Posesif (2017): Getir Asmara Masa Remaja

Dibaca normal 12 menit

Pernah dapat puluhan miscall dari pasangan karena nggak bales WhatsApp? Pacar sering ngecek tiap chat, media sosial, e-mail sampai galeri ponsel tanpa ijin? Dilarang untuk berteman si A sama si B dengan alasan yang nggak jelas? Kalau jawabannya iya, berarti pacar kamu posesif tuh.  

Jika kebanyakan film remaja mengisahkan haru biru bahagia masa sekolah, Posesif (2017) menawarkan sebuah cerita yang jauh berbeda. Hubungan asmara remaja yang kompleks hadir mengisi deretan koleksi film romansa remaja Indonesia.

Siapa yang menyangka jalinan kasih remaja yang penuh bunga-bunga menyimpan duri yang mengoyak-ngoyak perasaan bahkan kejiwaan. Berangkat dari fenomena yang terjadi di masyarakat, Palari Films memproduksi sebuah sinema yang bertutur tentang kekerasan dalam hubungan berpacaran remaja.

Posesif berkisah tentang hubungan Yudhis (Adipati Dolken) seorang murid pindahan baru yang rupawan dengan Lala (Putri Marino) yang merupakan atlet loncat indah berprestasi. Perkenalan mereka berawal dari Yudhis yang ingin mengambil sepatunya yang terjaring razia dan Lala yang membantu aksi pengambilan sepatu Yudhis di kantor guru. Keduanya tertangkap basah dan mendapat hukuman. Kedekatan keduanya pun dimulai dari sana.

Film yang disutradarai Edwin ini indah sekaligus menggetarkan. Gambar-gambar yang disajikan menawan mata. Persona tiap pemain begitu kuat dengan alur cerita yang terbilang tidak biasa untuk film remaja. Tata suara dan musik mampu mengemas tiap adegan menjadi lebih memikat. Tak heran jika film yang rilis 26 Oktober lalu ini diganjar sepuluh nominasi Festival Film Indonesia 2017 untuk kategori Film Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik (Putri Marino), Pemeran Utama Pria Terbaik (Adipati Dolken), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Cut Mini), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Yayu Unru), Sutradara Terbaik (Edwin), Penulis Skenario Terbaik (Gina S. Noer), Pengarah Sinematografi Terbaik (Batara Goempar), Penyunting Gambar Terbaik (W. Ichwandiardono), dan Penata Rias Terbaik (Cika Rianda).

Akhir pekan lalu, film ini berhasil meraih tiga Piala Citra untuk Putri Marino sebagai Pemeran Wanita Terbaik, Yayu Unru untuk Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Edwin untuk Sutradara Terbaik. Kemenangan ini kemudian menasbihkan bahwa film ini merupakan film remaja yang istimewa. Memperkenalkan sebuah isu yang terjadi di masyarakat dan masih jarang diangkat ke permukaan, yaitu kekerasan dalam berpacaran.

Berawal dari sebuah keinginan untuk memproduksi film remaja, Palari Films melakukan riset terhadap remaja ibukota untuk menemukan fenomena-fenomena yang layak untuk dijadikan film layar lebar. Riset panjang sejak 2015 hingga akhir 2016 membuahkan sebuah cerita yang kemudian diproduksi awal tahun 2017.

Lala (Putri Marino) atlet loncat indah di film Posesif (2017)

Roman Yudhis dan Lala menunjukkan manisnya jatuh cinta dan kelamnya akibat dari keinginan memiliki yang berlebihan. Sifat posesif Yudhis membuat Lala harus mengorbankan karir sebagai atlet dan hubungan dengan orang tua sekaligus pelatih loncat indah, yaitu ayahnya sendiri. Kecemburuan membutakan mata nurani Yudhis hingga harus melukai Rino, sahabat Lala. Tak jarang Yudhis digambarkan melakukan kekerasan verbal dan fisik jika ada hal-hal yang tak sesuai dengan keinginannya. Saat Lala kecewa akan perbuatan-perbuatan kekasihnya tersebut, Yudhis akan meminta maaf amat sungguh-sungguh supaya hati Lala luluh. Hubungan mereka pun kemudian membaik namun di lain kesempatan Yudhis kembali berulah. Inilah yang masih jarang disadari banyak orang, siklus kekerasan atau the cycle of violence.

