In so far as the word “knowledge” has any meaning, the world is knowable; but it is interpretable. Otherwise, it has no meaning behind it, but countless meanings.
Mungkin ada berkah terselubung dari sulitnya mencari dokumen resmi dari pemerintah tentang kasus Gerakan Satu Oktober (Gestok) dan rangkaian peristiwa yang melatari dan menjadi efeknya. Beberapa dokumen yang dibuka CIA beberapa waktu lalu memang menambah perbendaharaan dokumen tentang Gestok. Namun bagi para akademisi tentu belumlah cukup untuk mendasari pencarian kebenaran yang empiris. Masih meraba dan merayap dengan bermacam hipotesis akibat fragmen-fragmen data yang muncul sporadis disertai dengan otentisitas yang selalu bisa diperdebatkan. Peristiwa Gestok, sebagaimana peristiwa berdarah lain sepanjang sejarah, tentunya memiliki potensi tinggi sebagai sesuatu yang multiinterpretatif. Karena tendensi pihak terkait untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa terkait pasti tidaklah besar.
Pendapat tentang siapa dalang dibalik Gestok, misalnya, minimal melibatkan enam terduga : Angkatan Darat, PKI, Sukarno, Amerika, China, dan Rusia. Belum lagi membayangkan apabila ternyata ada pula kemungkinan keenamnya beririsan dalam mendalangi Gestok. Terlebih jika tidak hanya mencari siapa dalang utama, tapi mencari juga siapa yang tahu tapi diam, siapa yang memberi angin, siapa penumpang gelap yang ikut dengan dalang utama, dan beberapa predikat lain.
Tapi dalam semua benang kusut itu ada suatu kemuliaan bagi kita yang berproses dan berusaha menjawab. Mencari posisi pandang yang enak untuk melihat Gestok. Menginterpretasi, kalau kata Nietzsche, berusaha memberi makna, agar bisa bergabung dengan makna-makna lain Gestok.
Penerbit Mizan tentunya menyadari semua itu saat membuat acara Jelajah Sejarah : Napak Tilas Gerakan 30 September (Gestapu, nama lain yang kurang tepat, karena seluruh peristiwa kekerasan berlangsung pada 1 Oktober dini hari). Acara ini dibuat dalam rangkaian promosi buku Salim Said : Gestapu 1965 : PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto. Bagaimana tidak, panitia menyuguhi para peserta minimal dengan tiga sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang pemandu utama acara : jurnalis Hendi Jo. Sudut pandang kedua akan datang dari versi resmi dari objek-objek yang akan didatangi ( Museum Sasmitaloka Ahmad Yani, Museum Jenderal A.H Nasution, dan Kawasan Lubang Buaya). Ketiga objek ini saya persepsikan akan memiliki sudut pandang yang seragam. Sudut pandang ketiga adalah sudut pandang sejarawan Anhar Gonggong yang akan menjadi narasumber pada diskusi informal di akhir acara.
Aroma multiperspektif ternyata makin harum saat bertemu dengan peserta-peserta lain. Beberapa peserta ternyata memiliki pengetahuan lebih tentang konteks politik dan konflik internal di tubuh militer. Sementara saya sudah membawa sumber yang sejauh ini paling saya percaya soal Gestok, yaitu “Cornell Paper”, sebuah kliping yang menjadi ” Preeliminary Analysis” tentang Gestok dari Ben Anderson dan Ruth McVey.
Dua objek pertama, Museum Sasmitaloka Ahmad Yani di Jl.Lembang dan Museum Jenderal Besar A.H. Nasution di Jl.Teuku Umar, mengingatkan lagi para peserta akan sudut pandang Orde Baru yang mungkin sekarang mulai terpojok dengan hadirnya penelitian-penelitian dan publikasi-publikasi baru mengenai Gestok.
Sudut pandang Hendi Jo sang pemandu, datang di objek ketiga, yaitu bekas Kantor Comitee Central Partai Komunis Indonesia. Bangunan terbengkalai yang berada di Jl.Kramat Raya ini adalah objek yang terlihat paling diminati peserta. Hendi Jo memaparkan bagaimana PKI menterjemahkan ide-ide dalam doktrin partai menjadi aksi-aksi nyata di masyarakat. Seperti misalnya dalam konteks pemberantasan praktik rentenir. PKI memberi bantuan lunak kepada pedagang di sekitar Kramat Lontar agar mereka terhindar dari praktik rentenir.
Pemberantasan rentenir merupakan salah satu wujud perlawanan PKI terhadap apa yang mereka sebut “Tujuh Setan Desa dan Tiga Setan Kota”. Menariknya, doktrin tersebut juga yang memperuncing friksi antara PKI dengan kaum pesantren, dan berujung dengan pertarungan PKI dan Nahdatul Ulama nantinya. Arus bawah PKI menterjemahkan para kiai pemilik pesantren sebagai kaum penguasa tanah yang tidak memanfaatkan tanah mereka untuk kepentingan bersama. Sejarah mencatat konflik masalah agraria ini sebagai pemicu hubungan saling bantai antara PKI dan kaum Islam tradisional.
Objek terakhir adalah Monumen Lubang Buaya. Di sini kami memperoleh sudut pandang, yang mungkin paling objektif, dari Anhar Gonggong. Pak Anhar percaya betul, bahwa siapapun partnernya, PKI tetap terlibat pada peristiwa Gestok. Anhar menyebutkan bahwa kontestasi politik antara PKI dan Angkatan Darat, adalah latar belakang utama. Namun ia percaya pula bahwa PKI tidak terlibat sendiri dalam Gestok. Sangat riskan bagi PKI untuk bergerak sendiri, menurut Anhar. Bahwa setelah peristiwa itu, ada pihak lain yang menunggangi gelombang dan menjadi pemenang akhir, Anhar belum berani berkesimpulan.
Satu lagi sudut pandang yang luput adalah sudut pandang Salim Said dalam buku yang sebenarnya tengah dipromosikan lewat acara ini, namun akhirnya dilewat. Belakangan membaca, teori Salim Said sendiri memang cenderung lebih subjektif dan sempit, sehingga menggoda untuk dilewatkan
Kembali ke Nietzsche lagi. Nietzsche secara ekstrim percaya bahwa proses seseorang mencari kebenaran, didasari oleh sebuah kebutuhan, baik fisiologis maupun rohaniah. Orde Baru butuh mempublikasikan sebuah “kebenaran” untuk kebutuhan politisnya. Anhar Gonggong dan Hendi Jo butuh kebenaran itu untuk mengobati rasa laparnya akan kebenaran sebuah peristiwa sebagai seorang sejarawan dan penikmat sejarah. Juga berbagai sudut pandang lain, hadir dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan itu yang akhirnya membuat manusia saling mengkritisi “kebenaran” satu sama lain. Sejalan dengan tema besar pemikiran “anti-idol” Nietzsche.
Bagi saya, kebenaran yang mana yang paling benar tidaklah penting. Bagi saya, kebenaran tentang Gestok, apapun hasilnya, harus bisa ambil peran dalam inisiasi proses rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berseberangan, bahkan hingga hari ini. Rekonsiliasi tersebut haruslah bisa menempatkan Hak Asasi Manusia pada tempat yang seharusnya.
Tentu itu adalah hasil kebutuhan saya.