Mandi-mandi di Kampung Tugu

Dibaca normal 3 menit

Stasiun Jakarta Kota sebagai titik berkumpul sejak pagi. Lalu menuju Stasiun Tanjung Priok sebagai tempat singgah perkenalan peserta yang mengikuti acara Ngojak edisi “Mandi-Mandi Kampung Tugu”. Di Stasiun Tanjung Priok, dua mobil angkutan umum pun disewa. Baru setengah perjalanan rupanya teringat ada yang ketinggalan, “Ya ampun, ada yang ketinggalan nih. Coba lihat grup WhatApp” ujar Putri, salah satu peserta yang ikut. Di tengah perjalanan pun ada kejadian lucu, salah satu angkutan yang kita sewa mogok dan bannya gembos, entah karena keberatan beban masa atau banyak dosa.

Kampung Tugu sendiri terletak di Jakarta Utara. Daerah yang menyimpan catatan sejarah penting, khususnya dalam perkembangan budaya kota Jakarta. Di sinilah, para mardijkers, -sebutan untuk para budak Portugis Hitam- dibebaskan sebagai tawanan perang oleh Belanda. Masih menurut catatan; mereka yang sebagian besar penganut Protestan tersebut kemudian diberi lahan di Kampung Tugu dan terus menetap hingga beranak cucu.

Nah, sejak dulu, para Mardijkers ini punya tradisi unik setiap Natal tiba. Mulai dari Natal sendiri, acara Rabo-rabo,- proses silaturahmi dari rumah ke rumah- kemudian diakhiri dengan acara Mandi-mandi, yakni tradisi menorehkan campuran bedak dan air ke wajah sebagai simbol rasa kasih sayang. Biasanya diiringi juga dengan alunan Keroncong Tugu yang juga sebagai identitas yang tak bisa dipisahkan dari Kampung Tugu. Kegiatan ini juga sekaligus sebagai ajang silaturahmi warga Kampung Tugu dengan masyarakat sekitar. Meski identik dengan sebutan Betawi Kristen, namun bukan jadi penghalang untuk hidup tetap rukun dan harmonis. Mandi-mandi kemarin juga dihadiri keluarga keturunan Portugis dari negara lain, seperti dari Malaka dan Timor Lesta. Nampak juga hadir Mantan Perdana Menteri Timor Leste: Xanana Gusmao.

Saya secara pribadi beruntung bisa ikut kegiatan #NgoJak ini. Ternyata di Jakarta masih ada tradisi yang bertahan selama ratusan tahun. Kadang suka agak miris melihat anak muda zaman sekarang yang tak mau jika diajak wisata masa lampau. Sejarah, katanya, hanya membuang waktu dan membosankan. Padahal jika kita telaah lebih dalam, sejarah sangat bermanfaat sebagai pengingat bahwa banyak orang-orang yang berjasa membangun sebuah peradaban, juga budaya masyarakat. Mereka membebaskan diri dari penjajahan ‘keterbelakangan’. Juga sebagai ‘tamparan’ bagi kita sebagai generasi penerus untuk lebih semangat lagi menjadi diri yang lebih bermanfaat untuk orang-orang sekitar, untuk bangsa yang lebih baik lagi.

Tinggalkan Balasan