Ketiga, zaman dulu ada anjuran untuk meng-indonesia-kan nama Cina atau nama Tionghoa menjadi nama Indonesia untuk mempercepat proses asimilasi warga negara Indonesia “keturunan asing”. Tapi kenapa hanya khusus terjadi buat keturunan Tionghoa ya? Untuk nama-nama dari negeri lain kok tidak ada masalah, padahal nama-nama asing dari negeri lain sudah bercampur-baur dari zaman dulu dan menjadi suatu keunikan dari kehidupan bermasyarakat. Kenapa? Mungkin jawabannya ada di akhir tulisan ini.
Untuk mentaati anjuran tersebut dan tidak pula menghilangkan identitas leluhur melalui marga yang disandang maka cara meng-Indonesia-kan Marga adalah dengan dicarikannama-nama yang bunyinya mirip dengan marga yang dipakai. Contoh, Marga Tan 陈(Chen) menggunakan nama Tanusudibyo, Tanujaya, Tanuwijaya, Tanusubrata. Marga Lim/Liem 林(Lin) menggunakan nama Salim, Halim, Liman. Marga Oey 黄(Huang) dibaca Ui atau Wi menggunakan nama Wijaya, Wibowo, Winata, Winarto. Marga Go 吴 (Wu) menggunakan nama Gozali, Gondo, Utama. Marga Zhang 张(Thio/Theo/Tio) menggunakan nama Setio, Sutiono, Sulistio dan masih banyak marga lainnya yang sudah di-Indonesia-kan.
Keempat, gabungan nama Indonesia atau nama Barat dengan nama dan marga Tionghoa secara keseluruhan. Nama-nama gabungan tersebut bisa dilihat dari nama-nama tokoh seperti Silvester Tung Kiem San, Robby Ko King Tjoen, Freddy Tan Toan Sin (Amir Syamsyudin), Alvin Lie Ling Piao. Nama depan adalah nama Indonesia/Barat yang digabung dengan nama Tionghoa.
Kelima, Nama gabungan antara nama Indonesia/Barat dengan tambahan Nama Marga di belakang nama. Contoh Artis Lenna Tan, nama marga Tan dari dialek Hokkian atau dalam bahasa Mandarin berbunyi Chen 陈. Marga Chen sendiri merupakan salah satu marga umum yang banyak disandang oleh para Keturunan Tionghoa di Indonesia selain Zhang 张(Thio/Theo), Li 李(Lie), Lin 林(Lim/Liem), Wang 王(Ong), Liu 刘(Lauw). Artis lainnya seperti Junior Liem, Pemuka Agama Koko Liem dan Felix Xiao. Mereka menggunakan nama marga di belakang nama sesuai dengan bunyi asli dari marga yang disandang.
Keenam, nama mirip marga Cina. Dalam dunia hiburan televisi, penggunaan nama belakang mirip marga Tionghoa sekiranya menjadi sedikit popular digunakan untuk nama panggung. Beberapa nama menggunakan nama belakang seperti nama Tionghoa walaupun memang bukan dari asli atau keturunan langsung dari orang marga Tionghoa, misalnya dulu ada penyanyi yang berasal dari Jawa Barat menggunakan nama Mulan Kwok. Kata Kwok adalah marga Guo 郭 yang berasal dari dialek Kantonis dan Hakka. Vicky Shu, terdengar kata Shu mirip dengan bunyi bahasa Tionghoa, namun kata Shu berasal dari nama kakeknya Shumanto dan ternyata memang sang nenek juga bermarga Shu / Su. Selain penggunaan nama-nama yang mirip dengan bunyi marga Tionghoa, belakang ini juga muncul tren nama-nama panggung yang sudah mulai mengunakan nama marga di belakang seperti Morgan Oey, Lenna Tan, Sarwendah Tan, dan lainnya.
Beberapa contoh di atas tentang nama dan marga Tionghoa yang menjadi kisah lebih mendalam adalah tentang anjuran penggantian nama bagi orang-orang Tionghoa. Di era tahun 60-an ada anjuran dari pemerintah melalui Keputusan Presiden No.24 Tahun 1967 tentang anjuran penggantian nama bagi warga keturunan asing. Dalam pasal 5 disebutkan:
Khusus terhadap warga Negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Tjina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.
