Surat kabar ARGUS yang ditulis oleh seorang wartawan Australia, Bill Flemming pernah menulis editorial menarik usai menyaksikan penampilan timnas Indonesia menahan timnas Uni Soviet tanpa gol pada tanggal 29 November 1956. Pertandingan yang menurut Pandit Football disebut sebagai folklore masa kejayaan sepak bola kita.
Melbourne, 1 Desember 1956
TEN IRON MEN HELD THE GOAL
If there was an olympic medal awarded for courage, tenacity, and refusal to admit inferiority, the THE INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic park. They confounded the experts, amazed the spectators and worried the Russian team to a scoreless draw, even after extra time had been ordered.It was the most fantastic soccer match i have ever seen.
The matched started with the full Russian attack which was repulsed by a dteremined 10-man defence in front of the indonesian goalJika ditelusuri, memang benar pertandingan 29 November itu hasilnya sangat mengejutkan karena pertahanan timnas kita begitu kokoh menahan gempuran pemain-pemain Beruang Merah yang terkenal tim terkuat di masanya. Bahkan skor 0-0 itu bertahan meski sudah ada perpanjangan waktu 2×15 menit. Toni Pogacnik, sang arsitek asal Yugoslavia memang sengaja menerapkan pola permainan bertahan untuk menghadang pemain Soviet yang terkenal bernafas panjang, larinya cepat, dan punya visi permainan yang mematikan.
Diantara para punggawa timnas Olimpiade itu, ada empat pemain yang menurut saya cukup menyita perhatian. Yakni Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, Tan Liong Houw, ketiganya dari Persija. Dan ada Phwa Sian Liong dari Persebaya. Tentu saja selain mereka, ada nama-nama besar yang sering digaungkan oleh publik sepak bola kita seperti Rusli Ramang (PSM), Aang Witarsa (Persib), atau Maulwi Saelan (PSM).
Kiang Tek sendiri merupakan tandem Mohamed Rasjhid (PSMS Medan) dan Chairuddin Siregar (Persija) di barisan belakang yang membujur dari kiri ke kanan. Sejajar. Pola ini adalah tipikal lama lini belakang timnas sebelum datang era libero di tahun 80an. Di barisan depannya ada lagi lapisan pagar yang selalu siap menerima pukulan-pukulan serangan Uni Soviet. Pagar kokoh lini tengah ini diisi oleh Sian Liong, Him Tjiang, dan Liong Houw. Nah, diantara mereka, baik lini tengah dan belakang ada satu jangkar yang menghubungkannya. Dia punya tugas maha berat karena harus ditunjang fisik yang mumpuni agar bisa menjelajah ke segala tempat. Dia adalah Ramlan Yatim asal PSMS Medan.
Sukses menahan Soviet di pertandingan pertama ternyata berdampak pada kelelahan fisik yang menyebabkan pertandingan kedua menderita kekalahan telak 4 gol tanpa balas. Saat fisik terkuras, tentu saja emosi pun mudah terpancing. Mahargono, salah satu kolumnis di majalah “Star Weekly” edisi 8 Desember 1956 menceritakan sebuah kejadian lucu saat pertandingan kedua tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Salnikov, salah satu pemain Soviet, selalu menendang kaki Houw meskipun tidak ada bola. Liong Houw akhirnya membalas dengan meninju perut kiri Salnikov yang langsung jatuh tersungkur sambil memegang perutnya. Saat berdiri, ia malah mengejar Him Tjiang karena disangka Tjianglah pelaku yang memukulnya. Tentu saja Tjiang berlari-lari di tengah lapangan. Pemain pun mulai berkerumun sampai akhirnya wasit asal Selandia Baru menghentikan pertandingan sementara. Meski begitu, Liong Houw dan Salnikov akhirnya berjabat tangan.
Semua kisah tentang kehebatan timnas tersebut tertata rapi dalam buku “HEBRING” yang merupakan kumpulan cerita kejayaan PSSI masa silam, mulai dari pertandingan bersejarah Olimpiade, pertandingan dahsyat melawan Jerman Barat, panen gol di Srilanka, hingga jawara di Aga Khan dan Merdeka Games. Buku ini juga dilengkapi dengan beberapa foto dokumentasi.
@panditfootball buku langka nih, “Hebring” terbitan 1988. pic.twitter.com/aN1ts8fJ05
— Ali Zaenal (@jenkplanet) March 5, 2015
Tidak ada maksud untuk mengajak terpukau pada masa lalu. Bagaimanapun adalah halal untuk melupakan kemunduran prestasi kesebelasan kita sekarang dengan belajar sejarah timnas tempo dulu. Bagi saya, setidaknya mengetahui bahwa timnas kita pernah diisi nama-nama seperti Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, Tan Liong Houw, dan Phwa Sian Liong yang selayaknya bisa bersanding dengan nama-nama besar pemain lainnya seperti “Si Kancil” Abdul Kadir, Ronny Pattinasarany, hingga era Bambang Pamungkas hari ini. Toh mereka semua juga bagian dari Indonesia.
Selamat Tahun Baru Cina.