Saya pengguna ojek, jauh sebelum perusahaan Gojek dan Grab Bike lahir. Saya lahir di Jakarta dan sudah merasakan Jakarta macetnya amit-amit dari mulai saya SMP di tahun 1997, bayangkan hari ini keadaan masih saja sama dan cenderung memburuk. Hingga pada akhirnya, ayah saya berhenti mengantarkan anak-anaknya ke sekolah dengan mobil akibat kemacetan yang membabi-buta, kemudian ia memanggil tukang ojek setempat untuk mengantar kami 3 kakak beradik ke sekolah setiap hari.
Saat diantar menggunakan motor, saya merasakan bahagia luar biasa, karena tadinya yang terjebak 1 jam di jalanan bisa dikorting hingga setengahnya. Rasa frustasi menahan pipis di mobil, sudah tiada. Begitu awalnya saya berkenalan dengan ojek, hingga saya beranjak dewasa dan bekerja, ojek jadi transportasi favorit saya. Namun ada hal menjengkelkan dari ojek yang selalu terjadi saat kamu membutuhkan jasa mereka, yaitu fase ‘tawar menawar’. Hal ini menjengkelkan sekali. Kamu akan dihadapkan pada sebuah pertarungan urat leher untuk menawar tarif, belum lagi jika kamu bertemu tukang ojek dengan ketidakmatangan emosional, dia akan cenderung mencaci maki calon penumpang terutama yang menawar dengan harga semestinya sesuai jarak, rasa kesal si abang ojek tumpah ruah akibat tak bisa korek untung lebih dalam dimana sebenarnya dia sudah untung. Kata-kata semacam, “Bandingin sama harga taksi? Mendingan naik taksi aja sono!” atau “Ya mbak, ini mah udah harga di sini jangan bandingin di daerah embaaak” dan semacamnya.
Saya tidak tahu sejak kapan pangkalan ojek muncul, rasanya saat saya SMP, pangkalan ojek sudah ada. Kini, dengan kehadiran Gojek dan Grabbike dimana penumpang dapat memesan ojek melalui aplikasi, ojek pangkalan resah. Bagi konsumen, sistem ini menguntungkan mereka. Mudah – cepat dan tanpa tawar menawar yang menjengkelkan. Namun bagi para ojek pangkalan? Sebuah tulisan pernah mengemukakan bahwa fungsi ojek pangkalan adalah berdirinya sebuah paguyuban, membangun sistem sendiri untuk menghindarkan ojek saling berebut akibat tidak tertib mengambil penumpang.
Namun sistem tersebut rapuh akibat tidak terpikirkannya sebuah sistem lain yang berpihak pada konsumen, misalnya saja kesesuaian tarif dan jarak. Saat saya mulai bekerja, untuk menghindari kelelahan setiap hari berargumen dan menawar, saya menawarkan salah satu ojek di pangkalan dengan tarif bulanan untuk antar-jemput saya tiap pergi dan pulang kantor. Begitu terus yang saya lakukan hingga Gojek dan Grabbike hadir.
Gojek hadir lebih dulu dengan promo marketing banting harga, mengojek kemana aja bayarnya Rp10.000,- kontan pengojek pangkalan yang biasa ‘nembak’ harga ataupun yang pakai harga normal sama-sama kelabakan karena terjadi peralihan penumpang besar-besaran yang mengakibatkan banyak ojek pangkalan pun bergabung dengan Gojek. Saya mencoba layanan Gojek untuk pertama kalinya dari kantor menuju senayan saat jam padat pulang kantor.