Dan juga Keputusan Presidium Kabinet No.127/Kep/1966 tentang tata cara dan petunjuk untuk proses penggantian nama. Saya mendapat salinan surat tentang penggantian dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia yang saya dapat dari salah dua mahasiswa saya di Program Studi Sastra Cina Perguruan Tinggi Swasta di Kota Tangerang.
Salah satu mahasiswa saya, Arie Guswari., keturunan Marga Xie 谢 atau Cia dalam dialek Hokkian. Memiliki marga namun tidak mempunyai pemberian nama dalam bahasa Mandarin/Hokkian. Anjuran mengganti nama sepertinya yang membuat ia tidak lagi memiliki nama keturunan atau mungkin juga karena pembatasan penggunaan bahasa Tionghoa sehingga generasi seterusnya sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa leluhur. Alasan lain, mungkin tidak tahu kata yang cocok dalam bahasa Tionghoa untuk memberi nama. Dari dialah saya mendapat salinan surat ganti nama milik mendiang sang Ayah. Dalam Surat Tersebut Sang Ayah bernama Tjia Tek Hie mengganti nama menjadi Hiedrus pada tahun 1985 berdasarkan surat keterangan penggantian dan mengisi surat keterangan penggantian nama menurut Pasal 6 huruf b UU. No. 4 Tahun 1961 yang berbunyi:
Mempunyai surat keterangan dari Kepala Daerah Swatantera Tingkat II (untuk daerah Jakarta Raya: Gubernur Kepala Daerah) dan Kepala Kepolisian dari tempat tinggalnya, tentang keberatan tidaknya pejabat-pejabat tersebut terhadap perubahan atau penambahan nama keluarga itu;
Lalu saya mendapatkan salinan lain dari penggantian nama orangtua mahasiswa saya yang lain, Yulianni. Sang ayah yang bernama Sian Lioe diganti menjadi Hartono.
Untuk surat keterangan dari Ayah Yulianni, Sian Lioe tertulis penetapan, dan jika dibaca isinya sesuai dengan Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966. Dalam dokumen penetapan juga tertulis:
Menimbang, bahwa untuk lebih dapat menyesuaikan diri serta mempercepat proses asimilasi antara warga Negara Indonesia turunan asing dengan warga Negara Indonesia asli, demikian juga sudah sepantasnya untuk dapat segera menghilangkan segala ingatan terhadap negara leluhur pemohon
Walaupun sejatinya Sian Lioe lahir dan besar di Indonesia dan mungkin saja belum pernah ke negara leluhurnya. Hal ini terjadi akibat dari klaim sepihak dari Pemerintah RRT yang menganggap bahwa warga Tiongkok di luar negeri dan keturunannya merupakan warga RRT. Atas pertimbangan ini pula yang akhirnya menjadi permasalahan karena Indonesia menganut Ius Soli, yaitu siapa saja yang lahir di Indonesia otomatis menjadi warga negara Indonesia. Sedangkan RRT menggunakan Ius Sanguinis, di mana kewarganegaraan berdasarkan darah keturunan. Maka tak heran kalau warga Tionghoa memiliki dwikewarganegaraan padahal Indonesia tidak mengenal dwikewarganegaraan. Oleh sebab itu mereka diminta untuk memilih.
Keputusan Presiden ini memang hanya anjuran saja tidak bersifat wajib. Sebagian banyak orang mengganti namanya dan sebagian lagi tetap menggunakan nama Tionghoa. Seperti Nama mantan Menteri Keuangan, Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, Yap Thiam Hien dan lainnya yang tidak mengganti namanya. Hal ini sah-sah saja karena hanya bersifat anjuran. Namun dampak dari anjuran ini bisa jadi yang menyebabkan sudah jarang orang Tionghoa yang tetap menggunakan nama Tionghoa, kecuali sekarang yang dipakai adalah nama Indonesia/Barat digabung dengan Marga Tionghoa, baik dalam bahasa Mandarin atau dialek Hokkian dan dialek lainnya. Beberapa orang yang saya jumpai juga ada yang hanya mengenal marganya saya tapi tidak memiliki nama, contoh teman saya ia hanya tahu marga ayahnya Tee (戴 Dai) dan tidak mempunyai nama Tionghoa, bahkan sudah tidak tahu marganya. Hal ini yang menyebabkan sudah tidak ada pemberian nama Tionghoa ke generasi berikutnya. Beberapa akan menggambil nama sendiri atau meminta nama dari orang yang mengerti bahasa Tionghoa dan digabung dengan nama marga aslinya, sehingga dikenal istilah, “Marga dapat dari orangtua, tapi nama dari orang lain”.
