Ternyata tidak semuanya mengagumiku dan menunggu kedatanganku. Baru saja dua-tiga detik aku hinggap, aku sudah disambut salakan yang luar biasa berisik, bahkan bagi aku yang sudah kenyang pengalaman berpapasan dengan pesawat jet berukuran besar.
“DIAM!”. Bersamaan dengan perintah itu, lenyap pula suara berisik mamalia berkaki empat itu. Dia kini menggeram, rautnya tampak sangat kesal. Keempat kakinya melangkah kecil maju mundur. Mendengus-dengus kencang, sambil moncongnya bergerak naik-turun karenanya.
“Kau dan teman-temanmu selalu datang tiap tahun dan membuat kekacauan!”. Serunya tiba-tiba. “Mahluk tidak tahu aturan, seenaknya datang kesini, numpang kawin dan berak saja kerjamu”. Liurnya menetes. “Aku bisa dengan mudah melumat dua mahluk sepertimu dalam sekali terkam. Aku bisa menelan matamu, mengunyah paruhmu, dan mematahkan sayapmu dengan mudah”. Tiba-tiba ia berada dalam posisi siap menerjang, namun juga secara tiba-tiba kemudian, ia mengurungkannya. Sebagai informasi, sejak sepuluh menit lalu ia menatapku dengan tatapan sadis yang intens.
“Aku paham betul siapa kalian. Kalian sengaja datang dari barat untuk membuat kekacauan disini. Disini berbeda, wahai imigran gelap, gelandangan..”. Aku masih mencoba menyimaknya, mencoba mencari apa masalahnya denganku. “Terbang naik-turun tidak jelas, memungut-mungut secuil daging dari tanah. Dan kudengar kalian makan tikus dan bekicot, sungguh makanan yang cocok untuk kalian”. Sambil berkata begitu ia menyeret sebuah wadah dengan kaki kanan depan, dengan maksud mempamerkan apa yang ia anggap makanan berkelas. Keping-keping aneh dan dada unggas sisa. Baiklah.
“Dan kau, sekarang terlihat sangat percaya bahwa kau akan selamat, lihat saja jika tuanku datang, niscaya ia akan membiarkanku mengusir dan membantai kalian”. Ujarnya sambil menunjuk rumah di belakangnya. “Aku sudah makan dua Trinil dan tiga Gajahan. Dan sudah lama aku ingin makan yang besar dan sombong seperti Sikep Madu”.
Mendengar itu aku jengah juga. Dalam satu hentakan aku meluncur ke bawah, jauh lebih cepat dari mahluk darat mana pun. Kuarahkan cakarku ke matanya, dalam sekejap aku berhasil membutakannya. Kaki depannya gagal melindungi, namun baru kusadari bahwa kaki belakangnya sudah dalam kuda-kuda menerkam. Aku berusaha terbang mundur secepat mungkin, namun instingku mengatakan aku akan kena terkamannya. Baiklah, mungkin ini enam belas ribu kilometer terakhirku, mungkin aku tidak akan bisa kembali untuk melihat salju yang mulai mencair.
BRAK!. Suara itu, disusul suara logam berdenting secara domino, membuka mataku. Segera aku lihat pemandangan yang mengerikan.
Seekor mahluk yang kuat, besar, dan marah, jatuh terbanting dengan keras, menghantam tanah dengan belakang kepala terlebih dahulu. Ia rupanya lupa. Ada rantai di lehernya.
Bukan seharusnya untukku
Salakan itu,
Terjangan itu,
Taring-taring itu,Tapi untuk rantai di lehermu.
-Jakarta, 11 Juni 2016-
@omindrapratama