//

Kisah Dua Belas Marga: Depok Lama

Dibaca normal 21 menit

Setelah kurang lebih 30 menit mengamati Jembatan Panus, kami pun bergerak menuju objek selanjutnya, pemakaman (Kerkhof) Depok. Karena jarak yang cukup jauh, dari Panus kami mencarter angkutan kota, yang dengan semena-mena menurunkan penumpang yang lebih dulu naik untuk mengakomodir kepentingan kami, hehehe. Kapasitas mobil ternyata tidak cukup untuk menampung kami semua duduk. Ali, Deni, dan Daan bergelantungan di pintu angkot, sementara saya duduk dipangku oleh beberapa kawan yang malang.

That’s What Friends are For, Right?. Foto : Diella.
That’s What Friends are For, Right?. Foto : Diella.

Tak sampai lima menit, kami turun di Lapangan Sepakbola Depok. Lapangan yang juga adalah aset YLCC ini adalah lapangan utama warga Depok Lama untuk berolahraga, terutama memainkan sepakbola. Di barat lapangan ini ada gereja terbesar di Depok, Gereja Bethel. Kami berjalan ke arah utara menuju pemakaman. Di areal makam, para tomb rider nampak bersemangat. Hani, yang kebetulan ikut karena sedang ada di Depok, nampak cekatan memotret nisan-nisan, mungkin sebagai oleh-oleh untuk Vecco dari Komunitas Aleut. Mas Bimo dan Mbak Diella berjalan dari satu makam ke makam lain, dan menemukan beberapa catacomb tua, seperti milik keluarga Capellen dan keluarga Pendeta De Graaf (yang pernah memimpin Gereja Immanuel). Makam-makam lama keluarga Depok Lama pun kami temukan.

Catacomb Keluarga Van Der Capellen
Catacomb Keluarga Van Der Capellen
Catacomb Keluarga Pendeta De Graaf
Catacomb Keluarga Pendeta De Graaf

Sambil menunggu yang masih asik berburu nisan tua, beberapa kawan lain yang sudah kelaparan menjajah beberapa pedagang makanan yang ada di sekitar makam. Dari mulai Es Doger hingga Mie Ayam, dari sebatang Sampoerna Mild sampai Pisang Goreng. Saya pun ngobrol dengan Daan (yang asik menyantap mie ayam), Wahyu, Deni, dan beberapa kawan lain (termasuk Harry yang datang menyusul dengan motor). Topik bahasan seputar tempat-tempat bersejarah lain sekitar Depok dan Jakarta.

Menyerbu Tukang Es Doger
Menyerbu Tukang Es Doger

Setelah Desy menyelesaikan pembayaran mie ayamnya, kami pun berjalan lagi menuju titik finish NgoJak ini, rumah Bapak Yano Jonathans, penulis buku Depok Tempo Doeloe di Jalan Melati. Dari Pemakaman, kami berjalan ke barat menyusuri Jalan Dahlia, sempat melewati rumah unik dengan banyak relief dan patung (kata Pak Yano kemudian, rumah itu milik alm.Bapak Malik, seorang penganut aliran kepercayaan), lalu berbelok selatan menyusuri Jalan Bungur.
Di ujung Jalan Bungur, kami menyeberang ke Jalan Melati, sempat tanya sana-sini karena nomor Pak Yano yang diberikan Novi (yang sehari sebelumnya sudah menemui Pak Yano) tidak dapat dihubungi. Akhirnya sebuah petunjuk penting datang dari pasangan pemilik kios rokok : “terus saja (arah selatan), nanti ada pagar merah, masuk aja, agak dalam ada rumah, itu rumah Om Yano”. Kami pun berjalan sekitar 200 meter, melewati sebuah gereja katolik, sampai akhirnya menemukan pagar merah yang dimaksud. Kami masuk disambut salakan beberapa anjing peliharaan Pak Yano. Pak Yano dan istrinya, Ibu Yuli Leander, berteriak dari teras rumah, mendiamkan anjing-anjing itu. Lalu mereka menyongsong kami dengan gembira, menyalami kami satu per satu. Bu Yuli menyusun kursi agar kami semua kebagian tempat duduk.

Sesi Diskusi Dengan Bapak Yano Jonathans
Sesi Diskusi Dengan Bapak Yano Jonathans

Tak banyak basa basi, Pak Yano langsung bertanya rute kami tadi. Beliau rupanya sudah membuat rute wisata sejarah sendiri, yang ia rekomendasikan dalam buku Depok Tempo Doeloe. Jalur itu adalah Stasiun Depok-KUA Pancoran Mas-Tiang Listrik kuno-Kantor Pos Pancoran Mas-RS Harapan/Rumah M.C.Jonathans-Gereja Immanuel-Kantor YLCC-Jembatan Panus-Kerkhof. Tidak berbeda jauh dengan rute kami hari itu.