Teori siklus kekerasan ini dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1979 oleh Lenore E. Walker. Berdasarkan jurnal Micah Projects Inc yang diterbitkan Brisbane Domestic Violence Service, teori ini menjelaskan alasan dan bagaimana perilaku seseorang yang melakukan kekerasan domestik dan keluarga yang dapat berubah secara dramatis dari waktu ke waktu. Teori ini juga memberikan pemahaman mengapa seseorang yang mengalami kekerasan domestik terus menerus mendapatkan kekerasan.

Terdapat beberapa tahap dalam siklus kekerasan. Setiap tahap tidak selalu dialami oleh semua orang, sebagian mungkin hanya mengalami beberapa tahap saja atau mungkin tidak berhubungan sama sekali tiap tahapannya.

The (Tension) Build Up Phase. Fase munculnya ketegangan yang ditandai dengan meningkatnya kekerasan verbal, emosional hingga finansial.

The Stand Over Phase. Fase bertahan merupakan situasi yang menakutkan bagi korban. Perilaku kekerasan  pasangan akan meningkat sampai pada titik yang tidak terelakkan. Di tahap ini, korban akan sangat ketakutan dan sangat berhati-hati karena apapun yang mereka lakukan akan memperburuk situasi.

Explosion. Ledakan ditandai dengan puncak kekerasan dalam hubungan saat pelaku menggunakan kekerasan untuk mengontrol dan berkuasa terhadap pasangannya. Pelaku yang melakukan kekerasan domestik dan keluarga melepaskan ketegangannya selama fase ini yang bersifat adiktif. Mereka kemungkinan tidak dapat menangani kemarahannya dengan cara yang lain.

The Remorse Phase. Tahap penyesalan ini saat pelaku kekerasan merasa malu akan perbuatannya. Pelaku akan mengambil langkah mundur dan menarik diri dari hubungan. Mereka akan mencoba mencari pembenaran perbuatan kekerasan mereka kepada diri sendiri dan orang lain, tanpa disadari mereka sebenarnya kecanduan terhadap pelepasan ketegangan yang baru saja dialami.

The Pursuit Phase. Dalam fase ini, pelaku akan berjanji untuk tidak melakukan kekerasan lagi dan berdalih bahwa tindakan tersebut diakibatkan oleh banyak hal seperti stres kerja, obat-obatan, dan alkohol. Pelaku akan memberikan hadiah dan perhatian untuk menebus kesalahan mereka. Pelaku mungkin mengalami perubahan kepribadian yang dramatis. Korban yang mengalami kekerasan merasa sakit hati tetapi merasa lega karena kekerasan sudah berakhir.

The Honeymoon Phase. Selama fase bulan madu, baik pelaku maupun korban mungkin menolak tentang betapa buruk pelecehan dan kekerasan yang terjadi. Keduanya tidak ingin hubungan mereka berakhir sehingga mereka bahagia untuk menghindari kemungkinan bahwa kekerasan dapat terjadi lagi.

Setelah beberapa waktu kemudian, fase ini akan memudar dan siklus akan berlanjut kembali.

Yudhis (Adipati Dolken) dalam cuplikan film Posesif (2017)

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2017 yang dirilis oleh Komnas Perempuan, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun lembaga negara dan lembaga mitra layanan. Menurut Pengadilan Agama, 245.548 kasus kekerasan terhadap istri berujung pada perceraian. Angka ini menempatkan kekerasan dalam ranah personal menjadi jumlah kasus tertinggi. Berdasarkan data dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan ranah personal mencapai 10.205 kasus. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/ranah personal (KDRT/RP), kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 5.784 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 1.799 kasus dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Jenis kekerasan yang dilakukan terdiri dari kekerasan fisik 42% (4.281 kasus),  kekerasan seksual berupa perkosaan dan pencabulan 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus), dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Mengejutkan ketika data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi dalam ranah KDRT/RP adalah pacar sebanyak 2.017 orang.

Angka-angka ini hanyalah kasus-kasus yang terlaporkan ke lembaga negara dan lembaga mitra layanan. Sementara, di luar sana masih terdapat banyak korban yang belum melapor karena ketidaktahuan, rasa malu, sampai pertimbangan atas nasib rumah tangga dan/atau anak-anak.

