Kecemasan saya mungkin beralasan, sebab usia sudah tidak muda lagi, sudah melewati angka 25. Sementara saingan adalah mereka yang baru saja lulus dari SMA. Ilmu mereka masih hangat, seumpama pisang goreng yang baru diangkat dari wajan, dan mereka jumlahnya ribuan. Di wajah mereka terpancar semangat yang berkobar untuk meraih masadepan gilang gemilang.
Tapi saya tak boleh surut, dengan langkah yang dikuat-kuatkan serta mengucapkan “Basmillah”, saya dekati gedung tempat ujian itu. Pensil 2B bermerek Faber Castel, alas triplek untuk menulis yang dilengkapi penjepit kertas, dan kartu ujian sudah disiapkan. Baju serta celana sudah rapi dan licin karena disetrika, sepatu hitam sudah disemir sejak dari subuh. Ketika menginjak gerbang di pintu masuk gedung, dada terasa sesak, saya bergetar; bauran antara kecemasan akan kompetisi dan rasa haru yang mencucuk, haru bahwa saya masih bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, dan masih berpeluang menginjakkan kaki di kampus yang dari dulu selalu gagal saya taklukkan.
***
“Bung, tolong bawa saya ke Fakultas Sastra”
“Sekarang namanya bukan Fakultas Sastra bung, tapi FIB alias Fakultas Ilmu Budaya,” lalu bis kuning membawa saya dan seorang kawan keliling kampus dan berhenti di FIB. Inilah dia kampus yang mengkhianati nasib, semacam kasih tak sampai, sudah dua kali ikut UMPTN, dua kali pula gagal menembus kampus ini. Sekeras apa pun saya belajar, ujung-ujungnya pasti terduduk layu di depan koran pagi, arus darah melemah; ditertawakan mereka yang nomor ujiannya tercetak di koran pengumuman. Saya sudah lupa bagaimana ceritanya, sehingga nasib akhirnya membawa ke sebuah desa di pinggiran kota Bandung; saya terdampar di Politeknik Gajah Duduk.
Pagi ini, sembilan tahun setelah nasib menolak untuk belajar di kampus ini, akhirnya saya berhasil menjejakkan kaki di sini, saya hirup udara sebanyak-banyaknya, luar biasa, begini rupanya udara yang mengambang dan bergerak di sekitar orang-orang yang sedang belajar sastra, sangat anggun dan menyegarkan. Dada gembung sekaligus perih, cita-cita yang dibelokkan nasib memang sakit tak terkira. Beberapa orang mahasiswa terlihat sedang berselancar di internet, di tengah taman yang menyejukkan mata.
“Bagaimana bung, apakah wajah mereka memancarkan aura penulis roman jempolan?”
“Tidak terlalu bung, malah sepertinya masih lebih bagus tulisan kau daripada tulisan mereka,” saya kemudian duduk pada sebuah kursi di taman, di sisi gedung Departemen Sastra. Tadinya berniat mau mengeluarkan laptop, tapi tidak jadi, sebab tidak punya.
“Bung, apakah syarat mengikuti SPMB dibatasi usia?,”
“Saya kira tidak, bung.” Kemudian diam, tanpa dialog.
Saya berdiri dan berjalan menelusuri setiap sudut Departemen Sastra. Semakin lama perasaan semakin ngilu, begini rupa nasib telah memperlakukan dengan sangat buruk. Saya duduk terpekur di salah satu sudut bangunan dan merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba banyak wajah dan suara mengepung penglihatan dan pendengaran. Wajah-wajah para penulis roman, penulis cerpen, penulis puisi, penulis kritik sastra, dan masih banyak lagi wajah-wajah lain yang mengepung. Mereka semuanya mengeluarkan suara yang seragam, mirip gumam, “Kenapa kamu tidak kuliah di sini..?!” Suara itu semakin lama semakin keras, mereka meneror dengan pertanyaan yang menyebalkan. Saya ingin menjawab pertanyaan mereka dengan teriak yang sangat keras, “Kampus ini tidak mau menerima..!!!” Tapi itu urung dilakukan, takut ditangkap satpam dan diusir dari kampus.
Saya akhirnya berlari, kembali ke taman dan mendapati kawan yang masih duduk di sana. Tak ada dialog, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian kaget, sebuah bayangan berkelebat, sosok seorang perempuan berkerudung. Bayangan itu semakin lama semakin nyata, dan ternyata perempuan berkerudung itu adalah Helvy Tiana Rosa. Dia tengah berjalan menuju Departemen Sastra, tangannya memegang buku Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah. Saya berdiri dan mencoba mengejarnya, tapi dia tiba-tiba menghilang.
Saya kembali duduk. Angin berhembus pelan, aroma pohon membuat ngantuk. Dalam kondisi mata yang semakin berat, tiba-tiba saya dikagetkan kembali dengan bayangan yang berkelebat, kali ini sosok seorang laki-laki berambut panjang. Dia juga berjalan menuju ke arah Departemen Sastra. Saya langsung bangun berdiri dan berlari mengejarnya, saya semakin dekat dengan laki-laki itu, ya saya mengenalnya, dia adalah Seno Gumira Ajidarma, dia memegang buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Tapi dia pun kemudian menghilang.
Kawan yang sedang duduk diam saja, dia tak mengomentari apa yang saya lakukan. Tapi dia kemudian berbicara, “Bung, kalau kau kuliah lagi, usiamu bagaimana? Ingat bung, ada agenda hidup lain yang harus kau jalani. Bukankah manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan? Apakah kau lupa pada Ar Rumm ayat 21? pada Al Baqoroh ayat 187? Lagipula, sampai kapan semangatmu akan bertahan”
“Melawan terlambat bung, sebab setiap hari adalah baru. Tak ada yang boleh menghalangi mimpi. Dan kau bertanya padaku tentang semangat, ketahuilah, semangatku untuk belajar sastra seperti api abadi di Mrapen.” Dia diam.