Dari cerita tentang nama-nama Tionghoa dan kenal beberapa teman Tionghoa didapat juga berbagai kisah tentang nama mereka. Salah satunya A Khang, lelaki paruh baya ini bercerita soal namanya. Menurut sohibulhikayat, dulu kisah keluarganya yang ingin kembali ke Tiongkok menunggu kapal kedua yang menjemput mereka kembali ke Tiongkok tak kunjung datang. Akhirnya menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Nama Aslinya adalah Wu Yong Kang 吴永康 atau dalam bahasa Hakka disebut Ng Yong Khong, namun dalam KTP tertulis Khong Mui. Ternyata di balik nama tersebut tersimpan kisah yang lumayan rumit sampai akhirnya ia harus menerima nama itu.
Karena orang tuanya belum memilki SKBRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia) dan tidak bisa mempunyai atau mengurus surat/dokumen pernikahan sehingga dalam membuat akta pub tidak bisa dicantumkan nama bapaknya sebab tidak ada bukti pendukung seperti surat nikah orangtuanya. Sehingga menjadi seakan-akan “anak Ibunya” dan terpaksa memakai nama marga Ibu. Hal ini bertentangan dengan tradisi Tionghoa yang meneruskan marga dari pihak ayah (parilineal). Karena orang tuanya tidak lancar berbahasa Indonesia, akhirnya meminta orang untuk mengurus pembuatan akta. Sialnya lagi, orang yang diminta membuat akta lahir lupa nama yang harusnya dituliskan dalam akta karena hanya ingat nama belakang Khong. Dan simsalabim jadilah nama Khong Mui yang tertera. Mau tidak mau ia harus memakai nama itu untuk segala pengurusan dokumen.
Ada satu kisah lagi, mahasiswa saya sebagian keturunan Tionghoa, mereka ada yang memiliki nama Cina dan ada yang tidak, ada yang bisa berbahasa daerah seperti Hokkian dan Hakka, namun hanya sebagian kecil saja. Jika berasal dari Tangerang asli atau Cina Benteng (文登 Wen Deng) dari yang orang yang banyak saya temui sudah tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa maupun membaca aksara Tionghoa itu sendiri. Suatu ketika salah satu mahasiswa membawa secarik kertas yang dituliskan namanya dalam bahasa Mandarin oleh sang kakek. Kertas itu menjadi sebuah “jimat” yang berharga karena dari situlah ia tahu dari keluarga mana ia berasal. Kemudian saya bantu membaca tulisan namanya yang menggunakan Huruf Tionghoa Klasik. Aksara Mandarin memiliki dua jenis aksara, yaitu Huruf Sederhana (简体字Simplified Chinese Character Jian Ti Zi) dan Aksara Tradisional / klasik (繁体字 Fan Ti Zi Traditional Chinese Character). Tanya ke beberapa orang belum ada yang bisa membacanya karena menggunakan aksara tradisional. Beruntung dengan bantuan aplikasi kamus online PLECO bisa dengan mudah membantu menemukan huruf-huruf yang sulit dan sudah jarang digunakan dan bahkan huruf yang sudah mati masih bisa ditemukan. Tertulis鄺秀蓮 Kuang Xiu Lian atau tertulis 邝秀莲 dalam huruf sederhana. Nama dan marga menjadi suatu kebanggaan dalam budaya Tionghoa yang hanya diturunkan dari Ayah. Walaupun juga ada yang diturunkan dari keluarga ibu dalam beberapa hal, seperti jika posisi kita sebagai suami bermarga Li, kemudian keluarga istri yang bermarga Chen, dalam keluarga Chen sama sekali tidak tidak punya anak lelaki. Maka sang istri yang masuk dalam keluarga Li jika disetujui akan mengambil salah satu anak lelakinya untuk menggunakan marga Chen dari keluarga istri untuk meneruskan keturunan dan bakti terhadap leluhur.
Jika kata William Shakespeare “apalah arti sebuah nama?”
Kalau menurut pendapat saya nama itu penting sebagai identitas dan jati diri seseorang. Tapi nama tidak mesti mencerminkan pandangan politik, sikap, cara hidup, dan apapun itu. Awal sebuah nama adalah doa pemberian dari orangtua kepada anak agar harapan yang ingin dicapai dan belum tercapai bisa diraih oleh anak dalam bentuk doa berupa NAMA. [dp/az]