Pada tahun ini Komunitas Ngojak tepat berusia 9 tahun. Usia yang merupakan transisi menuju dewasa. Tema yang diangkat adalah terus melangkah bersama. Melangkah bersama dapat dimaknai bahwa Ngojak akan terus berusaha dan memulai sesuatu untuk membaca Jakarta dan memaknai peradaban.
Perjalanan #Ngojak51 kali ini akan menjejak di Jakarta Timur. Sebuah daerah yang memiliki fasilitas olahraga, fasilitas pendidikan dan fasilitas transportasi yang terintegrasi. Rawamangun namanya. Buat penulis, kesempatan kali ini merupakan nostalgia dengan merawat ingatan dan memaknai kenangan di kampung halaman.
Lapangan Golf Rawamangun
Tepat pada Pukul 8.30 WIB kami berkumpul di SPBU Rawamangun untuk memulai perjalanan #Ngojak51. Lapangan Golf Rawamangun merupakan lapangan golf tertua di wilayah Jakarta. Lapangan ini dibuka dan diresmikan sejak tahun 1937. Selain itu, di tempat ini juga merupakan tempat dari paguyuban Jakarta Golf Club. Eksistensi paguyuban ini memiliki cikal bakal dari Batavia Golf Club yang telah berdiri sejak tahun 1872.
Pada masa Orde Baru, tempat ini menjadi langganan para elite Indonesia untuk bermain golf. Mulai dari Presiden Soeharto, Sudomo, Ibnu Sutowo sampai aktor Hollywood Sylvester Stallone pernah bermain golf di sini.

Keberadaan lapangan ini juga membawa manfaat karena mempekerjakan warga sekitar untuk memungut bola golf. Hal yang unik adalah warga Rawamangun yang berusia lanjut mengenal lokasi ini sebagai “Lapangan Inggris”. Istilah ini ada karena olahraga golf berasal dari Inggris dan pada zaman dulu banyak orang asing yang bermain di sini.1
Pura Adhitya Jaya
Perjalanan Ngojak selalu diwarnai dengan nilai-nilai pluralisme. #Ngojak51 kali ini berkunjung ke salah satu pura di kawasan timur Jakarta, yaitu Pura Adhitya Jaya. Pura ini diresmikan pada 12 Mei 1973 oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, yaitu Bapak Prayogo Padmowihardjo. Pura ini menjadi unik karena bersebelahan dengan Masjid At-Taqwa yang menjadi bukti bahwa keberagaman itu nyata dan wajib kita jaga. Kami dijamu di Pendopo oleh Ibu Made selaku perwakilan pengurus Pura Adhitya Jaya. Kami mendapatkan informasi dan wawasan tentang agama Hindu mulai dari ajaran sampai tata laksana peribadatan secara sederhana.

Kami diberikan Tirta Penglukatan untuk menyucikan pikiran sebelum memasuki Utama Mandala yang merupakan bagian paling sakral dalam strtuktur pura. Selain itu, kami juga diminta memakai Senteng (selendang) yang mempunyai filosofi sebagai pembatas antara bagian manusia yang suci dan yang tidak untuk mencegah hal-hal negatif ketika melakukan sembahyang. Ketika beranjak pulang, kami sangat beruntung dapat melihat ibu-ibu yang sedang berlatih gamelan Bali. Tentu saja kami langsung mengabadikan momen tersebut lewat foto maupun video.
Universitas Negeri Jakarta
Peserta #Ngojak51 berhenti sebentar untuk menepi dan melihat kampus UNJ. Cikal bakal UNJ adalah Universitas Indonesia kampus Rawamangun. Kampus Rawamangun mulai dibangun sejak tahun 1953 dengan membangun asrama mahasiswa dan komplek perumahan dosen. Presiden Soekarno mencanangkan Rawamangun sebagai “Kota Mahasiswa” dengan pembangunan kampus tersebut. Sejak tahun 1964, FKIP UI bergabung dengan IPG Jakarta dan berganti nama menjadi IKIP Jakarta.
Aktivitas perkuliahan di kampus Rawamangun dimulai sejak 1957 hingga 1987 seiring pembangunan kampus baru di Depok.2 Sejak saat itu, semua aktivitas perkuliahan di Rawamangun ikut pindah ke Depok. Gedung kampus Rawamangun kemudian diserahkan kepada IKIP Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta. Jejak UI kampus Rawamangun diabadikan dengan keberadaan Jalan Daksinapati yang merupakan nama dari bekas asrama mahasiswa UI di Rawamangun.
Pusara Sultan Terakhir Aceh
#Ngojak51 kali ini kembali berkunjung ke makam. Kunjungan kami kali ini terasa sangat speisal karena ditemani dengan Bung Ramadhan, yang merupakan mahasiswa sejarah asal Aceh. Kehadirannya dapat melengkapi kepingan informasi yang kami butuhkan untuk mengetahui sejarah tentang Kesultanan Aceh. Kami mengunjungi TPU Utan Kayu atau yang lebih dikenal dengan TPU Kemiri. Kunjungan kami ke sini adalah untuk berziarah ke pusara Sultan Aceh yang terakhir, yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.
Beliau merupakan Sultan Aceh ke-35 sekaligus merupakan sultan Aceh yang terakhir yang dinobatkan sejak 1874 sampai menyerah kepada Belanda karena terpaksa pada 1903.3

Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah pada awalnya menolak untuk menyerah kepada Belanda, namun karena istri dan anak-anaknya telah ditangkap terlebih dulu beliau kemudian terpaksa menyerah kepada Belanda untuk kebaikan bersama. Belanda kemudian mengasingkan Sultan beserta keluarganya ke Ambon. Tak lama tinggal di Ambon, Sultan kemudian diasingkan kembali ke Batavia hingga wafat pada 6 Februari 1939. Selain pusara makam Sultan, di tempat ini juga terdapat pusara keluarga, kerabat dan para keturunannya yang wafat di Jakarta.
Jalan Balai Pustaka
Perjalanan #Ngojak51 kemudian berlanjut menuju jalan bersejarah, yaitu Jalan Balai Pustaka. Eksistensi jalan ini tidak bisa dilepaskan dari Struijswijkstraat atau yang dikenal dengan Gang Tengah, yang merupakan satu-satunya akses dari Salemba menuju Bekasi yang melalui Rawamangun. Kami menepi sejenak untuk melihat satu-satunya rumah dinas untuk pegawai Balai Pustaka yang masih tersisa. Komplek perumahan ini didirikan pada tahun 1920 yang dibangun khsuus untuk pegawai Balai Pustaka. Balai Pustaka berdiri sejak dibentuknya Commisie voor de Inlandsche Lectuur pada 14 September 1908 atau dikenal dengan Komisi Bacaan Rakyat.
Komisi ini kemudian sejak 1917 bergantu nama menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka dibentuk karena banyaknya tulisan yang dibuat oleh masyarakat bumiputera untuk mengkritik Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini membuat resah Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian mencari untuk membungkam dan mengendalikannya melalui suatu komisi khusus.
Pada perkembangannya. Balai Pustaka juga banyak menyalurkan dan menerjemahkan hasil sastra Eropa dan membuat buku bacaan untuk seluruh masyarakat. Banyak sastrawan Indonesia yang pada awalnya menyalurkan karyanya melalui Balai Pustaka, mulai dari Marah Roesli, Abdul Moeis hingga Pramoedya Ananta Toer. Hingga sekarang, di daerah ini masih terdapat beberapa rumah sastrawan yang masih ditinggali oleh keluarganya, antara lain Putu Oka Sukanta, Motinggo Busje dan Pramoedya Ananta Toer.4
Gereja Kristen Jawa Jakarta
Destinasi terakhir yang dikunjungi oleh #Ngojak51 adalah Gereja Kristen Jawa. Keunikan dari gereja ini adalah memiliki lonceng besar yang merupakan pemberian dari Gereja Anglikan yang berlokasi di sebrang Tugu Tani. Gereja Kristen Jawa merupakan gereja pertama yang dibangun di kawasan Rawamangun. Jemaatnya adalah penganut Protestan dari GKI Kwitang dan GKP Rehoboth Jatinegara yang memulai pelaksanaan ibadah sejak tanggal 30 Agustus 1942 sampai sekarang.

Pembangunan gereja ini dimulai pada medio tahun 1960 dengan inisiatif para jamaat yang berkeinginan untuk memiliki tempat ibadah yang lebih luas.5 Hal ini dikarenakan sebelumnya aktivitas gereja masih menumpang pada satu ruangan di SMK 1 PSKD Jakarta. Pembangunan gereja selesai pada 29 Juni 1969 dan digunakan sampai sekarang. Seiring perkembangan zaman, gereja ini mengalami renovasi dan perluasan untuk meningkatkan kapasitas jemaat, penambahan bangunan dan perbaikan interior maupun eksterior bangunan.
Akhir kata, perjalanan #Ngojak51 ini dapat kita refleksikan dengan satu kata, yaitu pembangunan. Dapat kita lihat bahwa daerah Rawamangun yang dulunya hanya terdiri dari rawa, hutan jati dan lahan partikelir pada masa sekarang sangat ramai dan bisa dibilang sebagai salah satu pusat kuliner di Jakarta Timur. Wilayah yang tadinya lapang dan jarang ditempati manusia kini menjadi sesak dan dijejali oleh tinggi dan rapatnya rumah dan pertokoan. Seperti tagline-nya, membaca Jakarta dan memaknai peradaban merupakan bentuk usaha yang dilakukan oleh Ngojak dalam merawat ingatan dan memaknai peradaban.
Sumber rujukan:
- https://www.vice.com/id/article/jakarta-golf-club-klub-tertua-di-indonesia-sejarah-masuknya-golf-ke-indonesia/
- https://arsip.ui.ac.id/blog/kampus-ui-rawamangun-kota-mahasiswa
- https://distamhut.jakarta.go.id/sejarah-singkat-sultan-alaiddin-muhammad-daud-syah
- Hilmar Farid, Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan, Komunitas Bambu, 2024.
- https://www.gkjjakarta.org/