/

Penikmat Sastra vs Penganalis Sastra

Dibaca normal 2 menit

Sastra itu untuk dinikmati atau untuk dianalisa?

Pertanyaan itu menyulut ingatan saya kepada perdebatan di kalangan pencinta sastra tentang apakah kritik sastra adalah suatu kritik yang mengapreseasi atau kritik yang menganalisa?

Ada dua kubu dalam perdebatan ini. Kubu pertama melihat sastra sebagai suatu objek analisa. Sementara kubu kedua menganggap bahwa sastra adalah suatu gejala yang muncul dalam pengalaman sehingga harusnya diapreseasi sebagai momen pisikologis, momen perjumpaan seseorang dengan presepsinya. Yang pertama nenekankan analisa yang kedua menekankan perasaan.

Pertanyaan selanjutnya —melihat perbedaan yang mendasar dalam pendekatan itu, apakah benar-benar ada ‘pertentangan’ antara keduanya?

Saya memilih untuk menjawab tidak. Karena meskipun sastra —cerita, puisi dan drama— hadir untuk dinikmati dan diapreseasi, namun bagi orang-orang yang sungguh mencintainya, pengenalan lebih lanjut merupakan suatu kebutuhan atau bahkan keharusan. Saya kutipkan sajak Sapardi…

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sajak tersebut tentu indah. Sangat indah. Namun bagi orang yang berulang kali membaca sajak tersebut, akan bertanya; Apa gerangan yang membut sajak tersebut sedemikian indahnya? Apakah karena pesan yang disampaikan? Kehalusan cara menyampaikannya? Permainan bunyi bahasa? Atau asosiasi-asosiasi yang dirangsang oleh semantik kata-katanya?

Maka mulailah dicari jalan untuk memahaminya secara lebih mendalam. Menyingkap bagian demi bagian, menguraikan, dan bahkan mempertanggungjawabkan uraian tersebut. Saya berkesimpulan bahwa dalam kritik kesusastraan, penikmatan dan analisa tidak harus bertentangan apalagi dipertentangkan.

Jadi, pemujaan kepada penikmatan yang membatalkan semua analisis, atau pemujaan kepada metodologi yang akhirnya membatalkan kesempatan menikmati sebuah karya sastra, adalah merupakan pertentangan yang mubazir.

**

Nailal Fahmi

Ngopi Jakarta

Membaca Jakarta, Memaknai Peradaban

Tinggalkan Balasan