Waktu adik saya masih kecil, dia gemar mendengarkan Tasya menyanyikan lagu anak-anak ciptaan Abdullah Totong Mahmud. Album Libur Telah Tiba diputar berulang-ulang hampir tiap hari, dia selalu ikut bernyanyi dan hapal semua lagu di album tersebut. Masa kecil yang ceria. Lalu waktu seperti datang tergesa, kini adik saya telah masuk kuliah, Tasya sudah besar, A.T. Mahmud telah berpulang, dan lagu anak-anak pun ikut menghilang. Generasi berganti, dan yang baru telah datang.
Kini yang populer adalah lagu-lagu dari boyband bocah yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Mereka menari-nari genit sambil menyebut bidadari yang katanya jatuh dari surga. Entah surga yang mana. Anak-anak sudah fasih berucap cinta-cintaan kepada lawan jenis, dengan yakin dan tak ada sedikit pun ragu atau malu. Sesuatu yang dulu begitu tabu dalam laku anak-anak.
Andai kamu jadi gula, aku pasti semutnya, kan ku seberangi lautan samudera, hei hei kali ini aku jadi galau gini, cepat terima aku, cinta pertamaku.
Aih, orangtua mana yang tak geli mendengar lirik seperti ini dinyanyikan oleh anak-anak?. Sekali waktu pernah juga saya mendengar lagu ini dari keponakan yang masih duduk di kelas dua SD. Begitu menghayati dia menyanyikannya.
Masuk gang kumuh, lewat di komplek perumahan, atau tak sengaja bertemu di jalan dengan anak-anak, lagu-lagu orang dewasa saja yang terdengar diperbincangkan oleh mereka. “Noah keren tau!.” Atau “Aku udah punya CD Kotak mah.” Bagi mereka, barangkali A.T. Mahmud dan ibu Sud adalah semacam alien yang telah punah.
Tapi seperti bidadari yang jatuh dari surga dalam lirik lagu boyband bocah, kini hadir odong-odong yang ibarat diutus dari surga untuk mengkampanyekan kembali lagu anak-anak. Serupa bidadari, dia pun anomali. Di tengah jaman yang melimpah oleh permainan anak-anak yang serba digital, odong-odong muncul dengan bersahaja. Di gang-gang kecil, kendaraan kayuh yang dilengkapi kursi-kursi kecil itu memutar lagu-lagu ceria khas anak-anak.
Dalam kesederhanaan odong-odong, bidadari tidak jatuh dari surga, namun lebih dekat dan nyata, dia adalah Amelia. Lagu yang diciptakan A.T. Mahmud itu terinspirasi dari anak kecil yang riang, sering bertanya, tidak bisa diam, dan ingin tahu banyak hal. Gadis kecil itu adalah anaknya Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup di masa Orba yang tak lain adalah sahabat si pencipta lagu tersebut. Sambil duduk di kursi kecil yang turun-naik akibat kayuhan, anak-anak senang mendengarkan ini :
O Amelia gadis cilik lincah nian / tak pernah sedih riang selalu sepanjang hari / O Amelia gadis cilik ramah nian / di mana-mana Amelia temannya banyak.
Sekali waktu, Roike, anaknya A.T. Mahmud sedang bermain di beranda rumah. Saat ia melihat ke langit dan melihat bulan, ia segera berlari dan menggandeng lengan ayahnya dan diajak ke luar. Tiba-tiba anak itu berkata, “Pak, ambilkan bulan.” Dari situ lahirlah lagu Ambilkan Bulan Bu. Lagu ini tersedia juga di tukang odong-odong. Untuk apa minta diambilkan bulan?, kata si penggubah, dalam bahasa anak-anak; untuk menemani tidur yang lelap di malam gelap.
Bocah matang karena dikarbit, alias dewasa belum waktunya, mungkin geli dengan lagu ini. Mereka merasa telah menginjak masadepan usia, dan saat-saat lugu dan polos telah tercecer di belakang. Bagi mereka, lirik-lirik murni dunia anak-anak barangkali lebih terdengar sebagai rima-rima jaman jahiliyah, di mana kecenderungan menyukai lawan jenis belum menemukan sumbunya. Kondisi ini menyeret banyak orang saling melempar tanggung jawab tentang cara mendidik. Tak ada yang salah dengan roman jatuh hati kaum Adam dan Hawa, namun semuanya selalu membutuhkan saat yang tepat. Anak-anak terus bertumbuh, mekar, berproses menuju dewasa. Peristiwa alami itu akan terguncang jika terlampau dijejali lirik-lirik picisan yang menyerang langit ceria masa kanaknya.
Di tengah situasi orangtua yang gamang antara membiarkan atau mengarahkan, di gang-gang sempit, odong-odong muncul dalam tampilan kendaraan kayuh yang semenjana, mediocre, dan jadul, namun sekaligus mendidik dan menghibur. Di lereng ingatan bocah-bocah yang gembira dan sambil disuapi ibunya, lagu-lagu anak yang liriknya sesuai dengan usia mereka, masuk ke pendengaran dan tak hendak keluar lagi, persis seperti kumbang yang terperangkap di dalam toples.
Anak-anak tak butuh kata-kata romantic yang bersayap, mereka hanya ingin orang tahu bahwa topinya bundar. “Topi saya bundar, bundar topi saya, kalau tidak bundar bukan topi saya.” Sesederhana itu. Atau tentang cicak yang memakan nyamuk, dalam semesta anak-anak, itu adalah peristiwa yang menarik dan perlu dirayakan dengan gembira, “datang seekor nyamuk, hap hap lalu ditangkap.”
Dalam keringat tukang odong-odong yang tengah mengayuh, mengalir rasa terimakasih para pencipta lagu yang karyanya kembali diperdengarkan, setelah sekian lama terasing dari dunia hiburan yang serba karbitan. Lirik-lirik murni kembali mengalun, dan menyapa telinga anak-anak. Sementara di jejak usaha pencarian rejeki, bagi tukang odong-odong; bocah-bocah dan ibunya yang menemani, laksana bidadari-bidadari pembawa rejeki. Dia tidak jatuh dari surga, namun dekat saja, itulah para penghuni gang sempit dan tetangganya. [ ]
hiburan anak2 Indonesia skrg sudah digempur dgn materi2 penuaan dini, tepat sekali seperti yang anda tuliskan.
celakanya, kurikulum pendidikan kita kok juga mendukung penuaan dini semacam ini. Dari kecil sudah dibebani tugas-tugas sekolah yang berat. Bukannya bermain, waktunya malah habis buat ikut les matematika dan bahasa inggris.