Dalam Posesif ditampilkan beragam perilaku kekerasan yang dapat menjadi contoh bagi penonton untuk mulai merefleksikan kembali apakah pasangan mereka telah melakukan kekerasan. Adapun contoh kekerasan yang dihimpun situs Magdalane.co (2015) adalah sebagai berikut:

  1. Menggunakan kekerasan fisik untuk menyakiti atau mengintimidasi.
  2. Mempunyai emosi yang meledak-ledak.
  3. Bersifat posesif atau cemburu yang berlebihan.
  4. Selalu meremehkan atau mengejek.
  5. Menguntit secara fisik atau digital.
  6. Mengecek ponsel, surat elektronik atau media sosial tanpa ijin.
  7. Menjauhkan dari keluarga atau teman-teman.
  8. Menuduh yang tidak-tidak.
  9. Memaksa berhubungan seks.
  10. Menolak penggunaan kontrasepsi (kondom) saat berhubungan seks.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin (2015) yang dikutip dari Magdalane.co, kekerasan dalam pacaran terjadi karena cinta masih dianggap sebagai kepemilikkan dalam budaya Indonesia. Selain itu, banyak orang Indonesia yang tidak sadar akan hak-hak hukum dan pribadi mereka. Psikolog sukarela Yayasan Pulih Angesty Putri (2015) menambahkan bahwa tujuan dari kekerasan dalam pacaran adalah menanamkan kontrol. Seringkali para korban tidak dapat membedakan antara perilaku romantis dan posesif.

Coba refleksikan kembali apakah hubungan berpacaran saat ini pasangan termasuk ke dalam kategori posesif? Apa pasangan melakukan kekerasan? Apa merasa terintimidasi tiap berkomunikasi atau bertemu dengan pasangan? Jika menjadi korban kekerasan dalam berpacaran, coba konsultasikan hal tersebut ke beberapa kontak di bawah ini:

Yayasan PULIH. 021 7884-2580(telp.) / 0812-8384-1128(SMS/WhatsApp). info@pulih.org

Lembaga Bantuan Hukum APIK. 021 8779-7298. apiknet@centrin.net.id

Unit Pelayanan Perempuan dan Anak-Anak (UPPA) Polres Jakarta Selatan. 021 7206-004.

Mitra Perempuan WCC. 021 8298-089. mitra@perempuan.or.id.

Puan Amal Hayati. 021 7867-031. yayasanpuanamal@yahoo.com.

Sahabat Perempuan dan Anak Indonesia. 021 5853-849. sapa.indo@gmail.com

Shelter Rumah Kita. 021 7532-710.

Bagaimana jika kita mengetahui ada teman yang mengalami kekerasan dalam berpacaran? Yayasan PULIH (2017) menganjurkan kita untuk mengatakan kepada teman yang mengalami KDP bahwa kita khawatir akan keadaannya dan menawarkan apa yang bisa kita bantu; menjadi pendengar yang baik bukan pengomentar/penceramah dan menawarkannya untuk bercerita; bersikap sabar, memahami, dan mendukung korban; terima cerita dan rasa takut yang dialami; ajak mencari bantuan ke pihak lain seperti psikolog, dokter, polisi, lembaga swadaya masyarakat (jika masih sekolah dapat meminta bantuan ke guru BP); bantu korban untuk membuat rencana penyelamatan dirinya; dan hindari konfrontasi langsung dengan pasangan korban karena hal itu membahayakan korban.

Film Posesif dapat menjadi media yang baik untuk memberitahukan kepada pasangan, teman atau keluarga mengenai kekerasan dalam berpacaran dan dampak yang ditimbulkan. Ajak mereka yang mengalami maupun yang melakukan kekerasan dalam berpacaran untuk menyaksikan film ini. Jadikan Posesif sebagai bahan diskusi dan refleksi bagi siapapun yang terlibat kekerasan baik dalam berpacaran maupun berumah tangga.

“Falling in love is not the same thing as staying in love.” – Mandy Len Catron (2016) on TEDxChapmanU.  

 

Sumber:

Asmarani, Devi. 14 Mei 2015. Kekerasan dalam Pacaran Fenomena Sunyi di Indonesia. Magdalene.co

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 7 Maret 2017. Siaran Pers Komnas Perempuan Catatan Tahunan (CATAHU) 2017; Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat. Jakarta: Komnasperempuan.go.id 

Micah Projects Inc, Brisbane Domestic Violence Service.

Yayasan PULIH. Edaran: Menjadi Teman yang Menguatkan dan Membantu – Stop Kekerasan dalam Pacaran (KDP). Jakarta: Yayasan PULIH.

Tinggalkan Balasan