Saat Menteri Pendidikan Republik Indonesia, Fadli Zon, merencanakan akan ‘menerbitkan’ kembali buku Sejarah Nasional Indonesia, ramai-ramai terjadi perdebatan sengit di masyarakat, terutama di jagat maya. Pada dasarnya masyarakat hanya menyayangkan, mengapa tidak dimuat konten tertentu, terutama yang terkait peristiwa awal Reformasi 1998-1999, termasuk pemerkosaan massal pada etnis Tionghoa.
“Itu pendapat saya pribadi. Ini enggak ada urusannya dengan sejarah, dan boleh kan dalam demokrasi itu berbeda pendapat. Kalau ada yang mempunyai bukti-bukti, ‘Ini loh namanya massal’, silakan,” ujarnya kepada wartawan pada akhir Juni lalu, dikutip Antara.
Selebihnya, pernyataan menolak atau lebih tepatnya keengganan para ahli sejarah, untuk terlibat dalam proyek ambisius dari Kementerian Kebudayaan tersebut. Secara umum, masyarakat hanya ingin konten tentang peristiwa di seputar Reformasi 1998 itu dituliskan secara jujur. Tidak ada motif lain seperti tuntutan diadilinya pelaku atau bahkan pergantian pemerintah. Tidak, masyarakat tidak menginginkan itu.
Bahkan sudah tidak mungkin mengadili pelakunya, kemungkinan sudah berumur lebih dari 70 tahun, atau bahkan sudah berkalang tanah.
Lucunya, Fadli Zon yang sekarang menjadi Menteri Kebudayaan, dulunya merupakan aktivis Mahasiswa yang ikut berdemonstrasi sepanjang 1997-1999. Ya, masyarakat selalu mengingat, bahwa kekuasaan memang sering membuat orang menafikan integritasnya. Sangat disayangkan, kebiasaan ‘baik’ masyarakat Indonesia yang selalu memaafkan betapapun pahitnya peristiwa yang dialami, meskipun kadang terbalut ‘dendam’ yang tak terlampiaskan.
Dunia sejarah itu memang unik, sekalipun tidak ditulis dalam buku sejarah resmi, cerita itu masih terekam jelas pada masyarakat. Bahkan jika disangkal dengan pernyataan resmi dari pemerintahpun, fakta sejarah itu selalu tetap ada, cerita sejarah akan tetap abadi. Sejarah akan menemukan jalannya sendiri, sekalipun tidak banyak yang mau bersusah payah meneliti dan menuliskan ulang jalannya peristiwa sejarah. Pernyataan itu mengandung arti bahwa, sekalipun tidak semuanya ditulis dalam buku, tetapi cerita dan fakta sejarah, biar bagaimanapun akan tetap abadi.
Sejatinya, jika pemerintah kukuh dengan pendiriannya, kita sebagai masyarakat juga bisa lho membuat tandingan serupa. Kekurangannya hanya pada kemauan, mungkin juga distribusi. Kelebihan buku SNI dari pemerintah hanya terletak pada jalur distribusi ke sekolah-sekolah ke tingkat pelosok. Kita sebagai masyarakat juga bisa menandingi itu jika punya kemauan bersama. Cerminan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya itu sendiri. Toh jika masyarakat cuek, (bisa jadi Tuhan mentakdirkan dengan menciptakan) pemerintah yang cuek juga.
Kekhawatiran masyarakat, terletak pada, jika itu terdistribusikan ke sekolah-sekolah dan diajarkan pada kurikulum resmi, maka akan me-reset memori generasi Indonesia selanjutnya. Sama seperti generasi di Jepang (kelahiran setelah tahun 1960-an hingga kini), yang sama sekali buta pada sejarah bangsanya pada era tahun 1930-1945. Tidak adanya pelajaran sejarah resmi di sekolah-sekolah Jepang terkait periode itu, maka generasi muda Jepang secara umum, tidak tahu kekejaman leluhur bangsanya hingga ke seberang lautan. Padahal, tetangganya seperti Korea, Tiongkok, Taiwan, bahkan hingga ke Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, menuliskan sejarah pada periode tersebut sebagai periode yang kelam mengenai Pendudukan Jepang.
Menurut Juri Lina dalam bukunya Architect of Deceptio: Secret Story of Freemansory (2001), ada tiga cara melemahkan suatu bangsa, yaitu: kaburkan sejarahnya, hancurkan bukti-buktinya, dan putuskan hubungan dengan leluhurnya.
Apakah pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan dan Kemeterian sejenisnya menginginkan hal itu terjadi, yaitu pengkaburan dan penyangkalan sejarah? Atau hanya ingin ‘membersihkan’ citra pemerintah yang sudah sangat buruk. Jangan-jangan justru lebih parah lagi, sang Menteri yang sekarang telah menjadi ‘orang bawahan’ sang penguasa, yang saat peristiwa itu terjadi, sangat dicurigai sebagai ‘orang’ yang menjadi otak peristiwa kelam itu.
Biar bagaimanapun, peristiwa itu telah terjadi, masyarakatpun sudah “memaafkan” dan tidak mungkin lagi mengadili, tapi setidaknya masyarakat butuh kejujuran dari pemerintah dalam bentuk kecil, yaitu memasukkan konten peristiwa Reformasi 1998-1999 dalam buku Sejarah Nasional Indonesia. Mungkin konten itu membuat malu pemerintah di dunia internasional, marah dan kesedihan pada korban di masyarakat, tetapi dari situ kita harus dipaksa belajar, agar peristiwa itu jangan sampai terulang lagi dan selalu dalam kejujuran dalam kehidupan bernegara serta bermasyarakat.
Mungkin nanti di Hari Penghakiman, kita akan melihat Keadilan Tuhan yang Maha Adil, dengan memutar rekaman kita di dunia. Siapa yang tidak malu dan ketakutan (mendapat hukuman), jika rekaman umur hidup kita saat berbuat jelek diputar ulang, untuk dipertontonkan oleh manusia dari zaman Nabi Adam hingga manusia terakhir?