Buku Depok Tempo Doeloe. Bisa Dibeli Langsung Di Rumah Pak Yano. Foto : Novita.
Buku Depok Tempo Doeloe. Bisa Dibeli Langsung Di Rumah Pak Yano. Foto : Novita.

Pak Yano kemudian berkisah secara cukup detail tentang sejarah Depok Lama lewat media objek-objek tadi. Sesi tanya jawab menjadi lebih seru.Banyak pertanyaan mendetail tentang kebudayaan Depok Lama. Ada yang bertanya tentang makanan khas Depok Lama. Makanan Depok Lama kebanyakan adalah “jalan tengah” antara makanan lokal dengan makanan Hindia. Ada yang bertanya darimana asal budak-budak Chastelein itu. Data yang didapat menyebutkan bahwa sebagian besar berasal dari Bali dan Makassar. Situasi cukup menarik ketika saya bertanya tentang Gedoran Depok. Pak Yano sendiri mengakui bahwa membahas Gedoran Depok masih agak tabu, terutama bagi satu generasi diatas beliau yang mengalami langsung. Namun data dan cerita yang beliau dapat, menyimpulkan bahwa memang telah terjadi pembantaian massal di Depok Lama saat itu oleh laskar-laskar rakyat. Mengenai Pak Yano, mungkin saya akan membahas kesan saya tentang beliau pada satu tulisan khusus, sebagai tribut saya atas usaha beliau menjaga dan menggali kembali sejarah leluhurnya.
Di akhir NgoJak, kami pun mengadakan sesi sharing dengan semua kawan NgoJak. Beberapa terlihat terlalu lelah untuk bicara panjang, sebagian lagi tampak terlalu overwhelmed dengan pengalaman menarik sepanjang perjalanan ini sampai kesulitan berkata-kata. Tidak apa, kita tunggu tag foto dan tulisan nanti sepulang dari Depok.

Sesi Sharing NgoJak
Sesi Sharing NgoJak

Dua jam berlalu terasa cepat. Kami pun pamit (setelah membeli tujuh eksemplar buku Depok Tempo Doeloe lengkap dengan tandatangan Pak Yano). Kami menyempatkan diri berfoto bersama (diambil juga oleh kamera Pak Yano) Pak Yano dan Ibu Yuli. Terlihat wajah mereka sangat gembira dengan pertemuan ini.

Sesi Legalisir Buku Depok Tempo Doeloe. Foto : Deni
Sesi Legalisir Buku Depok Tempo Doeloe. Foto : Deni
Foto Bersama Pak Yano dan Ibu Yuli.
Foto Bersama Pak Yano dan Ibu Yuli.

Selepas dari rumah Pak Yano, rombongan NgoJak berpisah. Mbak Noy dan Atha-Rose mampir ke warung kopi sejenak untuk ngaso. Mbak Diella dan Mas Bimo mampir dulu ke toko alat-alat mendaki gunung. Saya, Daan, Deni, Ali dan adiknya, Yazid Calon Almarhum, serta beberapa teman lagi langsung menuju Stasiun Depok. Daan, Deni dan Yazid akan menuju Taman Suropati untuk berkegiatan di perpustakaan keliling yang biasa mereka gelar.
Di kereta saat perjalanan pulang, saya Teringat akan dua harapan yang sempat diutarakan Pak Yano. Pertama, agar pengetahuan tentang sejarah dan budaya Depok Lama yang beliau telah tuliskan dapat tersosialisasikan dengan baik. Kedua, agar ada generasi baru yang meneruskan usaha pelestarian dan penggalian ini.

Harapan saya, setiap perjalanan NgoJak minimal dapat menjadi usaha mensosialisasikan dan membantu pelestarian kisah-kisah, artefak-artefak, dan kebudayaan-kebudayaan dari tempat-tempat yang kami datangi. Bukan hanya sekedar datang dan foto-foto seperti turis. Dengan begitu, semakin jauh dan sering kita berjalan, semakin aktif jempol kita menulis, membagi foto, membagi video, semakin pula kita dapat menemukan dan mengabarkan ulang hal-hal tersebut kepada dunia.

Yah, dengan begini semoga dunia tidak lekas seragam ya..

Tinggalkan Balasan