Perbedaan sangat kental terjadi pada SOP yang dilakukan abang Gojek terhadap penumpangnya, santun dan tertata. Dari sini saya ‘kagum’ dengan Gojek yang memikirkan hingga ke SOP cara menjawab telepon dari penumpang. Ojek yang tadinya bar-bar jadi ojek yang berbeda! Saya diantar dengan selamat hingga FX Lifestyle Centre sebuah Mall ditengah Jakarta yang kebetulan menjadi satu-satunya pangkalan Gojek. Saya duduk dan memperhatikan tingkah para pengendara motor yang kini berseragam. Mereka mengobrol dengan sesama pengemudi, saling memperlihatkan gadget, saling bercanda, namun apakah monster yang saya takutkan itu ‘tersembunyi’ di sana?
Setelah menyelesaikan makan malam dan menuntaskan janji bertemu teman, saya pulang, lagi-lagi menggunakan Gojek untuk memanfaatkan tarif promo. Saya order dan menunggu beberapa saat sampai akhirnya Gojek saya datang dan kami bertolak menuju Slipi. Di perjalanan, pengemudi Gojek lain bersisian dengan Gojek yang saya tumpangi, saat jalan mereka akan terpisah, Gojek saya membunyikan klakson motornya dan dibalas oleh Gojek lain yang melanjutkan perjalanan ke lain arah. Disitu saya tertegun, sebuah jaket dan helm dengan logo yang sama memberikan sebuah identitas baru yang melahirkan…kebersamaan?
Pesaing baru muncul, yaitu Grabbike, dengan program banting harga yang lebih GILA lagi, Rp5.000 kemana aja! Grabbike lahir dari aplikasi Grabtaksi yang sudah lebih dulu ramai dipakai para penggemar taksi. Saya gunakan Grabbike pertama kali dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh Slipi-Pamulang-Slipi untuk mengantarkan bayi kucing ke seekor Ibu kucing angkat agar ia bisa bertahan hidup dengan menyusu. Dari perjalanan tersebut, saya hanya dikenai tarif Rp10.000,- GILA KAN?
Ojek pangkalan pun makin kewalahan. Menghadapi hal ini protes dilakukan, dari mulai mengusir Gojek atau Grabbike saat menjemput penumpang, menebarkan ancaman, hingga mengancam penumpang. Ojek pangkalan lupa, sebuah suntikan dana promosi yang ditebarkan Gojek dan Grabbike sangat sukar dilawan, karena permintaan makin bertambah. Pilihan ojek pangkalan hanyalah terapkan harga jujur atau bergabung dengan Gojek atau Grabbike.
Pagubuyan ojek pangkalan pun mulai rontok. Satu per satu mulai bergabung atau pasrah tunggu penumpang dengan harga wajar. Salah satu yang bergabung dengan ojek berseragam adalah tukang ojek bulanan saya terdahulu, Pak Lasman, orangnya jujur dan sopan bahkan sebelum ada SOP yang dibuat ojek seragam. Selain itu saat saya pulang kerja, pernah juga bertemu kakek-kakek boncengan motor seperti sedang kebingungan, saya tanya mereka cari alamat rumah atau seseorang? Dan mereka bilang, mau daftar sebagai ojek Grabbike. Setelah saya tunjukkan jalan dan mereka menghilang di tikungan, saya terharu luar biasa, ternyata perusahaan-perusahaan ojek berseragam ini, mampu bikin semangat seseorang bangkit lagi untuk kerja keras ketika terbuka kesempatan.
The hell with karya anak bangsa atau dari Malaysia, selama keduanya mampu buka kesempatan bagi banyak orang, kenapa tidak saya dukung? Lalu bagaimana dengan monster individualis yang saya takutkan dapat lahir dari ojek berseragam ini? Sebuah peristiwa hari ini cukup membuktikan bahwa darah paguyuban memang mengalir pada nadi pengemudi ojek. Jalan Mampang di Jakarta Selatan tadi sore dipenuhi pengendara motor berseragam hijau hingga menimbulkan macet, mereka bersatu sebagai solidaritas rekan mereka yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. What a great move!
Belajar dari hal ini apakah dengan seragam kita baru bisa bersatu? Hmm… Seperti layaknya orang-orang di Korea Utara? *idunno
-Slipi, Kemanggisan