/

Kiamat di Jakarta

Dibaca normal 8 menit

(Dengan permintaan maaf kepada Alan Lightman)

***

Bayangkan jika misalnya dunia berakhir pada tahun 2047, dan seluruh warga Jakarta mengetahuinya.

Setahun sebelum kiamat, DPR RI dibubarkan. Orang-orang yang selama ini mengatasnamakan wakil rakyat antri di studio tv menunggu giliran. Bukan untuk menghadiri kuis kebangsaan, melainkan hendak mengakui segala dosa-dosanya kepada rakyat. Seluruh harta hasil menjarah mereka kembalikan ke kas negara, dan mereka pergi ke desa-desa tepi hutan untuk berladang, sebagian lagi menjadi penyapu jalan, takmir mesjid, kondektur bus kota, mengajar di sekolah-sekolah terpencil, penjaga toilet terminal, dan ada juga yang menjadi pengantar koran.

Dosa-dosa personal diselesaikan di rumah. Di depan istri dan anak-anaknya, mereka mengakui pernah berselingkuh dengan penyanyi dangdut, sekretaris pribadi, bintang film, atau dengan sosialita kurang ternama. Mereka pasrah, tapi tak berani untuk harakiri. Sebelum pengakuan itu, pisau dapur dan obeng kembang sengaja disembunyikan. Mereka menangis, sujud di depan anak-istrinya yang tengah bingung untuk membedakan; ini sinetron atau kehidupan nyata.

Para pengembang perumahan dan apartemen tidak lagi beriklan “sebelum harga naik”. Kerjasama dengan Fenny Rose telah dihentikan. Tak ada lagi ambisi untuk membangun hunian-hunian tepi pantai yang indah, atau di sekitar segitiga emas Jakarta yang potensial. Mereka hanya membangun panti asuhan dan panti wreda. Kesadaran mencuat dalam benak, bahwa dunia akan segera berakhir, dan segalanya akan kembali ke pemilik Agung Alam Semesta.

Sebulan sebelum kiamat, orang-orang hilang korban penculikan ditemukan kuburnya. Para penculik dengan rasa sesal yang sangat besar membeberkan semuanya. Detail peristiwa dan kronologisnya mereka tulis dalam sebuah buku tebal. Di dalam buku itu, selain nama-nama korban,  ditulis juga siapa saja yang menjadi dalang penculikan. Misteri keberadaan Wiji Thukul dan pembunuhan Munir perlahan terkuak, dan kemudian menjadi jelas. Para pegiat HAM yang mengikuti peristiwa tersebut sedikit saja, rupanya menjelang kiamat para pegiat palsu telah bertobat dari kemunafikan, dan memilih untuk tidak ikut-ikutan.

KPU dibubarkan, sebab sudah tidak akan ada lagi pemilu yang memakan biaya besar. Partai politik berubah menjadi majelis-majelis keagamaan, kemudian “diakuisisi” oleh para ustadz, kiai, pendeta, dan habib. Ruang publik bersih dari polusi visual. Gambar-gambar caleg menghilang dari pohon, tiang listrik, tembok gang, gapura, wc umum, tong sampah, dan jembatan penyeberangan. Semuanya sebenar bersih.

Supporter sepakbola tidak lagi bermusuhan. Mereka berkumpul di GBK. Dari Bandung, Malang, Surabaya, Medan, Makassar, Solo, Yogyakarta, Samarinda, Tangerang, Papua, Lamongan, Kediri, Padang, Pekanbaru, dan daerah-daerah lainnya, semuanya hadir mengikuti semacam rekonsiliasi nasional. Sebagai tuan rumah, tentu suporter Jakarta ikut hadir juga. Mereka menangis dan saling berpelukan.  Segala dendam dan kebencian luruh, yang tersisa hanya kata maaf. Memaafkan bekas musuh dan diri sendiri; betapa permusuhan itu telah mereka dijalani selama berpuluh-puluh tahun. Di titik ini kesadaran menggetarkan kemanusiaan. Acara dipungkas dengan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Itu adalah anthem terakhir di stadion kebanggaan sebelum kiamat datang. Langit pucat mendengarkan deru syahdu lagu.

