Tak perlu menunggu lama lagi, dunia akan segera menjadi sangat seragam. Manusia akan menjalani hidup dengan cara yang sama. Vodka tidak lagi diminum di suhu minus, Coca-Cola sudah sampai ke Kampung Naga, Avanza terjual hingga pelosok Palopo, dan tiap seratus langkah di kota besar, pasti ada satu jendela dimana terdengar lagu Rihanna. Lebay sih, hehehe. Tapi sebagian memang benar. Proses karsa, cipta dan karya manusia nampaknya sudah cukup terseragamkan oleh apa yang disebut Globalisasi, dengan Kapitalisme dan Budaya Populer sebagai poin-poin utama dibantu oleh teknologi komunikasi yang makin mendekati ide connecting people dari Nokia.
Tak terkecuali di Indonesia. Budaya-budaya lokal nan unik hasil sejarah panjang harus berjuang keras untuk tetap eksis. Eksis secara organik nampaknya cukup berat, sehingga kebanyakan memerlukan konservasi, bahkan mistifikasi dan fusion, untuk tetap eksis.
Salah satunya adalah Komunitas Depok Lama dengan dua belas marga penghuninya, atau lebih dikenal publik sebagai “Belanda Depok”. Komunitas ini hadir sejak akhir 1600-an dari desain seorang kaya Belanda bernama Cornelis Chastelein. Chastelein, seorang Hugenout, membangun sebuah area perkebunan dan perladangan di Depok dan memboyong seratus lebih budaknya dari tanah garapan sebelumnya di Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Lapangan Banteng) dan Nordwijk (sekitar Jalan Juanda dan Jalan Veteran). Budak-budak tersebut, yang berasal dari berbagai tempat : Bali, Makasar, Jawa, Ambon, bahkan Filipina, ia bina dalam sebuah organisasi yang rapi, berdasarkan hukum agama. Standar-standar perbudakan masa itu ia terobos; ia mengkristenkan mereka, membuka kelas belajar baca-tulis dan hitung, dan membuat sistem kerja yang adil.
Tak sampai situ saja, pada saat ia meninggal, ia wariskan pula lahan Depok pada ratusan budaknya tersebut. Ia membuat pedoman-pedoman bermasyarakat, lagi-lagi berbasis agama, memastikan mereka tidak dalam “kebiadaban” sepeninggalnya. Pasca kematian Chastelein, para budak itu membentuk dua belas marga diantara mereka, merujuk pada jumlah dua belas murid utama Yesus. Nama-nama marga itu adalah Jonathans, Soedira, Laurens, Bacas, Loen, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh.
Komunitas Depok Lama tumbuh menjadi komunitas eksklusif yang unik. Ia berjarak dengan kebudayaan Eropa dan kebudayaan lokal sekitarnya. Warisan Chastelein, ke-kristen-an dan nama barat mereka memberi Depok Lama jarak dengan budaya lokal. Namun fisik pribumi menjauhkan pula mereka dari persamaan hak dengan bangsa Eropa totok. Memang terdapat beberapa keistimewaan yang didapat orang Depok Lama dari pemerintah Hindia Belanda akibat hubungan dagang yang erat antara Depok dengan Batavia dan karena perkembangan Depok sebagai salah satu pusat penyebaran Protestan.
Ngopi Jakarta (NgoJak) tertarik dengan keunikan ini, dan memutuskan untuk mengajak kawan-kawan mengeksplorasi kisah masa lalu, tinggalan fisik, dan kondisi terkini dari komunitas Depok Lama. Sempat terjadi perbincaan seru mengenai tanggal. Yang akhirnya ditetapkan tanggal 9 Oktober 2016 akan menjadi hari NgoJak edisi 2 (dengan mengorbankan Bu Novi yang tidak bisa ikut). Memang sudah lebih dari satu purnama semenjak NgoJak perdana di Karadenan.
Saya, Daan, dan Ali membantu mengorganisir teman-teman peserta. Total yang datang ada 15 orang. Meeting point adalah pintu keluar Stasiun Depok (nama “Depok Lama” yang tertera di poster sempat menjadi perdebatan, karena bukan nama resmi, hehe). “Hanya” telat setengah jam plus makan snack yang dibeli Mbak Diella dan sesi perkenalan, kami mulai berjalan menyusuri Jalan Stasiun untuk menuju Jalan Kartini. Ali sempat memotret gedung Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran Mas dengan penuh harap.
Kami berjalan ke utara menyusuri Jalan Kartini, sempat menjumpai tiang listrik kuno. Tiang ini menurut Daan adalah artefak dari masa awal listrik masuk Depok. Depok adalah salah satu wilayah pertama di luar Batavia yang mendapat jalur listrik, dan nantinya telepon, dan kereta. Keistimewaan ini didapat Depok dari posisinya sebagai supplier hasil ladang utama untuk Batavia.
Kami lalu berjalan arah timur ke Jalan Pemuda. Objek pertama kami adalah dua bangunan eks pemerintahan Gementee Depok, Rumah Sakit Harapan dan Rumah Keluarga M.C Jonathans. Depok sempat menikmati status istimewa secara politis. Depok diberikan status semi otonom, dimana komunitas memilih sendiri pemimpin mereka, yang disebut presiden. Presiden Depok memiliki kewenangan untuk mengatur perdagangan hasil ladang dan tani, menyelesaikan urusan-urusan kemasyarakatan dan hubungan dengan pemerintahan pusat di Batavia. Gedung yang kini dipakai Rumah Sakit Harapan adalah kantor pemerintahan sang presiden. Sedangkan rumah di seberangnya adalah milik keluarga M.C. Jonathans, presiden terakhir Depok, yang turun jabatan tahun 1952.