Seberang gereja, terdapat Gedung SMA Kasih, yang dulu dikenal dengan nama Gedung Eben Haezer. Gedung yang dibangun akhir abad ke-19 ini adalah gedung pertemuan tokoh warga untuk bermusyawarah. Setelah 17 Agustus 1945, warga Depok Lama ditekan untuk membuat keputusan, apakah mereka akan tetap pro-Belanda, seperti pada masa sebelum kemerdekaan, atau ikut dengan Republik Indonesia. Tokoh masyarakat Depok Lama berembug di gedung ini, dan akhirnya memutuskan bahwa Depok Lama akan tetap pro-Belanda. Sebuah keputusan yang memicu genosida atas masyarakat Depok Lama oleh kaum pro-Republik Indonesia, yang dikenal dengan nama Gedoran Depok.

Melepas lelah, kami duduk-duduk di bangunan tua yang sekarang menjadi kantor YLCC (dengan hiasan besi tempa di sisi barat bangunan yang menawan). Gedung ini terletak di timur Gereja Immanuel. Saya memperhatikan banyak informasi di kotak kaca pengumuman yang tertempel di gedung ini. Ada artikel panjang tentang Jembatan Panus yang kondisinya makin tak terurus, ada daftar aset dan laporan keuangan YLCC, dan beberapa pengumuman kebijakan pemerintah Kota Depok. Lepas itu, saya mengamati kawan NgoJak termuda, Atha-Rose (6 tahun), yang sepertinya masih sangat bertenaga dan bersemangat setelah berjalan lebih dari dua jam di kondisi yang cukup terik. Atha-Rose, yang datang bersama Mbak Noy, ibunya, asyik merekam dirinya dan Gedung YLCC dengan kamera ponsel. Keceriaan dan kekuatan Atha-Rose sepanjang perjalanan membuat saya sangat senang, karena sebelumnya, saya sempat terpikir memperlambat tempo perjalanan dan memakai angkot ke Jembatan Panus agar Atha-Rose tidak kelelahan.

Sempat bimbang, kami pun memutuskan untuk berjalan ke objek kami yang paling jauh, Jembatan Panus. Jembatan Panus dibangun oleh insinyur yang juga masih keturunan Depok Lama, Andre Laurens, pada tahun 1917. Sebelum dibangun jembatan ini, perjalanan darat dari Depok ke Buitenzorg (Bogor), harus disela memakai rakit (yang disebut Eretan dalam bahasa lokal) untuk menyeberangi Sungai Ci Liwung. Maka dari itu, sebelum ada Panus, jalur terfavorit untuk pergi dari Depok ke Batavia atau Buitenzorg adalah dengan menggunakan perahu atau rakit menyusuri Ci Liwung. Dermaga yang dipakai berada kira-kira di Kali Rawa, beberapa puluh meter di utara sisi barat Jembatan Panus.

Nama Panus sendiri tentunya bukan nama resmi jembatan ini. Kata Panus merujuk pada seseorang bernama Stevanus Leander, warga Depok Lama yang tinggal di sisi timur jembatan, dan bertugas merawat jembatan ini. Sampai sekarang keluarga dan keturunan Stevanus Leander masih tinggal di sini. Jembatan Panus sudah tidak menjadi jalur utama Depok-Bogor karena sudah dibangun jembatan baru yang berkapasitas lebih besar. Jembatan Panus sempat dipugar oleh pengembang kompleks perumahan “Vila Novo” yang berada di timur jembatan pada tahun 1994.

Kami pun turun ke bantaran Ci Liwung di bawah Jembatan Panus. Ada beberapa amatan kami, yaitu para pencari ikan tradisional yang hanya mengandalkan jala kecil dan kemampuan berenang yang mumpuni untuk menjaring ikan gabus, dan seorang ibu yang mencuci piring di sebuah mata air jernih. Debit air saat itu lumayan deras, kemungkinan akibat hujan yang cukup deras di hulu selama beberapa hari ke belakang.

