Alam bersuara, manusia berkelana. bumi ditapak, manusia berdecak.
Merayakan hari kemerdekaan di seberang ujung barat pulau jawa, bukanlah peristiwa isap jempol semata. Ketika lirik lagu “Indonesia raya, merdeka, merdeka” dikumandangkan dengan penuh rasa bangga, aksi hormat dan helaan nafas panjang meliputi diri saya.
Banyak orang asing yang ikut serta upacara. Mereka masuk dalam barisan dan menyaksikan sang merah putih bergerak naik menjulang. Dengan kostum warna senada seadanya, petugas upacara yang mendadak ditunjuk untuk menunaikan tugasnya, susunan acara yang penuh dengan ralat dari para peserta, tetap tak mengurangi esensi upacara.
Merdeka kah kita?
Jika saja yang dinamakan merdeka berarti memiliki kuasa penuh akan dirinya, maka saya jadi bertanya, apa benar sudah merdeka? Jika masih menghamba kepada dunia fana, bukan hanya kepada Yang Maha Kuasa, pantaskah disebut merdeka?
Entahlah, saya tak tahu harus jawab apa. Yang jelas, sudah 64 tahun kemerdekaan negara diakui oleh dunia. Hormat penuh dari saya kepada para pejuang yang rela mengorbankan jiwa dan raga. Hai para pemimpin bangsa, mereka berani membayar dengan nyawa, mau sampai kapan sibuk menimbun harta?