Tak Ada Lebaran

Dibaca normal 5 menit

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam (Saw.) menaiki mimbar untuk berkhutbah. Tertunduk wajahnya saat menaiki anak tangga satu persatu. Lama ia beranjak dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Sahabat yang duduk paling depan mendengar beliau mengucapkan “Amin” di setiap anak tangga yang dipijaknya. Tiga kali. Di anak tangga pertama, beliau mengucap, “Amin.” Di anak tangga kedua, “Amin” lagi yang diucapkannya. Di anak tangga ketiga, beliau menutupnya pula dengan “Amin.”

Lepas khutbah, sahabat di barisan depan itu bertanya, “Engkau mengucapkan ‘Amin’ tiga kali. Ada apa gerangan?” Rasulullah bercerita tentang Jibril yang datang kala itu. “Jibril berdoa,” katanya, “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu dosa-dosanya tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan shalawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”.

Di penghujung Ramadhan ini, kita laik terdiam sejenak membaca hadits ini untuk merenungi lagi tentang doa Jibril yang diaminkan Rasulullah Saw. Menangkah kita, sukseskah kita, atau justru celakakah kita?

Lebaran kini sudah melambai-lambai. Ia menyimpan harapan kemenangan dan kesuksesan yang entah sungguhan atau fatamorgana. Kita bersiap menyambutnya seperti kita telah mengerti bahwa garis finish selalu harus dirayakan, podium juara selalu mampu kita naiki, dan piala kemenangan selalu dapat kita genggam. Kita menyiapkan pernak-perniknya dengan gegap gempita seperti kita telah tahu misteri masa depan selalu berupa kegembiraan dan kebahagiaan.

Padahal, boleh jadi lebaran tak pernah ada. Hari raya itu tak pernah datang. Kegembiraan itu fatamorgana belaka.

Jauh dari perayaan fisik dan materinya, lebaran itu dijanjikan Allah, lewat lisan Muhammad Saw., sebagai kegembiraannya orang-orang yang berpuasa. Farhataani, dua kegembiraan bagi para penempuh puasa. Farhatun ‘inda fitrihi, kegembiraan ketika ia mencapai ujung pembukanya. Bukan karena telah selesai, bukan pula karena kewajiban yang sudah tunai. Kegembiraan itu datang karena ampunan yang Allah obral sepanjang Ramadhan telah habis kita beli, kita borong, dan kita bawa pulang ke rumah batin kita.

Jika kegembiraan kita adalah kesenangan berbuka, lepasnya kewajiban, dan hilangnya dahaga sepanjang siang belaka, lebaran itu benar-benar tidak ada. Ia sekadar fatamorgana. Indah dari kejauhan, dari tampilan dunianya, tetapi tak menjawab apapun dari kerisauan batin ketika berhadapan dengan Allah nanti. Karena kegembiraan kedua yang kita nantikan dari puasa itu, farhatun ‘inda liqaa-a rabihi, kegembiraan ketika bersua dengan Allah. Puasa yang dibawa serta di pundaknya untuk disodorkan kepada Allah: ini persembahanku untukMu, ini buah cintaku kepadaMu, ini yang Engkau sebut ibadah kemesraan antara diriku dan diriMu saja, dan ini yang tidak akan aku ambil sedikitpun darinya karena Engkau sudah mengklaim bahwa puasaku ini hanyalah untukMu –bukan untukku, bukan untuk keluargaku, bukan untuk kelompokku, bukan untuk pengikutku, bukan untuk follower-ku, bukan untuk stasiun televisiku.

Kecelakaan besar itu bukan tragedi di jalan raya sepanjang jalur mudik. Kecelakaan besar itu adalah ketidakmmapuan kita berintrospeksi di sepanjang jalan kembali menuju Allah. Jika Ramadhan demi Ramadhan adalah perhentian kita, stasiun-stasiun pengembaraan, puasa menjadi guyuran air yang membersihkan noda dan kotoran sepanjang jalan. Ramadhan itu lokus istirahat, tempat men-charge baterai iman, dan persinggahan untuk menyusun peta jalan hidup lagi. Celaka bila kita keluar beranjak darinya, jiwa dan batin kita masih kotor, baterai iman kita masih soak, dan peta jalan hidup kita masih semrawut.

Kita hanya mampu ikut mengamini doa-doa Jibril, seperti Muhammad Saw. mengamininya berbelas-belas abad yang lalu. Rugi dan celakalah kita bila Ramadhan yang semakin tipis ini kita tinggalkan tanpa ada dosa yang dikurangi, tanpa ada keburukan yang direduksi, tanpa ada sikap negatif yang dikikis, dan tanpa ada kezaliman yang dieliminir. Rugi dan celakalah kita bila Ramadhan yang akan pergi ini kita tinggalkan masih dengan lisan dan jari yang gemar mencela, hati yang masih kerap mendengki, pikiran yang penuh prasangka, perut yang disuapi makanan haram, dan jiwa yang masih berkawan karib dengan syahwat. Jika itu yang terjadi, kita tak punya hak untuk mencapai lebaran yang hakiki.

Semoga saja, lebaran kita bukan fatamorgana. Di depan sana, kita masih terus berupaya sadar bahwa dosa-dosa kita menumpuk, kesalahan-kesalahan kita menghampar; dan kita tak pernah boleh merasa lelah untuk menempuh jalan istighfar.

Rotterdam, 28 Ramadhan 1439

aafuady

Dosen dan Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tinggalkan Balasan