Mengunjungi Senen di Hari Sabtu

Dibaca normal 6 menit
1

Sabtu 24 Februari, bersama Komunitas Ngopi Jakarta (Ngojak) saya beserta 41 peserta lain yang sebagian besar sudah sering bertemu baik online maupun offline berencana untuk menyusuri kawasan Kramat-Kwitang dan perjalan tersebut kami beri nama “Kramat-Kwitang: Yang lamat-lamat menghilang”.

Sinar matahari bersinar terang seakan ingin menunjukan keindahan hasil karya penciptanya, jalan beraspal terasa hangat untuk dipijak namun terasa panas jika dijilat, asap kendaraan bercampur dengan debu diiringi suara deru kendaraan terdengar bising namun lumrah adanya, dan kami nyatanya telah terbiasa dengan keadaan ini.

Dikarenakan Sabtu itu ada tugas negara maka saya baru bergabung dengan kawan-kawan Ngojak sekitar pukul 12:00 WIB. Persinggahan pertama yang saya kunjungi bersama kawan-kawan Ngojak adalah Masjid Jagal Al-Arif, masjid tersebut dibangun tahun 1695 (walaupun di masjid tersebut ditulis 1600) oleh seorang Bangsawan Kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) Daeng Upu Arifuddin (meninggal 1745) dan dimakamkan di area Masjid Al-Arif). Kemudian nama beliau diabadikan menjadi nama Masjid Jagal Al-Arif, sebelum 1969 nama masjid tersebut dikenal dengan nama Masjid Jagal Senen. Lokasi yang berada tepat di area Pasar Senen mambuat Masjid tersebut selalu ramai disinggahi untuk Beribadah maupun hanya sekedar melepas lelah oleh para pedagang Pasar Senen dan masyarakat umum yang kebetulan melintas di kawasan tersebut.

Setelah kurang lebih setengah jam kami melakukan Ibadah Sholat Dzuhur sambil istirahat di area Masjid Al-Arif perjalanan pun berlanjut, kami memasuki kawasan Pasar Senen. Pasar yang di bangun pada Tahun 1735 tersebut mungkin sudah sering kita kunjungi atau hanya sekedar kita lewati dan melihat sekilas saat melintas di depan pasar tersebut. Pasar yang sudah beberapa kali terbakar tersebut lebih terlihat tertata rapih jika dibandingkan dengan keadaan 5-10 tahun yang lalu, di mana para pedagang berdagang di area trotoar depan pasar bahkan sampai memenuhi bahu jalan walaupun sekarang di beberapa sudut pasar masih terlihat tumpukan sampah di sana-sini. Di dalam area Pasar Senen kita bisa mendapati satu blok (blok Batak) yang menjual berbagai macam makanan khas Sumatera Utara dan juga beberapa kios penjual buku-buku bekas yang masih bertahan di era digital sekarang ini.

Berjalan ke arah Utara 500 Meter dari Pasar Senen kami memasuki area Gedung Wayang Orang Bharata, setibanya di sana kita di sambut oleh Pak Marsam Mulyoatmodjo. Beliau duduk di anak tangga dan kami pun duduk di lantai sambil mendengar Pak Marsam bercerita dari awal mula didirikannya Paguyuban Pancamurti (1963) hingga sekarang berubah nama menjadi Wayang Orang Bharata. Kami diberi kesempatan untuk melihat para pemain/pelakon Wayang Orang Bharata berlatih sebelum pementasan Pukul 20:30 WIB di setiap akhir pekan. Para pemain terlihat sangat serius dalam berlatih, baik latihan gerak maupun berlatih gamelan Jawa. Semoga Wayang Orang Bharata tetap lestari dan semakin banyak orang yang berminat untuk melihat pertunjukan tersebut.

Tak terasa suara Adzan Ashar berkumandang, memanggil kami untuk menuju Masjid At Taibin yang letaknya tidak jauh dari Gedung Wayang Orang Bharata. Menyebrang jalan Gunung Sahari, berjalan ke arah Barat sampailah kami di Masjid At-Taibin, salah satu Masjid tertua di Jakarta, dibangun tahun 1815. Selesai melakukan Ibadah Shalat Ashar kami duduk sejenak di area Masjid At-Taibin sambil melihat keunikan Soko Guru/Tiang penyangga Masjid yang terbuat dari kayu jati hitam dan terlihat unik berhiaskan kaligrafi dan letak barisnya memanjang ke belakang serta menurut keterangan di masjid para penyumbang dalam pembangunan Masjid tersebut terukir di bagian atas soko guru.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi “Kampung Kopi”. Setiap berkeliling Ibu Kota baik siang maupun malam hari hampir pasti kita jumpai pedagang kopi keliling menggunakan sepeda menjajakan dagangan mereka lengkap dengan puluhan bungkus kopi sachet dan tidak lupa membawa beberapa termos untuk menyimpan persediaan air panas. Di kampung kopi itu lah mereka bermukim dengan para penjaja kopi keliling lainnya yang jumlahnya sekitar 250 KK, yang didominasi pendatang asal Madura. Jika melihat langsung kehidupan di sana terlihat mereka sangat bersemangat untuk mencari nafkah di Ibu Kota Jakarta, namun mereka tidak lupa akan kewajiban mereka sebagai Umat. Kami sampai sana sekitar pukul 17:00 WIB, dari mushollah kecil yang ada di area perkampungan tersebut kami melihat puluhan anak kecil sedang membacakan Shalawat dan Do’a Khotmil Qur-an sambil menunggu saat Adzan Maghrib tiba. Bahkan dalam setiap menyambut perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW mereka selalu bergotong royong untuk membuat acara Maulid di pemukiman mereka secara sederhana namun khidmat. Sungguh pemandangan yang sangat indah bila di lihat mata dan sejuk bila di rasa hati.

Adzan Maghrib berkumandang, perjalanan kami pun berakhir di Mushollah kecil di belakang Toko Buku Gunung Agung, setelah Sholat Maghrib kami berkumpul di sisi barat inspeksi kali Ciliwung tepatnya di dekat “Jembatan Nyai Dasimah”, seperti biasa kegiatan Ngojak selalu ditutup dengan sharing antar peserta Ngojak di selingi dengan minum kopi dan minum teh bersama, tujuannya adalah saling berbagi pengalaman antar peserta Ngojak, karena beda orang pasti beda rasa dalam memaknai setiap perjalanan. Dari perjalanan kami hari ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di setiap sudut Ibu Kota ini pasti ada sisi yang bisa kita pelajari dilihat dari berbagai segi, baik dari segi agama, sosial, budaya bahkan sampai dari segi peradaban yang membentuk karakter setiap sudut kota tersebut menjadi unik. [D/NA]

Dodo Aiki

Aikido

1 Comment

Tinggalkan Balasan