Rasa kantuk sudah hilang, tapi hati masih perih, bahkan para penulis yang tadi sempat saya lihatpun ternyata hanya halusinasi, mereka hanya hadir dalam angan-angan; tidak nyata. Mereka seperti ikut berkonspirasi memojokkan. Keadaan ini mebuat emosi naik dan meledak, detik itu juga saya bersumpah dalam hati; suatu hari nanti, kampus ini akan saya taklukkan!
***
Semenjak itu waktu seperti berjalan lambat, dia seumpama kereta tua yang kepayahan membawa puluhan gerbong. Saya tidak sabar menunggu pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri dibuka. Sementara itu, setiap hari, sepulang kerja dan setiap hari libur, saya selalu belajar keras dan habis-habisan. Saya kerahkan segala kemampuan, juga mematuhi nasihat Ahmad Fuadi; melebihkan usaha di atas rata-rata.
Saya tidak mau gagal untuk yang ke tiga kalinya. Dia, kampus berjaket kuning itu harus tahu, inilah saya; saya dibesarkan di tengah keluarga guru yang gandrung pendididkan. Tumbuh dalam banyak peristiwa ketika bapak menggadaikan satu persatu harta bendanya sampai habis demi untuk membela pendidikan. Kalau dia, kampus berjaket kuning itu menganggap saya akan menyerah hanya karena sudah dua kali gagal menaklukkannya, maka dia salah besar.
Waktu pendaftaran datang, saya hanya memilih satu jurusan : Sastra Indonesia UI. Dengan penuh semangat membubuhkan kode jurusan pada formulir pendaftaran : 01201191.
“Kok satu mas, kan jatahnya dua. Pilih satu lagi mas buat cadangan,” demikian petugas pendaftaran itu menasehati.
“Tidak usah mbak, cukup satu saja.”
“Sayang loh mas, aku bukannya ngedo’ain, tapi siapa tahu di kampus ini mas tidak lolos, kan masih ada peluang di tempat yang lain,“ dia masih terus menasehati. Tapi saya tak bergeming, dan hanya memilih satu jurusan saja. Mbak petugas penerima pendaftaran akhirnya menyerah.
***
Dan hari yang ditunggu akhirnya datang. Semalam saya tak bisa tidur, gelisah, menunggu jejentik jam mengantarkan malam berubah menjadi pagi. Hari ini adalah pengumuman hasil ujian. Mata merah dan pedas. Pagi-pagi sekali, sebelum mandi, saya sudah di lapak tukang koran di pinggir jalan, bahkan tukang korannya pun belum datang. Udara terasa dingin, tapi saya yakin, rasa dingin ini bukan datang dari cuaca Jakarta walaupun waktu itu langitnya mendung, tapi dari dalam diri yang gelisah, cemas, dan khawatir. Saya menyalakan cigarette untuk mengusir semuanya.
Waktu tukang koran datang, saya semakin menggigil, hisapan cigarette semakin dalam. Setelah transaksi, saya langsung membuka koran itu di pinggir jalan. Saya susuri setiap nomor urut peserta ujian, angka terus bergerak, kartu ujian dipegang di tangan sebelah kiri. Dan tiba-tiba berhenti pada sebuah nomor. Saya cocokkan nomor itu dengan nomor yang ada di kartu ujian. Mata tajam, dada mulai gemuruh, pandangan perlahan menjadi kabur, saya rasakan ada yang menggenang hangat dipelupuk mata, saya menangis. “Allahu Akbar!!” dengan tangan dan bibir gemetar saya bertakbir, nomor ujian tertera di koran itu. Saya lulus..!!!.
Saya kemudian berlari ke tengah jalan yang masih lengang, sementara langit yang dari tadi mendung mulai menghamburkan serbuk hujan. Saya meniru gaya Ikal dalam novel Padang Bulan, juga meniru kata-katanya.
Aku menengadah dan kepada langit ku katakan : “Inilah aku! Putra bapakku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukkan!. Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin, karena aku belum menyerah!! Tak kan pernah menyerah!! Takkan pernah!!”
Tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama, karena kemudian saya tersadar bahwa nomor jurusan yang saya tulis salah, nomor 01201191 ternyata bukan nomor jurusan Sastra UI. Saya keliru, nomor belakangnya ternyata terbalik. Seharusnya saya menulis nomor 01201119. Nasib kembali berkhianat, kali ini dia hanya menukar posisi dua angka saja untuk membelokkan cita-cita.
Saya terduduk lemas, menerawang. Mata kembali terasa hangat. Tapi kali ini menangis bukan karena haru, tapi kesedihan yang tak tertanggungkan. Setelah badai di pedalaman sedikit reda, saya kemudian pulang dan segera mengambil buku panduan yang memuat nama-nama jurusan di seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia beserta nomor kodenya. Jelas tertulis di sana, bahwa kode jurusan Sastra Indonesia UI adalah 01201119. Lalu nomor 01201191 jurusan apa?, universitas apa??.
Tak pernah disangka sebelumnya, ternyata kode 01201191 adalah kode untuk jurusan Quantum ITB. Kepala langsung pening. Sangkaan mula-mula, jurusan ini pasti berhubungan erat dengan ilmu hitung, terutama fisika. Membayangkannya saja sudah membuat menjadi mual. Belum sempat berlari ke toilet, saya sudah muntah. Kepala berat sekali, seperti habis dihantam palu godam. Kesadaran mulai melemah, berjuta kunang-kunang terbang rendah di depan mata, pandangan menjadi gelap, saya rebah dan kepala menghantam dinding tembok kamar. [ ]