/

Menafsir Eksistensi

Dibaca normal 3 menit

Secara menakjubkan, seorang pengacara, perawat, dan tukang roti dapat menghendaki satu dunia, tidak keduanya. Tiap waktu adalah benar, tetapi kebenaran itu tidak selalu sama. —Alan Lightman

Ada yang menyala selepas lebaran. Spion kiri kanan kembali difungsikan. Sayangnya digunakan bukan untuk mendukung keselamatan perjalanan, namun mengawasi keberhasilan rekan seperjalanan, yang muaranya menerbitkan rasa was-was.

Di titik ini lebaran membawa gejala sosial baru, tentang eksistensi yang terusik buah dari perilaku membanding-bandingkan. Mendekati hari raya, orang-orang yang merantau pulang ke puak sendiri dengan membawa bermacam keberhasilan materi, hasil dari kerja keras yang panjang. Di kampung, mata banyak yang mengawas, kemudian mengukur pencapain sendiri dengan keberhasilan yang membumbung di atas kepala oranglain. Perasaan kerdil lalu terbit, tak percaya diri, dan gamang melanjutkan apa yang selama ini dikerjakan.

Tak ada yang salah dengan keinginan meningkatkan taraf hidup, tapi keputusan tergesa kerap tak melahirkan apa-apa selain penyesalan yang bertumpuk di kemudian hari. Seorang guru ngaji melontarkan keinginannya untuk pensiun dari surau dan hendak pergi ke Jakarta untuk menjadi kuli bangunan. “Penghasilannya lebih jelas,” katanya. Ada pula kurir ekspedisi yang tiba-tiba bimbang, antara melanjutkan profesi semula atau hijrah ke kota menjadi sopir pribadi orang kaya.

Jika dua orang tersebut memiliki rencana cukup jelas, beda lagi dengan beberapa orang kawan yang lain. Mereka berkeinginan seperti orang-orang yang mudik; bekerja di rantau dan pulang dengan persepsi visual yang menggiurkan, namun karena jarang—untuk tidak mengatakan “tidak pernah”–pergi ke tempat jauh, mereka bingung sendiri, akhirnya hanya menyisikan sesobek angan-angan. Bagi mereka, rupanya eksistensi begitu mencemaskan.

Jakarta dan kota-kota besar lainnya seumpama kembang gula penuh kemilau yang tak jarang meruntuhkan langit eksistensi seseorang. Mimpi-mimpi bermekaran, terbang jauh, namun ketika kenyataan yang berjejak tak semanis harapan, mimpi-mimpi itu rerak berantakan. Tak adil jika saya membungkam orang-orang yang ingin mencoba. Cita-cita ibarat hulu ledak dari sumbu kehendak; tak seorang pun berhak menolak.

Segugus pendapat di kepala ingin rasanya saya katakan pada mereka, bahwa eksistensi sesungguhnya adalah istiqomah. Mengambil satu jalan istiqomah akan lebih baik daripada membayangkan diri ingin seperti oranglain. Bayangan keberhasilan membumbung tinggi di atas kepala oranglain hanya akan menyiksa diri, membuat kita tidak pernah menjadi diri sendiri.

Lebih baik berjejak pada satu jalan istiqomah, baik itu bekerja, belajar, berkarya, ataupun aksi-aksi lainnya. Bersungguh-sungguh menjalankan itu, dan hidup akan menjadi semakin ringan karena kita menjadi tahu bahwa jalan hidup manusia selalu disetting berbeda-beda. Tapi saya tak berani mengucapkannya pada mereka, takut disangka menggurui.

Ketika arus balik tiba, tebakan saya, di benak kawan-kawan yang saya sebutkan tadi, mulai tumbuh benih rencana; tentang hal-hal baru yang ingin dicapainya. Setapak jalan yang tengah dilalui akan ditinggalkan demi setapak yang lain. Keinginan datang dipergilirkan. [ ]

Tinggalkan Balasan