Acara tv, tidak lagi menayangkan humor-humor stereoform. Acara musik pagi pun sudah dihapuskan. Anak-anak alay berkumpul di Monas dan membuat lingkaran-lingkaran kecil. Di satu lingkaran ada yang bergantian membacakan puisi Rendra, Chairil Anwar, Acep zamzam Noor, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Sutardji, dan Sitor Situmorang. Seseorang telah memfotocopy naskah-naskah puisi itu, dan mereka mencoba menghayatinya.

Sementara di lingkaran yang lain ada seorang perempuan cantik yang memainkan gitar sambil menyanyikan lagu-lagu Payung Teduh, Float, Banda Neira, Frau, The Monophones, dan Mocca. Alay-alay tak satu pun yang tahu liriknya, mereka sebagaimana biasanya, hanya bergoyang pelan dan menepuk-nepukkan tangan. Lagu yang hinggap di pendengarannya begitu asing, tak pernah mereka jumpai di studio televisi.

Sungai Ciliwung dibersihkan. Warga yang hidup di bantaran turun ke sungai yang kotor dan memunguti sampah. Sementara pabrik-pabrik yang selalu menggelontorkan limbah pembuangan ke sungai telah ditutup. Sungai merdeka dari kebodohan manusia justru ketika kiamat akan segera datang.

Di Jakarta sudah tidak dijumpai tukang kerak telor dan mie rebus. Para penjualnya telah pulang ke Garut dan Kuningan. Penjual sate pun demikian, mereka tidak lagi mudik, melainkan pulang permanen ke arah barat Sumatera dan timur Jawa. Yang paling banyak tersedia hanya nasi uduk pindang tongkol, hampir di setiap gang, pagi dan petang, ibu-ibu setengah baya masih menjualnya, termasuk mpok Hindun dekat kontrakan saya. Selebihnya tak dapat diharapkan; warung nasi Padang yang masih buka hanya tinggal di Senen, Kebayoran Lama, dan Mataraman. Restoran, café, dan hotel telah tutup.

Dua minggu sebelum kiamat, jalanan tertib, meskipun tanpa kehadiran polisi. Tak ada lagi suara klakson bersahut-sahutan dan umpatan khas kebun binatang. Pengendara mobil dan motor, ketika lampu merah, tidak melewati zebra cross. Ketika para pejalan kaki lewat, mereka melambaikan tangan, saling menyapa, dan tersenyum.

Sekolah dibubarkan, dan warnet ditutup. Anak-anak sekolah tidak ada lagi yang tawuran dan main game online. Mereka bermain bola sepuasnya. Ada pula yang bersepeda keliling kota tanpa takut diserempet mobil yang sopirnya ugal-ugalan dan setengah mabuk. Anak-anak perempuan menanam dan merawat bunga di rumahnya masing-masing. Buku-buku di perpustakaan dipindahkan ke taman-taman kota, dan tukang becak dengan malu-malu mulai membacanya.

Tak ada lagi yang bekerja lembur, sebab semua perusahaan telah ditutup. Dua minggu terakhir dalam kehidupannya, para pegawai, karyawan, buruh, kuli (kasta yang sebetulnya sama) menghabiskan waktu di rumah bersama keluarganya. Mereka memasak bersama, bercanda dengan anak-anaknya, membersihkan rumah, memutar lagu-lagu favorit, dan melepaskan burung-burung yang selama ini mereka pelihara dalam sangkar. Kasih sayang dan perhatian kepada sesama anggota keluarga tumbuh subur di dua minggu terakhir riwayat kehidupan.

Patung yang ada Pancoran, Bundaran Senayan, dan lapangan Banteng, tiba-tiba hidup dan mereka pergi menuju bundaran HI. Patung Selamat Datang pun turun dari singgasananya. Mereka kemudian duduk melingkar di tepi kolam itu, berbincang tentang Presiden Indonesia, Gubernur Jakarta, serta banjir dan macet yang sudah bosan mereka lihat. Ada yang mengidolakan Bang Ali Sadikin, ada pula yang mengkritik sanjung puja warga terhadap Jokowi, yang menurut mereka terlalu berlebihan.

Sehari menjelang kiamat, Jakarta sunyi dan semua warga terdiam, kecuali satu orang. Dia adalah wak Haji yang dikelilingi tujuh orang pemuda. Mereka duduk di tengah jalan Suprapto, Cempaka Putih. Beliau membacakan sebuah sabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :

Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat, maka hendaklah dia menanamnya. [ ]

Tinggalkan Balasan