehingga bocah-bocah milennial, lebih mengenal artis K-Pop macam Black Pink, Exo atau BTS ketimbang grup SLANK, Sheilla On 7, PADI, DEWA 19. Sebab karya mereka terus-menerus diputar, didengar dan diperdengarkan, diunggah di media sosial atau sekadar dinikmati di putaran ponsel, yang ironisnya, berasal dari negeri Ginseng tersebut.
Adakah yang salah dari kondisi itu? Sama sekali tidak. Sama sekali tidak. Lalu apa?
Rupanya, walaupun hanya sebagian kecil saja, tingkat penyebaran dari strategi kebudayaan negeri asalnya didukung oleh peningkatan besar-besaran alat teknologi. Sehingga pengaruhnya sampai ke negeri-negeri yang menerimanya.
Bagaimana dengan Indonesia dan terutama Jakarta?
Tentu enggak semua warganya merupakan pengagum berat K-Pop dan menjadi K-Popers. Musik dangdut tetap menjadi tuan di rumah sendiri, sekalipun yang menikmati sudah mulai uzur umurnya atau hanya diperdendangkan para pengamen jalanan dan musik dangdut dorong. Musik dangdut secara umum lantas tergantikan bocoh-bocah piyik yang beranjak menjadi jago dan babon, yang hampir-hampir tidak mengenal nama besar Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, atau artis lainnya yang memberi khazanah musik tanah air pada masanya. Belum lagi deretan nama-nama panggung Koplo, sebuah sub aliran musik dangdut dari kawasan Pantai Utara yang, jika manggung, beratraksi dengan gaun dan jubah yang aduhai minimnya. Disertai dengan lenggokan genit khas biduan, serta senyuman menggoda menantikan saweran para lelaki “penikmat hiburannya”.
Pemeritah seakan tidak tahu cara, sekaligus kebingungan mengembangkan dan memperkuat kebudayaan yang berkembang di Nusantara ini. Terkadang, mereka hanya menampilkan kebudayaan tingkat “atas” pada wisatawan mancanegara, bahwa kebudayaan tinggi bangsa Indonesia adalah tari-taarian dengan busana khas daerah dengan para penari terbaik. Sehingga seakan-akan kebudayaan Indonesia hanya berwujud tari-tarian dan busana saja. Padahal tidak sama sekali, itu kebudayaan dan tradisi elit. Wisatawan tidak butuh itu. Mereka mencari apa yang berbeda dari negeri mereka. Jika sama saja, untuk apa mereka ke Indonesia? Toh, negeri-negeri lain lebih indah dan lebih baik dari Indonesia.
Jika saja para wisatawan diajak berkeliling kota sampai ke sudut-sudut terpencil, mereka mungkin bisa melihat bagaimana Jakarta sebenarnya. Tentu ada plus-minusnya dan mungkin ketakutan terbesar pemerintah serta pariwisata adalah para wisatawan itu akan memberi cap yang negatif terhadap pemerintah lokalnya. Opini saya, itu hanya ketakutan sendiri, padahal warga kita sangat terbuka bahkan senang sekali apabila ada bule sampai masuk ke kampung mereka, apalagi sampai berinteraksi langsung. Bisa jadi yang dikhawatirkan adalah tindakan kriminal. Inilah yang harus kita jaga, jangan sampai itu terjadi.
Penerimaan bangsa kita terhadap kebudayaan luar, memang sudah terjadi ribuan tahun. Bangsa kita baik-baik saja, bahkan ikut mengembangkannya secara luar biasa untuk kepentingan bangsa. Kebudayaan dari Tiongkok, India, Arab, Eropa, Jepang, Amerika, hingga sekarang Korea, memang menjadikan warna yang tersendiri yang tidak bisa kita tolak. Namun jangan sampai hal itu ditelan mentah-mentah. Ada ungkapan lama yang masih layak kita junjung: ambil yang baik, tinggalkan yang buruk.
Nah, sekarang kita mau ambil yang mana? Bebas saja kok. Atau jangan-jangan kita mampu memadukan keduanya, antara lagu-lagu K-Pop yang diaransemen ulang, disatukan, dan nyanyikan ala dangdut koplo untuk kemudian sama-sama bersepakat dalam sebuah jargon, misalnya menjadi: K-Poplo.
Jadi, sudah seberapa K-Pop lo? Seberapa Koplo?